Telah datang di dalam as-Sunan dengan sanad yang shahih dari hadits Abdillah bin Bisrin –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – bahwa Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalnya.”

Maka, semakin panjang umur seseorang dengan syarat digunakan untuk beramal shaleh, maka hal itu merupakan pertanda kebaikan pada diri orang tersebut.

Mungkinkah seseorang memanjangkan umurnya?

Kita katakan, “Iya, mungkin.” Sesungguhnya termasuk keyakinan Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa seseorang mungkin untuk memanjangkan umurnya. Perkara ini dihikayatkan oleh ahli sunnah tidak hanya seorang dari kalangan ahli ilmu.

Bahkan, telah shahih keterangan bahwa umur itu bertambah panjang diriwayatkan dari Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan sahabat yang lainnya رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ- -. Imam as-Suyuthi -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Sesungguhnya banyak hadis menunjukkan bahwa umur itu memanjang dan memendek sesuai dengan amal tertentu yang dilakukan seseorang.”

Dan, Ibnu Taimiyah -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Sesungguhnya umur anak Adam (manusia) ada dua macam; umur muthlaq dan umur muqayyad. Umur muthlaq adalah yang diketahui oleh Allah -عَزَّ وَجَلَّ-, tidak berubah dan tidak berganti dalam Ilmu Allah -عَزَّوَجَلَّ-. Adapun umur muqayyad, maka umur tersebut berubah-ubah sesuai dengan apa yang tertulis di Lauh yang ada di langit dunia atau sesuai dengan apa yang diberitahukan kepada malaikat. Makna umur tersebut muqayyad, yakni, Allah -عَزَّوَجَلَّ- mewahyukan kepada malaikat yang ditugasi untuk mengurusi urusan manusia dan mencabut ruh mereka, dan Allah menuliskan di Lauh yang ada di langit dunia dan para malaikat menukil peristiwa-peristiwa yang terjadi siang dan malam, misalnya Allah -عَزَّوَجَلَّ- menuliskan bahwa si fulan berusia 50 tahun, maka bila ia melakukan demikian dan demikian berupa ketaatan maka umurnya bertambah hingga 60 tahun atau 70 tahun atau lebih. Inilah makna perkataan Ibnu Taimiyyah, “umur muqayyad”. Jika melakukan ini, memanjang umurnya, jika tidak melakukan ini, maka umurnya tetap sebagaimana yang telah ditetapkan.

Hal ini ditunjukkan oleh kitabullah (al-Qur’an),  Allah -عَزَّوَجَلَّ- berfirman,

يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d : 39).

Ketika membaca ayat ini, Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan, “Sesungguhnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mempunyai dua kitab; kitab di sisi-Nya, Ummul Kitab, tidak berubah-ubah dan tidak berganti-ganti. Kitab lainnya di langit dunia. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menghapus dan menetapkan apa yang dikehendakiNya. Menulis di dalamnya umur, kemudian menambahnya atau menguranginya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengubahnya menurut yang dikehendakiNya.

Dan di dalam firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tentang kisah Nabi Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, disebutkan,

يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

“Niscaya Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada waktu yang ditentukan.” (Nuh : 4).

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa seseorang ditangguhkan ajalnya oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memanjangkan umurnya. Dan, hadis-hadis yang menunjukkan kepada hal tersebut cukup banyak jumlahnya dan beragam.

Dalam tulisan ini akan disebutkan beberapa di antaranya berupa amalan yang datang dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dengan sanad yang shahih atau mendekati shahih bahwa barangsiapa melakukannya secara baik niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memanjangkan umurnya.

  1. Bertakwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-

Bila seseorang bertakwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan menjadikan perintah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di hadapan pandangannya, maka tidaklah ia  melakukan suatu amalan melainkan ia merasa dalam pengawasan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, penuh rasa takut terhadap siksaNya, mengharapkan pahalaNya, maka dialah orang yang akan dipanjangkan umurnya.

Telah shahih di dalam as-Sunan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Barangsiapa ingin dipanjangkan umurnya, ditangguhkan ajalnya, ditambah rizkinya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tuanya.

Maka, takwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- merupakan sebab yang cukup jelas tentang hal itu (yakni, dipanjangkannya umur seseorang).

Telah datang dalam kisah Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ- ketika menyeru kaumnya kepada iman, dan membimbing mereka untuk mentaati Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, ia mengatakan kepada kaumnya,

يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ . أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ . يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

Wahai kaumku! Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan.” (Nuh: 2-4).

Nuh -عَلَيْهِ السَّلَامُ- menjelaskan bahwa barangsiapa yang menyembah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan sebenar-benarnya dan bertakwa dengan ketakwaan yang sempurna, niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menangguhkan ajalnya dan menambah umurnya.

  1. Berbakti kepada Kedua Orang Tua

Dalam hadis Tsauban -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

لَا يَزِيْدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا بِرُّ الْوَالِدَيْنِ

“Tidak menambah umur kecuali berbakti kepada kedua orang tua.”

Pengecualian yang disebutkan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ini bukan untuk membatasi. Namun merupakan penegasan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan sebab yang paling besar untuk memperpanjang umur dan menambahnya. Telah valid dalam hadis Anas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Siapa yang  suka Allah memperpanjang umurnya, menambah rizkinya, maka hendaknya ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan hendaknya ia menyambung tali silaturahim.”

Bahkan, lebih besar dari itu -sebagaimana valid disebutkan dalam as-Sunan– Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menetapkan tiga hal yang akan didapatkan oleh orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya; pertama, panjang umurnya, kedua, tambahan dalam rizkinya, ketiga, النَّسَأُ فِي الْأَثَرِ. Ada yang mengatakan maknanya “panjang umurnya”. Ada juga yang mengatakan maknanya “harum namanya”. Ada juga yang mengatakan maknanya, ’bahwa barang siapa berbakti kepada kedua orang tuanya akan dipanjankan umurnya pada keturunannya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan karunia kepadanya berupa anak keturunan yang shalih, ia disebut-sebut kebaikannya sepeninggalnya. Betapa banyak orang yang tidak disebut-sebut kebaikannya melainkan dengan sebab keturunannya, tidak didoakan agar mendapatkan rahmat melainkan ketika anak keturunannya terlihat berbuat baik.

Oleh karena itu, maka sesungguhnya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika ditanya seseorang tentang kesempatan yang masih tersisa untuk dapat berbuat baik kepada kedua orang tua sepeninggal keduanya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-mengatakan, “Hendaknya engkau menyambung hubungan kekerabatan keduanya, engkau menyambung hubungan dengan teman keduanya.” Karena seseorang bila ia menyambung hubungan dengan orang yang masih miliki hubungan kerabat dengan kedua orang tuanya dan menyambung hubungan dengan teman kedua orang tuanya, maka ketika kebaikan itu terlihat dari kerabat mereka niscaya mereka bakal mendoakan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Hal ini merupakan sebab berbuat baik kepada keduanya. Dengan demikian, barangsiapa yang berbakti kepada orang tuanya niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengganti waktunya yang dikerahkan untuk berbakti kepada orang tuanya dengan dipanjangkan umurnya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengganti hartanya yang digunakan untuk berbakti kepada orang tuanya dengan pertambahan dalam rizkinya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengganti kesungguhannya dalam berbakti kepada orang tuanya dengan namanya yang harum yang disebut-sebut kebaikannya di tengah-tengah manusia.

  1. Silaturahim

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung hubungan kekerabatannya.

Di antara atsar yang paling menakjubkan tentang hal ini adalah apa yang datang dari Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, yang diriwayatkan oleh ad-Dainuri di dalam al-Mujalasah, bahwa Ali -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata,

مَنْ ضَمِنَ لِي وَاحِدَةً ضَمِنْتُ لَهُ أَرْبَعًا : مَنْ وَصَلَ رَحِمَهُ طَالَ عُمْرُهُ وَأَحَبَّهُ أًهْلُهُ وَوُسِعَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَدَخَلَ جَنَّةَ رَبِّهِ

Siapa yang dapat menjamin untukku satu hal, niscaya aku jamin untuknya empat hal; siapa yang menyambung hubungan kekerabatannya niscaya panjang umurnya, dicintai keluarganya, dilapangkan rizkinya, dan masuk ke dalam surga Rabbnya.

Ali -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- menjelaskan bahwa dalam tindakan ‘bersilaturahim’ terdapat empat balasan dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di mana seseorang diganjar dengannya.

Kepada siapa kita wajib bersilaturahim dan kita berdosa bila memutusnya?

Silaturahim wajib dilakukan terhadap rahim muharramah, yakni, (misalnya) bila ada dua pihak; salah satunya lelaki dan pihak lain perempuan, maka niscaya (menurut syariat) pernikahan antara keduanya diharamkan untuk selamanya. Karena itu, wajib atas seseorang untuk bersilaturahim dengan bapaknya, kakeknya, ibunya, neneknya, anaknya, cucunya, paman dan bibinya (baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu), anak-anak saudara laki-lakinya dan anak-anak saudara perempuannya. Mereka itulah  rahim muharramah yang wajib untuk bersilaturahim dengannya.

Dalil yang menunjukkan bahwa silaturahim hanya wajib terhadap rahim muharramah adalah apa yang valid dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang disebutkan oleh  para pengarang kitab sunan dengan sanad yang shahih bahwa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melarang seseorang menikahi wanita beserta bibinya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan,

إِنَّكُمْ إِنْ فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ

 “Jika kalian melakukannya (yakni, menikahi seorang wanita bersama dengan bibinya-pen) sungguh kalian telah memutuskan hubungan kerabat kalian.”

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak melarang seseorang menikahi putri pamannya atau putri bibinya, ini menunjukkan bahwa putri paman dan putra paman tidak wajib untuk bersilaturahim dengannya. Namun demikian, putri paman dan putra paman termasuk bagian dari kerabat yang wajib mendapatkan perlakuan baik dan sangat ditekankan.

Kadar minimal silaturahim ada empat, penting untuk disebutkan disini.

Pertama, Tidak boleh ada pemutusan dan tindakan menyakiti

Telah datang keterangan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bersabda,

بَلُّوْا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلَامِ

“Sambunglah hubungan kekerabatan kalian meski dengan salam.”

Maka, wajib seseorang menyambung hubungan kekerabatannya meski dengan sekedar beruluk salam. Salam merupakan kadar minimal dikatakan menyambung hubungan.

Kedua, Wajib atas seseorang untuk menyambung hubungan kekerabatan dengan menahan diri dari tindakan menyakiti atau mengganggunya 

Telah shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bersabda, “Iman itu ada 73 cabang, cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”

Maka menahan diri dari mengganggu saudara sesama muslim secara umum dan terhadap orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan secara khusus ini termasuk perkara wajib atas seorang muslim.

Ketiga, Wajib atas seseorang memberikan nafkah kepada kerabatnya bila mereka membutuhkan

Sesungguhnya memberikan nafkah kepada kerabat bilamana mereka membutuhkan merupakan perkara wajib atas seseorang, bila mana ia seorang ayah, atau anak, atau saudara lelaki, atau saudara perempuan, atau paman, atau bibi membutuhkan kepada nafkah maka seseorang wajib memberikan nafkah kepada mereka dan berbuat baik kepada mereka bilamana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-memberikan kelapangan rizki kepadanya. Ini juga merupakan bentuk penyambungan hubungan yang jika ditinggalkan maka pelakunya berdosa. Oleh karena itu, ahli ilmu dari kalangan ahli tahqiq menetapkan, dan ini merupakan pendapat jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) bahwa nafkah wajib atas kerabat.

Keempat, Hendaknya seseorang mendoakan kerabatnya, berbuat baik kepadanya dengan memohonkan ampunan untuknya.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu Dzar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- datang kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Terjadi antara diriku dan kerabatku sesuatu yang biasa terjadi di antara kerabat.” Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Mengapa engkau tidak memohonkan ampunan untuk mereka.”

Sesungguhnya seseorang bila berdoa untuk kerabatnya dan banyak memohonkan ampun untuk mereka, berdoa dan memohon dengan sangat kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memaafkan kesalahannya, menambah rizkinya dan memberkahi keturunannya niscaya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan menghilangkan kedengkian dari jiwanya dan memberikan kepadanya rasa cinta.

 

  1. Berakhlak Baik

Telah datang keterangan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam Musnad Imam Ahmad dengan sanad yang shahih dari hadis Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Berakhlak baik akan memakmurkan tempat tinggal dan menambah umur.”

  1. Berlaku Baik Terhadap Tetangga

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

صِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ يَزِيْدَانِ فِي الْأَعْمَارِ

“Silaturahim, berlaku baik terhadap tetangga dan berakhlak baik akan menambah umur. “

Maka, barangsiapa berlaku baik terhadap tetangga, dan berakhlak baik kepada mereka, niscaya akan bertambah umurnya.

Di antara bentuk berbuat baik kepada tetangga adalah:

(1) Bersabar terhadap gangguan yang dilakukan tetangga

Hasan al-Bashri -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan,

حُسْنُ الْجِوَارِ لَيْسَ بِكَفِّ اْلأَذَي وَإِنَّمَا بِالصَّبْرِ عَلَى اْلأَذَى

Berlaku baik terhadap tetangga bukanlah dengan (sekedar) menahan diri dari tindakan mengganggu, tetapi (juga) dengan bersabar atas gangguan (yang mereka lakukan).(al-Adab as-Syar’iyyah, Ibnu Muflih, 2/80).   

(2) Berupaya memberikan hadiah kepada tetangga meskipun sedikit

Telah valid keterangan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di dalam Musnad dan Muwatha‘ bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Wahai para wanita yang beriman!  Janganlah seorang tetangga meremehkan untuk memberikan hadiah kepada tetangganya meskipun sekedar kikil kambing (yakni, sesuatu yang sedikit).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian memasak daging maka perbanyaklah kuahnya, kemudian hendaknya ia menghadiahkan kepada tetangganya.”    

Inilah sebagian amalan yang ingin penulis sebutkan dalam tulisan ini sebagai kiat nabawi agar panjang umur dan mengisinya dengan beragam bentuk ketaatan kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkannya. Amin.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

 

Sumber :

Kaifa Tuthiilu ‘Umruka?, Syaikh Dr. Abdussalam asy-Syuwai’ir. Dengan ringkasan.