Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengaruniakan kepada kita lisan beserta fungsinya. Shalawat dan salam atas rasul-Nya yang telah berpesan kepada setiap orang yang lisannya mampu berbicara untuk menjaganya agar termasuk golongan orang yang pandai bersyukur kepada-Nya sehingga mendulang pahala serta meraih surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya dan keridhaan-Nya serta terselamatkan dari dosa dan siksa Neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu sambil memegang lisannya:

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا

“Jagalah olehmu ini!”

Muadz berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita keluarkan?” Beliau pun menjawab:

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah yang menyebabkan orang-orang terjungkir balik di atas wajahnya di Neraka – atau Beliau bersabda – di atas hidungnya, melainkan karena ulah lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2616).

 

Dapat Berbicara adalah Nikmat yang Harus Disyukuri

Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kitab-Nya mengingatkan kita akan suatu nikmat yang dengannya manusia dapat berbicara:

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (8) وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (9). البلد: 8، 9

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9).

Ibnu ‘Asyur berkata, “Pertanyaan dalam ayat ini bisa jadi merupakan bentuk penetapan, bisa jadi pula bentuk pengingkaran.” (Tahrir wa at-Tanwir).

Maksud penetapan disini yakni, Allahlah yang benar-benar yang telah menciptakan dan mengaruniakan dua buah mata, lidah dan dua buah bibir kepada kita, bukan yang lainnya. Adapun maksud pengingkaran di sini yakni, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang-orang yang menisbatkan penciptaan hal tersebut selain kepada-Nya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengingkari orang-orang yang tidak mau untuk bersyukur kepada-Nya terkait dengan kenikmatan-kenikmatan tersebut dalam berbagai bentuk ragamnya, semisal menggunakan mata untuk memandang perkara-perkara yang tidak dihalalkan bagi seseorang untuk memandangnya, menggunakan lidah dan dua bibir untuk berbicara perkara-perkara yang tidak diridhai-Nya, seperti menggunjing, mengadu-domba, dll.

Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepada kita, “Mengapa kalian –Wahai orang-orang yang telah Aku karuniakan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua bibir- menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk perkara-perkara yang tidak Aku ridhai? Perkara-perkara yang justru akan berakibat buruk bagi kalian dan orang lain? Buruk bagi kalian karena kalian berdosa, buruk bagi orang lain karena sangat boleh jadi disebabkan gunjingan, adu domba yang kalian lakukan akan menyebabkan putusnya ikatan tali persaudaraan, tercabik-cabiknya kehormatan seseorang, tidak harmonisnya hubungan atau muamalah sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, nikmat ini dan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lainya harus disyukuri, tidak layak dikufuri atau didustakan.

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13).

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah : 152).

 

Adab-Adab dalam Berbicara

Lalu, bagaimana cara kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ini? Ketahuilah -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda- bahwa salah satu cara mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa “kemampuan untuk berbicara” adalah dengan kita menjaga adab-adabnya yang telah dijelaskan oleh Dzat yang mengaruniakannya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam kitab-Nya dan telah dijelaskan pula oleh Rasul-Nya di dalam sunnahnya.

Di antara adab dalam berbicara adalah sebagai berikut:

1. Berkata yang Benar dan Baik

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

 Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari, no. 6018 dan Muslim, no.47).

 

2. Menjauhkan Diri dari Berkata Dusta dan Berkata Keji

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada:

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hati-hatilah kalian dari berbuat dan berkata dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan (pelakunya) pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim, no. 2607).

Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata:

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan orang yang perkataannya keji ataupun orang yang berusaha berkata keji.” (HR. Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, no.271).

 

3. Tidak Menggunjing atau Mengadu Domba

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS. Al-Hujurat: 12).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak akan masuk Surga orang yang (gemar) mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

4. Hindari mengejek atau mencela, dan mengolok-olok

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok), janganlah kalian saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS. Al-Hujurat: 11).

 Termasuk adab dalam berbicara juga adalah tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak banyak bicara, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna, tidak membicarakan semua yang didengar, tenang dan tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tidak memonopoli dalam berbicara, menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan.

Pembaca yang budiman, itulah beberapa adab dalam berbicara yang ingin penulis sebutkan. Mudah-mudahan bermanfaat dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk mengamalkannya. Aamiin Wallahu a’lam. (Abu Umair bin Syakir).

 

Referensi: 

1. Aadaabu al-Muslim Fii al-yaumi Wa al-Lailati, Dept. Ilmiah Darul Wathan

2. At-Tahrir wa at-Tanwiir Min at-Tafsiir, Ibnu ‘Asyuur At-Tunisiy.

  1. Kitabu al-Kabair Wa tabyini al-Maharim, Imam Adz-Dzahabi.