tunanetraBetapa agung nikmat sepasang mata, sungguh indah nikmat melihat! Bahkan seandainya aku ini, seorang yang tunanetra (buta) hanya diberi satu mata untuk bisa melihat walau beberapa menit saja, niscaya diriku sudah merasa cukup dengan satu mata itu untuk bisa menatap indahnya dunia dan menikmati keagungan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa.

Benar sekali, Indahnya nikmat baru aku rasakan kala nikmat itu berkurang atau lenyap sama sekali. Seandainya penglihatanku normal, sungguh mata ini pasti akan merasakan betapa besarnya nikmat melihat kala pandangan mata ini sudah mulai mengabur atau ketika sudah tidak lagi mampu untuk melihat.

Ternyata kenikmatan ini hanyalah sebagian kecil dari nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan dalam tubuh kita ini. Maka berbahagialah wahai saudara-saudaraku yang masih memiliki mata dan penglihatan yang normal. Kalian wajib bersyukur kepada Allah atas karunia yang agung ini. Oleh karena itu, aku mengajak saudara-saudaraku yang masih diberi penglihatan mata yang normal, mata yang sehat, pandangan yang tajam, untuk merenungi firman Allah berikut ini:

وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا

 

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.”(QS. Ibrahim: 34)

Begitu banyak nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada para hamba-Nya, baik dari kalangan jin maupun manusia, kenikmatan yang bersifat materi maupun imateri, yang bisa dirasakan secara langsung maupun tidak, yang nampak atau yang tersembunyi. Oleh karena itu, layak sekali Allah bertanya kepada para hamba-Nya dari golongan jin dan manusia:

فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

 

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)

Sungguh, tidak ada satu pun dari nikmat-nikmat Allah yang layak didustakan. Bahkan bangsa jin sendiri mengakui perkara ini. Hal ini sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya bahwa tidaklah Rasulullah membaca ayat di atas melainkan golongan jin akan menjawab, “Tidak ada sesuatu pun dari nikmat Tuhan kami yang kami dustakan.” (Tafsir Ath-Thabari, 22/23)

Tiada Seorang Penuntun Bagiku
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Seorang laki-laki buta datang kepada Rasulullah, kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya tiada seorang pun yang menuntunku pergi ke masjid.’ Lantas orang itu meminta rukhsah (keringanan) kepada Rasulullah untuk bisa shalat di rumahnya, maka Nabi pun memberikan keringanan untuknya. Kemudian tatkala orang itu berpaling (untuk pulang). Nabi memanggilnya sembari bertanya, ‘Apakah kamu mendengar seruan (adzan) untuk shalat?’ Orang itu menjawab, ‘Ya’. Lantas Nabi bersabda, ‘Penuhilah (seruan adzan itu).’ (HR. Muslim, no. 653)

Laki-laki buta tersebut adalah seorang sahabat nabi yang bernama Ibnu Ummi Maktum sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya. (Lihat hadits riwayat Abu Dawud no. 552)

Jika Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang tunanetra (buta), tiada penuntun yang mengantarkannya ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah, letak rumahnya jauh dari masjid, akan tetapi Rasulullah tetap menyuruhnya menunaikan shalat fardhu secara berjamaah di masjid, maka diriku yang seorang tunanetra (buta) yang masih memiliki anggota keluarga maupun suadara yang bisa mengantarkanku ke masjid lebih berhak untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid.

Bagaimana dengan kalian, wahai saudara-saudaraku yang masih sehat, memiliki penglihatan yang jelas, mata yang normal, langkah yang tegap, bahkan memiliki kendaraan mobil atau motor yang bisa memudahkan lagi untuk sampai ke masjid? Sungguh, aku bersaksi kepada Allah, kalian lebih berhak lagi untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid.

Hadits Ibnu Ummi Maktum menunjukkan bahwa wajib bagi setiap mukmin untuk mengerjakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid, tidak boleh menyepelekan perkara ini lantas memilih untuk shalat di rumahnya, di pasarnya, di tokonya, di ruang kantornya, terlebih jika jarak masjidnya lebih dekat. Hal ini juga dipertegas oleh hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

 

“Barangsiapa mendengar seruan (adzan), kemudian tidak memenuhi (seruannya), maka tidak ada shalat baginya kecuali ada udzur.” (HR. Ibnu Majah, no. 793)

Al-Mubarakfuri menjelaskan maksud “Tidak ada shalat baginya” bahwa (makna itu) bukanlah secara tekstual, akan tetapi sebagai bentuk penekanan dan penegasan yang sangat kuat.” (Tuhfatul Ahwadzi, 1/539)

Sebagian ulama berkata, “Redaksi hadits itu sebagai bentuk penekanan dan penegasan yang sangat kuat, dimana tidak ada rukhsah (keringanan) bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjama’ah melainkan karena adanya udzur (alasan).” (Sunan At-Tirmidzi, 1/422)

Kemudian Ibnu Abbas ditanya tentang apa yang dimaksud udzur tersebut, ia berkata, “Takut atau sakit.” (Tuhfatul Ahwadzi, 1/539)

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ

 

“Demi jiwaku yang berada dalam genggaman tangan-Nya, sungguh aku sangat berhasrat untuk menyuruh beberapa orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan agar didirikan shalat, dikumandangkan adzan untuknya dan aku perintahkan salah seorang untuk mengimami shalat. Lantas aku pun beranjak menuju orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah) untuk membakar rumah-rumah mereka.”(HR. Bukhari, no. 644)

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika nabi masih hidup, beliau berkeinginan sekali membakar rumah orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah di masjid, karena saat itu tidaklah seorang laki-laki yang enggan shalat di masjid melainkan ia dikenal sebagai orang munafik.
Nabi bersabda, “Pembeda antara kami dan orang-orang munafik ialah ketika menghadiri shalat isya’ dan shubuh, dimana mereka tidak sanggup untuk melakukan kedua shalat ini (isya’ dan shubuh secara berjamaah). (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi, no. 2596)

Ibnu Mas’ud berkata, “Tiadalah seseorang berpaling dari shalat berjamaah melainkan ia seorang munafik yang benar-benar nyata kenifakannya.” (Tharhu At-Tatsrib Fi Syarhi At-Taqrib, Abdurrahim Al-Iraqi, 2/308)

Seandainya Kalian Tahu Dibalik Seruan Adzan
Wahai saudara-saudaraku yang sehat dan masih memiliki penglihatan mata yang jelas, ketahuilah! bahwa dibalik memenuhi seruan adzan, dengan bersegera menuju ke masjid, maka ia akan mendapat banyak sekali keutamaan dari Allah, di antaranya ialah:

1.Orang yang menunggu shalat dinilai masih berada dalam shalatnya.

Nabi bersabda, “Salah seorang dari kalian dinilai masih berada dalam shalatnya selama shalat itu menahan dirinya (keluar dari masjid), dan tidak ada yang mencegahnya untuk beranjak kembali kepada keluarganya melainkan shalat.” (HR. Bukhari, no. 659)

2.Para Malaikat akan bershalawat dan berdoa dengan memintakan ampun dan rahmat bagi orang-orang yang menunggu shalat.

Nabi bersabda, “Para Malaikat bershalawat kepada salah seorang dari kalian selama ia masih di tempat shalatnya dan selama belum berhadats, para malaikat berdo’a, “Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, berikanlah rahmat kepadanya.” (HR. Bukhari, no. 445)

3.Menunggu shalat berikutnya setelah shalat menjadi sebab dihapusnya kesalahan dan diangkat derajatnya oleh Allah.

Nabi bersabda, “’Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan diangkatnya derajat?’ Para sahabat berkata, ‘Iya, Wahai Rasulullah!’ Beliau bersabda, ‘Menyempurnakan wudhu pada kondisi yang tidak disukai, memperbanyak langkah menuju ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath (menjaga diri dalam ketaatan itu). (HR. Muslim, no. 251)

4.Bersegera menuju masjid setelah adzan akan mendapatkan keutamaan takbiratul ihram.

Nabi bersabda, “Barangsiapa shalat jama’ah karena Allah selama 40 hari dan senantiasa mendapati takbiratul ihram imam, niscaya akan ditetapkan baginya dua kebebasan, yaitu terbebas dari api neraka dan terbebas dari nifak.” (HR. At-Tirmidzi, no. 241)

5.Mendapatkan keutamaan shaf pertama.

Rasulullah bersabda, “Seandainya orang-orang mengetahui keutamaan dalam memenuhi panggilan adzan dan shaf pertama, dan tidak ada cara untuk mendapatkan keutamaan itu melainkan dengan udian, niscaya mereka akan melakukan undian.” (HR. Bukhari, no. 615)

6.Mendapatkan keutamaan membaca amiin di belakang imam.

Nabi bersabda, “Apabila imam mengucapkan, ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhallin.’ Dan makmum mengucapkan, ‘Amiin’, maka barangsiapa bacaan amiinnya bertepatan dengan bacaan para malaikat niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 782)

7.Merupakan bukti bahwa hatinya senantiasa terpaut dengan masjid.

Nabi bersabda, “Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tiada naungan melainkan naungan dari-Nya; …(diantaranya) seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid.” (HR. Muslim, no. 1031)

8.Menjadikan ibadah shalat sunnah yang disyariatkan antara adzan dan iqamah senantiasa terjaga.

Rasulullah bersabda, “Disetiap antara dua adzan (yaitu adzan dan iqamah) disunnahkan shalat, disetiap antara dua adzan disunnahkan shalat bagi siapa yang menghendakinya.” (HR. An-Nasa’i, no. 681)

9.Menjadikan shalat sunnah rawatib yang berjumlah 10 atau 12 rekaat senantiasa terjaga.

Dari Ibnu Umar ia berkata, “Saya hafal dari nabi sepuluh rekaat, yaitu 2 rekaat sebelum dzuhur dan 2 rekaat setelahnya, 2 rekaat setelah maghrib di rumahnya, 2 rekaat setelah isya’ di rumahnya dan 2 rekaat sebelum shalat subuh.” (HR. Bukhari, no. 1180)
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa shalat 12 rekaat dalam sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR.Muslim, no. 728)

10.Mendapatkan keutamaan shalat berjamaah.

Nabi bersabda, “Shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat daripada shalat sendirian.” (HR. Muslim, no. 650)

11.Menjadikan do’a antara adzan dan iqamah senantiasa terjaga.

Nabi bersabda, “Tidaklah tertolak do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud, no. 521)
Wallahu a’lam