Jasa ibu bagi kehidupan sangat besar sekali, tidak berlebihan kalau kita berkata bahwa ibu adalah kehidupan. Pertama, untuk bisa memiliki wujud manusia harus mendekam dalam tubuh ibu, sementara bapak hanya memberi setetes, seterusnya ibu yang membawa selama sembilan bulan. Kedua, untuk bisa berpindah dari alam rahim ke alam dunia manusia memerlukan usaha dan perjuangan berat ibu, nyawa taruhannya, sementara bapak hanya bisa komat-kamit berdoa dan berharap tanpa merasakan betapa sakitnya ibu demi sang buah hati. Ketiga, untuk bisa tumbuh sempurna dan sehat manusia memerlukan asupan utama dari ibu yaitu ASI, makanan terbaik manusia sejak dia lahir sampai dua tahun, selama itu hanya ibu yang menyuplai.

Tiga jasa besar ibu bagi kehidupan yang tidak akan pernah dimiliki oleh bapak, maka Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Sampai tiga kali kepada orang yang bertanya kepada beliau, “Siapa yang paling berhak mendapatkan kebaikanku?” Baru pada kali keempat Rasulullah saw menjawab, “Bapakmu.”

Pertama, mengandung

Kehamilan merupakan buah alami dari pertemuan antara suami dengan istri, hasrat menjadi ibu merupakan insting fitri dan perkara realistis bagi seluruh wanita, setiap wanita mendambakan kehamilan sehingga dia memiliki buah hati dari darah dagingnya, dan bentuk ciptaan wanita dari sisi fisik, akal dan jiwa sangat menunjang hal itu. Dari sisi lain kemandulan menimbulkan kegoncangan fisik, emosi dan jiwa serta kekosongan bagi wanita yang tidak tergantikan oleh kegiatan apapun jenisnya, pikiran istri tidak tenang setelah menikah kecuali jika telah terbukti bahwa dia hamil, kebahagiaannya melimpah dengan kehadiran seorang janin dalam rahimnya yang menenangkan hatinya.

Masa kehamilan merupakan masa yang paling cermat dan sekaligus paling sulit bagi seorang wanita, al-Qur`an al-Karim berkata, “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (Al-Ahqaf: 15).

Dalam ayat lain al-Qur`an menjelaskan kehamilan, ia berkata, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” (Luqman: 14).

Imam al-Qurthubi berkata tentang firman Allah, “Dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.” Yakni ibu mengandungnya dalam rahimnya dan setiap hari dia bertambah lemah, ada yang berkata, wanita dari sisi fisik adalah lemah, kelemahan ini bertambah dengan kehamilan.”

Masa kehamilan sarat dengan emosi, perasaan bahagia, lemah dan labil bercampur dengan kecemasan, kehati-hatian dan penderitaan, semuanya tumplek blek berkumpul jadi satu. Seorang ibu harus mengenal fase-fase kehamilan selama sembilan bulan agar dia selalu siap dan mengetahui perubahan baru pada dirinya.

Fase perkembangan janin telah dijelaskan di dalam al-Qur`an al-Karim sebelum ilmu modern menjangkaunya, bahkan masih ada rahasia Allah yang belum terjangkau oleh ilmu sampai saat ini. Firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Al-Mukminun: 12-14).

Mahasuci Allah lagi Mahatinggi, tidak ada batasan bagi kodrat, keagungan dan kebaikan penataanNya terhadap makhlukNya, ia adalah mukjizat Ilahi yang terpampang bagi kita dalam potret yang paling mengagumkan untuk memberi peluang berpikir dan merenung, siapa yang menginginkan rincian silakan merujuk buku-buku kedokteran.

Selama masa ini ibu bertanggung jawab kepada sebuah arwah dan kehidupan baru yang tercipta dalam rahimnya, Allah telah mengambil janji darinya agar tidak membunuhnya atau menjadi sebab bagi kematiannya, firman Allah Ta’ala, “Dan hendaknya mereka tidak membunuh anak-anak mereka.” (Al-Mumtahanah: 12).

Imam al-Qurthubi rhm berkata, “Yakni tidak mengubur bayi perempuan dan tidak menggugurkan kandungan.”

Ibnu Katsir rhm juga menafsirkannya dengan berkata, “Ini mencakup membunuhnya setelah ia terwujud sebagaimana orang-orang jahiliyah membunuh anak-anak mereka karena takut miskin, mencakup pula membunuhnya pada saat ia masih dalam bentuk janin sebagaimana mungkin ia dilakukan oleh sebagian wanita-wanita bodoh.”

Jika dia melakukan itu maka dia berhak atas hukuman dari Allah, firman Allah Ta’ala, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, ‘Karena dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9). Yang disinggung oleh ayat ini adalah membunuh baik pada saat janin masih di dalam rahim maupun telah lahir, menggugurkan yang disengaja merupakan perbuatan kriminal, berbeda dengan menggugurkan yang diizinkan akibat suatu penyakit atau kelemahan fisik secara umum dengan melalui rekomendasi dokter muslim, di mana kehamilan bisa membahayakan kesehatan ibu dan kehidupannya sesuai dengan dasar, “Perkara dharurat membolehkan yang dilarang.”

Termasuk perkara penting dalam masa ini adalah kesadaran seorang ibu bahwa kehidupan manusia adalah titipan dan amanat yang wajib dijaga dan dijauhkan dari bahaya dengan berbagai macam dan bentuknya, maka di antara perhatian Islam yang tinggi kepada ibu dan janinnya, Islam mewajibkan atas suami menafkahi ibu walaupun dia telah ditalak, sehingga dia tidak tersia-siakan begitu pula dengan janinnya yang bisa membahayakan keduanya.

Firman Allah Ta’ala, “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (Ath-Thalaq: 6).

Di samping itu Islam memberikan keringanan untuknya dari sebagian beban taklif syar’i di mana Islam mengizinkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan jika dia mengkhawatirkan dirinya atau janinnya dan dia hanya wajib mengqadha`.

Kedokteran modern telah menetapkan bahwa wanita hamil menghadapi beberapa resiko bahaya selama masa kehamilan, yang bersangkutan disarankan mengikuti beberapa petunjuk medis demi keselamatan ibu dan janin baik dari segi fisik dan kejiwaan, karena apa yang terjadi pada ibu berpengaruh kepada janin, apa yang menimpanya menular kepada anaknya, hal ini karena ibu merupakan sumber makanan, kesehatan, sakit, kelengkapan anggota atau cacat, keseimbangan atau kegoncangan kejiwaan janin, wanita hamil harus menolak minum beberapa obat kecuali dengan pengawasan dokter, tidak merokok baik aktif maupun pasif, tidak minum minuman beralkohol dan tidak mengkonsumsi pil-pil membahayakan. Dia harus mengkonsumsi makanan yang berimbang, menghindari begadang, kecemasan dan goncangan-goncangan emosi.

Tetapi sebelum semua itu ibu hamil harus teguh melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah, berbuat kebaikan, membaca al-Qur`an, berdzikir dan berdoa, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra`ad: 28). Karena kondisi kejiwaan mengikuti kondisi fisik, dalam kondisi hamil ibu berada di antara takut dan harap, di antara sedih dan bahagia, maka berdzikir kepada Allah menenangkan jiwa dan menentramkan hati, dia harus memohon kepada Allah anak keturunan yang shalih sebagaimana Allah berfirman, “Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha mendengar doa.” (Ali Imran: 38).

Orang-orang yang berada di sekelilingnya, keluarganya lebih-lebih suami agar membuatnya merasa dicintai dan disayangi, menjauhkan sebab-sebab kecemasan, kesedihan dan kegoncangan darinya, wanita hamil harus beriman kepada ketetapan dan takdir Allah padanya, kemudahan dan pertolonganNya untuknya dalam segala keadaannya, lebih-lebih ketika saat melahirkan yang merupakan fase kedua yang ditunggu-tunggu oleh seorang ibu sudah dekat. (Izzudin karimi).