Oleh Ustadz Izzudin Karimi, Lc.

Dunia usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik Ilahi yang menjamin kejernihan dan keseimbangannya, tujuannya adalah membentuk sebuah masyarakat yang saling mengasihi satu kepada yang lain. Harta adalah milik Allah, manusia hanya sebatas mengendalikan, maka manusia tidak patut menyimpang dalam pengendaliannya.

Niat Baik

Dengan niat baik, semua aktifitas termasuk usaha menjadi ibadah, kehidupan menjadi teratur karena pelaku kehidupan mengisinya dengan kebaikan. Niat baik ini untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Yang pertama agar bisa menjaga diri dan keluarga dari haram dan meminta-minta yang menghinakan diri, menggunakannya sebagai penunjang ibadah kepada Allah, mempererat silaturrahim dan berbagai kebajikan lainnya. Yang kedua, berperan serta memenuhi kebutuhan masyarakat dan membuka peluang bekerja kepada orang lain, lebih besar dari itu memandirikan umat sehingga tidak bergantung kepada umat lain.

Bekal Ilmu

Ilmu syar’i terkait dengan hukum-hukum muamalat dan usaha, agar seorang tajir muslim mengetahui mana yang halal lalu melakukannya dan mana yang haram lalu menjauhinya. Umar bin al-Khatthab mengeluarkan orang yang tidak paham hukum jual beli dari pasar.

Budi Pekerti Luhur

Budi pekerti luhur atau akhlakul karimah merupakan tulang punggung agama dan dunia. Bukankah Nabi saw diutus dalam rangka menyempurnakan kemuliaan akhlak? Seorang tajir muslim sangat patut sebelum orang lain menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, bukan sebatas dari sisi komersial semata, namun lebih dari itu, ia merupakan keyakinan kokoh dalam jiwa yang berpijak kepada ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Kejujuran, amanah, menepati janji, komitmen dengan kesepakatan, bertutur kata baik, berwajah sumringah dan lainnya adalah akhlak terpuji yang sepatutnya bagi seorang tajir muslim menghiasi dirinya dengannya, sehingga keindahan Islam dan keluhurannya terbias jelas di alam dunia usaha. Nabi bersabda, “Pedagang yang jujur dan dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada’.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

Usaha Halal

Seorang muslim terikat oleh aturan agamanya yang menetapkan hukum halal-haram, dia tetap membatasi lahan usahanya hanya dalam lahan yang dihalalkan oleh agamanya, tidak tergiur merambah medan yang haram, sekalipun mungkin menjanjikan laba besar, karena bagi seorang tajir muslim yang penting adalah aturan agama yang dijunjung tinggi bukan sekedar laba tinggi.

Menunaikan Hak

Karena hak orang lain adalah kewajiban atasnya, seorang tajir muslim tidak menahan hak pegawai, karena dia sadar bahwa gaji pegawai harus sudah diterima olehnya sebelum keringatnya mengering, dia juga tidak mengulur-ulur atau bahkan mengemplang hutang orang, karena dia tahu bahwa hal itu merupakan kezhaliman dan kezhaliman adalah kegelapan di hari Kiamat.

Termasuk menunaikan hak adalah menunaikan hak Allah dalam harta, seorang tajir muslim tidak melalaikan zakat pada usahanya bila syaratnya telah terpenuhi, tidak melupakan hak sedekah dan infak, sehingga usaha dan hartanya bermanfaat bagi hamba-hamba Allah.

Menghindari Modal Haram

Dari harta orang lain tanpa kerelaannya, karena kehormatan harta orang lain sama dengan kehormatan darahnya, tidak halal untuk dilanggar. Banyak cara memakan orang lain dengan cara batil seperti menipu, korupsi, mencuri dan lainnya. Termasuk modal haram adalah riba yang diharamkan dalam al-Qur`an dan hadits Nabi saw serta disepakati oleh kaum muslimin.

Loyal Kepada Orang-orang Beriman

Seorang tajir muslim adalah bagian dari kaum muslimin, karena itu dia tetap harus memiliki kecintaan dan kepedulian kepada Islam dan kaum muslimin, menginginkan dan menyintai kebaikan bagi mereka, mendahulukan kaum muslimin dalam menjalin jaringan usaha, tidak bekerja sama dengan pihak yang terang-terangan memusuhi Islam dan membenci kaum muslimin.

Termasuk loyal kepada kaum muslimin adalah menjadi kompetitor yang sehat, menganut asas tidak merugikan pihak lain, meninggalkan kegiatan usaha yang merugikan mereka sekalipun dirinya meraih laba, tidak mempermainkan harga, tidak menimbun dan menaikkan harga sesukanya.  Wallallaahu a’lam.

[Sumber: Ma la Yasa’u at-Tajiru Jahluhu. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Dr. Shalah ash-Shawi]