Mendapatkan rezeki berupa harta benda sejatinya bisa memberikan kenyamanan dan kecukupan bagi setiap orang, akan tetapi ada kalanya bagi seseorang hal ini tidak menumbuhkan kenyamanan bahkan selalu merasa kurang dan tidak merasa cukup, padahal mungkin saja harta yang dimiliki begitu melimpah. Sebaliknya ada yang memiliki harta sedikit justru selalu merasa nyaman dan cukup. Secara matematis tentunya hal ini aneh dan tak masuk akal, bagaimanakah yang berharta banyak malah merasa kurang dan tidak tenang sementara yang berharta lebih sedikit justru merasa nyaman dan cukup?

Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya meminta sesuatu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Beliau memberiku, lalu aku meminta lagi dan Beliau pun memberiku, lalu aku memintanya lagi dan Beliau pun memberiku, kemudian Beliau bersabda:

يَا حَكِيمُ , إنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ , وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ , وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau (indah dilihat) dan manis (nikmat dirasakan), barangsiapa mengambilnya dengan cara yang baik, maka ia akan diberkahi, dan barangsiapa mengambilnya dengan berlebihan (tamak), maka ia tidak akan diberkahi, yaitu seperti orang yang makan namun tak pernah kenyang; dan tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari, no. 5960)

Kedermawanan dilihat dari sisi orang yang mengambil harta berarti tidak mengambilnya dengan tamak dan tidak meminta-minta. Sedangkan dari sisi orang yang memberikan harta adalah mengeluarkan harta tersebut dengan hati yang lapang. (Lihat, Fathul Bari, 3/336).

Dari hadits ini tergambar bahwa timbulnya keadaan selalu merasa kurang dan tak pernah kenyang adalah di antara tanda tidak adanya keberkahan akibat mengambil harta dengan tamak dan berlebihan. Sebaliknya, tumbuhnya rasa nyaman dan cukup (qana’ah) atas harta yang didapatkan merupakan tanda bahwa ada keberkahan di dalam harta tersebut. Tentunya keberkahan ini akan datang bilamana ia mengambil dan memperlakukan hartanya dengan cara yang baik.

Ada sebuah kisah seputar keberkahan yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang seseorang yang bercocok tanam di suatu tempat yang sumber airnya hanyalah air hujan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بيْنَما رَجُلٌ يَمشِي بِفَلاةٍ مِن الأَرض، فَسَمِعَ صَوتاً في سَحَابَةٍ: اسقِ حَدِيقَةَ فُلانٍ، فَتَنَحَّى ذلكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ في حَرَّةٍ، فإِذا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّراجِ قَدِ اسْتَوعَبَتْ ذلِكَ الماءَ كُلَّهُ فَتَتَبَّعَ الماءَ، فإِذا رَجُلٌ قَائِمٌ في حَدِيقَتِهِ يُحَوِّلُ المَاءَ بمِسحَاتِهِ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ما اسْمُكَ قال: فُلانٌ، للاسْمِ الَّذِي سَمِعَ في السَّحَابَةِ، فقال له: يَا عَبْدَ اللَّهِ لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَال: إنِّي سَمِعْتُ صَوتاً في السَّحَابِ الَّذِي هذَا مَاؤُهُ يقُولُ: اسقِ حَدِيقَةَ فُلانٍ لإسمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيها؟ فَقَالَ: أَما إِذْ قُلْتَ هَذَا، فَإني أَنْظُرُ إِلى مَا يَخْرُجُ مِنها، فَأَتَّصَدَّقُ بثُلُثِه، وآكُلُ أَنا وعِيالي ثُلُثاً، وأَردُّ فِيها ثُلثَهُ

“Ketika seorang laki-laki tengah berada di sebuah tanah lapang yang sunyi, dia mendengar suara di awan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ Maka seketika awan pun bergerak lalu mencurahkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Ternyata di sana ada beberapa saluran air yang menampung air tersebut seluruhnya. Dia pun mengikuti aliran air itu yang ternyata sampai kepada seseorang yang berdiri di kebunnya sedang mengubah aliran air dengan cangkulnya.

Laki-laki tadi berkata kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, siapa namamu?’ Orang itu menjawab, ‘Nama saya Fulan.’ Dia menyebutkan nama serupa yang didengar dari balik awan oleh lelaki pertama.

Orang itu lantas bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, mengapakah engkau menanyakan namaku?

Kata lelaki itu, ‘Sesungguhnya aku tadi mendengar suara di awan yang airnya baru saja turun mengatakan, ‘Berilah air pada kebun si Fulan!’ Suara itu menyebut namamu. Apakah yang engkau perbuat dengan kebun ini?

Orang itu berkata, ‘Baiklah, kalau engkau mengatakan demikian. Sebenarnya, aku selalu memperhatikan apa yang keluar dari kebun ini, aku sedekahkan sepertiganya, sepertiga berikutnya saya makan bersama keluarga, dan sepertiga lagi saya kembalikan ke kebun (untuk perputaran cocok tanam).’” (HR. Muslim, no. 7664)

Apa yang dilakukan orang tersebut dalam mengelola harta sepatutnya menjadi panduan kita agar apa yang kita usahakan menjadi berkah. Ketika mendapatkan hasil panen, ia tidak merenggut seluruhnya dengan keserakahan. Sifat qana’ah memicu dirinya untuk menghidupkan sedekah. Ia merasakan bahwa hartanya lebih dari cukup sehingga ia sisihkan sepertiganya untuk sedekah bagi fakir miskin, sepertiga berikutnya untuk nafkah keluarganya, dan sisanya untuk pengembangan usahanya.

Allah ta’ala tidaklah menyia-nyiakan perbuatan baik itu, Dia alirkan kembali air hujan yang turun ke arah kebunnya, mengganti apa yang telah ia keluarkan di jalan-Nya dengan pahala dan tambahan rezeki. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala,

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Inilah sesungguhnya jawaban dari keanehan di awal tulisan. Bahwa berapapun banyak atau sedikit harta yang ada pada kita, maka hal itu akan tetap menumbuhkan rasa nyaman dan cukup manakala keberkahan itu ada pada harta. Sebaliknya bila tiada keberkahan pada harta, maka kegelisahan dan merasa kurang akan selalu ada.

Marilah kita memulai mengelola harta dengan bijaksana agar keberkahan yang didambakan senantiasa menghiasi hidup kita. Mengharapkan keberkahan berarti berharap agar apa yang kita miliki itu diridhai oleh Allah ta’ala, bertambah jumlahnya, terasa manfaatnya, berkembang dan memberikan ketenangan batin. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman,

وَمَآ أَنفَقْتُم مِّن شَىْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُۥ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezeki yang terbaik.” (QS. Sabaa’: 39)

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan Keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/713) Semoga Allah ta’ala menganugerahkan kepada kita sifat qana’ah dan tidak rakus serta tamak pada harta. Aamiin.

(Redaksi)

Sumber :
Majalah Shafa, Edisi 8/11, hal. 31-32, Yayasan al-Sofwa, Jakarta.