SEMUA TELAH DIAJARKAN NABI

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ditanyakan kepada Salman radhiyallahu ‘anhu:

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ: أَجَلْ

’Benarkah Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga perkara buang hajat?’ Salman menjawab, ‘Iya.’” (HR. Muslim, no. 629).

Sekalipun buang hajat terlihat perkara sepele. Namun hal itu tidak dalam Islam. Buktinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian dalam mengajarkan adab-adabnya, termasuk adab di tempat buang hajat.

 

KAMAR MANDI TEMPAT KOTOR DAN BERSEMAYAM SETAN

Ketika kamar mandi identik dengan hal-hal yang kotor karena menjadi tempat buang hajat. Islam datang memberikan adab-adab di dalamnya, menjadi salah satu bukti bahwa atensi Islam terhadap kebersihan dan kesehatan sangatlah besar. Ini di satu sisi.

Di sisi lain mengingatkan manusia adanya dimensi lain yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja, yang memiliki interaksi yang kuat dengan dimensi kita. Ia tidak lain adalah alam jin dan setan. Di saat kamar mandi menjadi salah satu tempat tinggal favorit mereka dan mereka adalah musuh nyata bagi kita orang-orang beriman. Maka Islam memberikan perisai itu kepada kita agar tidak terjebak ke dalam tipu dayanya. Masuk kamar mandi berarti sedang masuk ke dalam markas mereka. Sungguh ini kondisi yang genting, ketika kita masuk tanpa membawa perisai. Dan perisainya adalah adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْخَلَاءَ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

“Sesungguhnya jamban adalah tempat hunian setan. Apabila salah seorang dari kalian hendak masuk jamban (untuk buang hajat) maka bacalah, ‘Aku berlindung kepada Allah dari setan lakilaki dan setan perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 6, hadits shahih).

Al-Husyusy bentuk jamak dari al-Hasyu, yaitu kebun atau kumpulan pohon kurma yang lebat lagi rindang, dahulu orang-orang menjadikannya sebagai tempat untuk buang hajat sebelum kamar kecil (WC) di buat di dalam rumah. Muhtadharatun ialah tempat yang dihuni oleh para setan. (Lihat Sunan Ibni Majah, 1/108). al-Khala’ bermakna tempat dimana seseorang menyendiri di dalamnya, yaitu tempat kosong yang digunakan untuk buang hajat oleh manusia. (Lihat http://www.almaany.com).

 

ADAB-ADAB KETIKA BERADA DI KAMAR MANDI

Pada umumnya, kini kamar mandi sudah di setting satu paket, bukan hanya untuk mandi dan bersih-bersih saja, tapi dipakai juga untuk buang hajat. Sehingga hukumnya pun sama seperti al-Khala’ (jamban/WC) yang disebutkan dalam hadits. Berikut adalah beberapa adab yang perlu kita perhatikan saat berada di dalam kamar mandi:

1. Tidak menghadap dan membelakangi kiblat

Inilah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap kiblat umat Islam. Saat buang air kecil atau buang air besar, hindari menghadap atau membelakangi arah kiblat. Sekalipun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini karena posisinya berada di dalam bangunan, maka menghindari arah kiblat, baik menghadap atau membelakanginya, adalah sikap dan pilihan yang bijak, lebih baik dan mulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا

“Apabila salah seorang dari kalian duduk untuk buang hajat, janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Muslim, no. 633).

Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ

“Sungguh kami dilarang menghadap kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil.” (HR. Muslim no. 629).

Di dalam hadits Abu Ayub radhiyallahu ‘anhu, kita bisa melihat bagaimana antusias para sahabat untuk mengamalkan sunnah ini.

“Kami tiba di Syam, di sana kami mendapati jamban-jamban di bangun mengarah ke kiblat, maka (saat buang hajat) kami pun berpaling dari arah itu dan beristighfar kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 9, hadits shahih).

 

 2. Memperhatikan etika lain saat buang air kecil

Tidak memegang kemaluan dan tidak pula bersuci dari najis (cebok) dengan tangan kanan, tapi gunakanlah tangan kiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلَا يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian buang air kecil, janganlah sekali-kali memegang kemaluannya dengan tangan kanan dan jangan pula bersuci (dari buang air kecil/besar) dengan tangan kanan.” (HR. Bukhari no. 154).

Buanglah air kecil dengan posisi duduk. Dan ini yang paling banyak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Memang ada beberapa riwayat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buang air kecil sambil berdiri. Kesimpulannya boleh buang air kecil sambil berdiri dengan syarat pakaian aman dari terkena percikan najis. Tapi yang lebih utama ialah sambil duduk karena pakaian dan tubuh jauh lebih aman dari terkena percikan najis.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

مَا بَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا مُنْذُ أُنْزِلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ

“Rasulullah tidak pernah buang air kecil sambil berdiri sejak al-Qur’an diturunkan kepadanya.” (HR. Ahmad no. 25045, hadits shahih).

Basuhlah kemaluan sampai benar-benar bersih dari najis. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ

“Siksaan kubur paling banyak karena (sebab tidak memperhatikan) buang air kecil.” (HR. Ibnu Majah no. 348, hadits shahih).

 

3. Tidak menjawab salam ataupun mengobrol

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang buang air kecil. Orang itu pun memberi salam kepada beliau. Lalu beliau bersabda kepadanya:

إِذَا رَأَيْتَنِي عَلَى مِثْلِ هَذِهِ الْحَالَةِ فَلَا تُسَلِّمْ عَلَيَّ فَإِنَّكَ إِنْ فَعَلْتَ ذَلِكَ لَمْ أَرُدَّ عَلَيْكَ

“Jika engkau melihatku dalam posisi seperti ini, janganlah mengucapkan salam kepadaku. Seandainya engkau tetap melakukannya, aku tidak akan menjawabnya.” (HR. Ibnu Majah no. 352, hadits shahih).

 Ketika menjawab salam yang hukumnya wajib saja tidak boleh, maka selain itu tentu lebih tidak boleh lagi. Sehingga tidak selayaknya berbicara di kamar mandi, baik untuk menelpon, mengobrol, bergurau, ataupun yang lainnya. Kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang memang sangat mendesak.

 

4. Menutup pintu kamar mandi

Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu berkata,“Hal yang paling disukai Rasulullah sebagai penutup (tirai) saat buang hajatnya ialah anak bukit (tempat yang tinggi) atau kebun kurma yang lebat.” (HR. Abu Dawud no. 2551, hadits shahih).

 

5. Jangan berlama-lama di dalam kamar mandi

Ketika hajat sudah terselesaikan segeralah keluar. Karena kamar mandi adalah tempat yang kotor dan menjadi rumah setan. Maka tidak selayaknya mandi atau buang hajat sembari menelpon, membaca koran, buku, browsing internet, bermain game, HP dan yang semisalnya.

al-Khaththabi berkata, “Sesungguhnya para setan menempati tempat-tempat itu (kamar kecil) dan mengintainya dengan gangguan dan kerusakan, karena ia adalah tempat terputusnya dzikir kepada Allah dan terbukanya aurat.” (Ma’alimus Sunan, al-Khaththabi, 1/25).

 Karena itu sebelum masuk kamar mandi, selain disunnahkan membaca doa seperti dalam hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu di atas, kita juga disunnahkan membaca basmalah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمْ الْخَلَاءَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ

“Pembatas antara pandangan jin dan aurat manusia ketika masuk tempat buang hajat ialah dengan membaca bismillah.” (HR. At-Tirmidzi no. 606, hadits shahih).

 

6. Tidak membawa mushaf

Tidak boleh membawa mushaf al-Qur’an ke dalam kamar mandi, kecuali dalam kondisi darurat, seperti takut dicuri. Ini sebagai bentuk memuliakan al-Qur’an. Termasuk apa saja yang tertulis di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an, lafadz Allah maupun hadits. Seperti buku, buletin, stiker, cincin, baju, uang dan yang lainnya. Wallahu A’lam.

 

(Saed as-Saedy, Lc.)