Terkadang dikarenakan suatu hal seseorang terpaksa berutang kepada orang lain. Dalam kondisi seperti itu, hendaknya seseorang mengetahui dan menjaga sejumlah adab yang berkaitan dengannya. Sebagian adab tersebut berkaitan dengan orang yang berutang dan sebagian lagi berkaitan dengan orang yang memberikan utang. Dan, ada juga adab umum yang berkaitan dengan masalah ini.

 

Adab yang Berkaitan dengan Orang yang Berutang

1) Tidak Berutang Kecuali dalam Kondisi Darurat

Terkadang seseorang berutang demi kebutuhan pelengkap bangunan rumahnya agar terlihat lebih megah atau untuk membeli kendaraan terbaru yang lebih mewah. Jika demikian alasannya, maka tidak pantas baginya berutang karena posisinya pada saat itu sebagai orang yang meminta. Padahal, seharusnya seorang Muslim tidak pantas menghinakan dirinya sendiri atau merendahkan derajatnya sendiri. Oleh karena itu, janganlah seseorang berutang kecuali untuk suatu kebutuhan  yang sangat mendesak bagi kehidupannya. Jangan berutang untuk sesuatu yang bukan kebutuhan pokok dan jangan pula berutang untuk meraih maksud yang diharamkan dalam Syariat.

2) Berniat Melunasinya

Jika orang yang berutang mempunyai tekad dan niat untuk membayar utang, niscaya Allah akan membantunya untuk melunasi utang tersebut. Jika tidak, maka Allah pun tidak akan membantunya untuk membayar utangnya. Jadi, tidak ada manfaatnya jika hanya sekedar ucapan ingin melunasi utang, sementara hatinya tidak bertekad untuk melakukannya. Semua itu tidak akan bermanfaat tanpa adanya kesungguhan untuk mengembalikan utang serta melakukan upaya-upaya agar ia dapat mengembalikan hak orang yang memberikan utang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dan bertekad untuk mengembalikannya, maka Allah akan membantunya untuk memulangkan harta tersebut dan barangsiapa yang ingin memusnahkannya, maka Allah akan memusnahkannya.” (HR. al-Bukhari, 2387; dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya).

3) Berusaha untuk Berutang kepada Orang yang Shaleh

Apabila seseorang berutang kepada seorang yang shalih, niscaya dirinya akan merasa tenang karena akan terhindar dari pengkhianatannya. Orang itu tidak akan merusak nama baik orang yang berutang atau menyebarkan utang tersebut, atau mengungkit-ungkit pemberiannya.   Sementara apabila seseorang berutang kepada seorang yang tidak sholeh, maka ia tidak akan merasa aman dari sikap-sikap tersebut.

4) Berutang Sesuai dengan Kebutuhan

Boleh jadi seseorang meninggal dunia dalam keadaan berutang. Itu artinya masih ada hak orang lain yang masih ia pikul. Oleh karena itu, usahakan untuk meminimalkan utang, yaitu berutang sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.

Contohnya, apabila seseorang membutuhkan uang sebesar Rp. 5.000, maka jangan berutang sampai Rp. 7.000,- atau Rp. 10.000,- sebab hal itu lebih ringan  untuk dipikul dan lebih memungkinkan untuk dilunasi.

5) Lunasi Utang Tepat pada Waktunya dan Jangan Menundanya

Apabila tanggal pembayaran utang sudah tiba, maka orang yang berutang wajib mendatangi orang yang memberikan pinjaman untuk melunasinya. Jangan sampai seseorang terlambat mengembalikan utangnya dan jangan menunda-nunda membayarnya selama ia sanggup melunasinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Orang yang menunda pelunasan utang (sementara ia sanggup melunasinya) adalah orang yang zhalim.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Banyak orang yang memperlambat atau menunda pembayaran utang dari waktu yang telah disepakati. Orang tersebut enggan melunasi walaupun sebenarnya ia sanggup membayarnya. Tentu saja sikap ini tidak dibenarkan dalam agama Islam, bahkan orang seperti ini disebut zhalim sebagaimana yang tertera dalam hadits. Sebab, perbuatan ini berarti memudharatkan serta merusak hak dan kemaslahatan orang lain, sementara ia sendiri tidak ridha kalau diperlakukan demikian.

Apabila seseorang belum mampu melunasi utang tepat pada waktunya, maka ia harus datang kepada orang yang memberikan utang untuk memohon kepadanya agar memberikan tenggang waktu dan memintanya agar bersabar. Dengan cara demikian pemberi utang akan mengetahui kondisi orang yang berutang sehingga ia berkenan memberikan tenggang waktu lagi. Tidak boleh berpura-pura lupa karena dapat menimbulkan mudharat untuk dirinya sendiri dan orang yang memberikan utang. Bisa jadi orang yang memberi pinjaman mendapat kesan bahwa orang yang berutang menunda-nunda dalam membayarnya sehinga ia terpaksa meminta orang itu agar segera melunasi utangnya. Terkadang pula ia mengeluhkan kepada orang lain perbuatan orang yang menunda pembayaran utang tersebut. Yang berakibat namanya menjadi jelek.

6) Membayar dengan Cara yang Baik

Tepat waktu dalam pelunasan dan mendatangi orang yang memberikan utang di rumahnya atau di mana ia berada termasuk adab yang terpuji. Jangan sampai pemberi utang yang datang  untuk meminta agar utang tersebut dilunasi sebab hal itu akan menyusahkannya. Termasuk cara membayar utang yang baik adalah dengan mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah memberinya utang atas kebaikan yang telah ia berikan. Di samping itu, ia juga harus melunasi utangnya sesuai dengan jumlah yang ia pinjam. Boleh juga apabila ia tidak menemukan barang yang sama, maka ia boleh menggantinya dengan barang yang lebih baik dari yang ia pinjam.

Ketika seorang laki-laki menagih utang berupa unta yang pernah dipinjam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun memerintahkan seseorang agar membeli unta untuk orang tersebut. Kemudian, para sahabat berkata, “Kami tidak menemukan yang sama, tetapi ada unta yang lebih baik.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Beli saja yang itu, lalu berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utangnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 2390 dan Muslim, no. No.1601; dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya).

 

Adab yang Berkaitan dengan Orang yang Memberikan Utang

1) Niat yang Benar dalam Memberi Utang

Hendaknya pemberi utang memiliki niat yang baik ketika memberikan utang kepada saudaranya dan hanya mengharapkan pahala dari Allah semata.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَقْرَضَ وَرِقًا مَرَّتَيْنِ كَانَ كَعِدْلِ صَدَقَةٍ مَرَّةً

“Barangsiapa yang meberikan utang berupa uang perak sebanyak dua kali maka pahalanya seperti membayar zakat sekali.” (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Sunanul Kubra (V/353) dari ‘Abdullah bin Mas’ud, semoga Allah meridhainya. Lihat kitab Shahihul Jami‘ (6080)).

Jadi, pahala memberi utang sama seperti pahala setengah membayar zakat. Oleh karena itu, hendaknya pemberi utang meluruskan niatnya agar apa yang ia lakukan mendapat imbalan pahala. Di samping itu, membantu saudaranya sesama Muslim dalam memenuhi kebutuhan, menghindarkannya dari mengemis, menjaga kehormatan dan nama baiknya, serta mengeluarkannya dari kesulitan merupakan sikap yang dicintai Allah.

2) Bersikap Baik dalam Menagih Utang

Apabila orang yang berpiutang datang meminta haknya, hendaklah ia bersikap lemah lembut dan berakhlak mulia dalam menagihnya. Janganlah membentak dan melontarkan cacian terhadap orang yang berutang, jangan pula menceritakan piutangnya di depan orang yang berutang, dan tidak boleh juga mengeluhkan utang kecuali jika orang itu mengulur-ulur pembayarannya. Oleh sebab itu, hendaknya orang yang memberikan utang berlapang dada dalam menagihnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْجَنَّةَ رَجُلًا كَانَ سَهْلًا مُشْتَرِيًا وَبَائِعًا وَقَاضِيًا وَمُقْتَضِيًا

“Allah akan memasukkan ke dalam Surga orang yang murah hati ketika membeli, menjual, melunasi utang, dan meminta haknya.” (HR. Ahmad I/58, an-Nasai (VII/319), dan Ibnu Majah (2202) dari Utsman -semoga Allah meridhainya. Hadits ini tertera dalam kitab Shahih an-Nasai (4379)).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

“Allah merahmati seorang yang murah hati ketika menjual, membeli, dan meminta haknya.” (HR. Al-Bukhari).

3) Memberi Tenggang Waktu jika Orang yang Berutang Belum Mampu Membayar pada Waktunya.

Ketika orang yang berpiutang melihat dan yakin bahwa orang yang berutang mendapat kesulitan untuk melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka selayaknya ia memberikan tenggang waktu sehingga tidak menyusahkannya serta bersabar atas hal ini. Dengan sikap yang demikian itu, ia akan memperoleh pahala yang besar disebabkan kasih sayang yang ditunjukkan kepada orang itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (Qs. Al-Baqarah: 280).

Seperti itulah seharusnya sikap seorang Muslim terhadap saudaranya ketika ia membantu untuk memenuhi kebutuhannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُنْجِيَهُ اللَّهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ

“Barangsiapa ingin diselamatkan Allah dari kesulitan pada hari Kiamat maka hendaklah ia memberikan kelonggaran kepada orang yang kesulitan (membayar utang) atau membebaskannya dari utang tersebut.” (HR. Muslim (1563) dari Abu Qatadah -semoga Allah meridhainya).

4) Menghapus Utang Bagi yang Tidak Mampu Melunasinya

Apabila orang yang berpiutang mendapati seseorang yang memang tidak mampu membayar utangnya, hendaklah ia memaafkannya, merelakan haknya, dan membebaskannya dari utangnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 280).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ

“Dulu ada seorang pedagang yang suka memberikan piutang kapada orang-orang. Apabila melihat ada yang tidak mampu membayarnya, maka ia berkata kepada pembantu-pembantunya, ‘Sudah, maafkan saja dan hapuskan utangnya, semoga Allah akan memaafkan kita.’ Maka Allah pun memaafkan (dosa-dosanya).” (HR. Al-Bukhari (2078) dan Muslim (1562); dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيْمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memberikan keringanan kepada orang yang berutang kepadanya atau menghapus utangnya niscaya kelak pada hari Kiamat ia akan mendapatkan naungan ‘Arasy.” (HR. Ahmad (V/300, 308), ad-Darimi (II/261, 262, dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (VIII/199/2143); dari Abu Qatadah -semoga Allah meridhainya. Asalnya tercantum pada riwayat Muslim. Lihat kitab Shahihul Jami‘ (6576)).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Barangsiapa meringankan sebuah kesulitan dunia yang sedang menimpa seorang Mukmin niscaya Allah akan meringankan satu kesulitan yang menimpanya pada hari Kiamat kelak. Barangsiapa menolong orang yang sedang berada dalam kesusahan niscaya Allah akan menolongnya dalam menghadapi kesusahan dunia dan akhirat.” (HR. Muslim (2699), dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya).

 

Adab Umum Berkaitan dengan Utang

Adapun adab umum berkaitan dengan masalah ini, yaitu:

1) Menuliskan Utang

Menuliskan utang merupakan perintah Allah yang tertera di dalam al-Qur’an, yakni Firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar.” (Qs. Al-Baqarah: 282).

Oleh karena itu, orang-orang Mukmin melaksanakan apa yang tertera dalam ayat tersebut walaupun hukumnya istihbab (anjuran).

Penulisan utang berfungsi untuk menjaga hak kedua belah pihak. Selain itu, untuk menjaga harta orang yang berpiutang apabila ia meninggal sebelum orang yang berutang melunasi utangnya, atau jika salah satu pihak lupa, atau seandainya muncul pengingkaran terhadap utang, dan lain sebagainya.

Penulisan utang juga untuk menjaga nama baik orang yang berutang dan menghindari dirinya dari tuduhan tidak bertanggung jawab atau tidak memegang amanah.

Utang piutang wajib dilakukan dengan sikap amanah dan tertulis secara rinci. Misalnya, menulis nama yang berutang, nama yang berpiutang, jumlah utang, tanggal berutang, tanggal pelunasan, cara pelunasan, dan lain sebagainya.

2) Saksi

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Qs. Al-Baqarah: 282).

Adanya saksi dalam pencatatan utang akan lebih menguatkan penulisannya. Hal ini juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya penukaran atau perubahan tulisan sebenarnya yang mungkin saja dilakukan oleh salah satu dari kedua belah pihak. Wallahu A’lam.

 

Sumber:

Mausu’ah al-Aadaab al-Islamiyah, Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada (ei, Jilid.2/281-289), dengan gubahan.