Suami yang shalih adalah dambaan setiap muslimah. Tentu para istri wajib bersyukur, ketika mendapati suaminya sebagai seorang yang shalih. Karena keshalihan suami akan mengantarkan dirinya kepada kebahagiaan yang hakiki. Tapi, perjalanan bersamanya bukan berarti tidak ada duka dan suka. Wajar, ketika senyum dan tangis saling sapa dan silih berganti, inilah dinamika kehidupan.

Asa seorang wanita

Janganlah sekali-kali seorang istri menyakiti dan mengkhianati kebaikan suaminya! Karena diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabbal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لا تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، وَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya yang berasal dari bidadari surga akan berkata, ‘Jangan kau sakiti dia! Semoga Allah memerangimu, dia di sisimu tidak lain hanyalah seorang tamu, hampir saja dia berpisah darimu menuju kepada pangkuanku.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1174, hadits shahih).

Sudikah kiranya seorang istri berpisah dari suaminya yang shalih? Bukankah hati wanita selalu berharap agar senantiasa bersama suaminya yang shalih? Baik di dunia, terlebih di akhirat kelak. Bahkan hatinya akan bergumam, ‘Sekalipun bidadari surga, aku takkan rela suamiku berpaling kepadanya!’ Sehingga sangatlah manusiawi, ketika seorang istri sampai berkata, “Aku tak ingin berpisah darinya.”

Menjadi istri dunia akhirat

Istri yang shalihah di dunia, ia akan tetap dikumpulkan bersama suaminya yang shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ

“Masuklah kalian (orang-orang yang beriman -penj) ke dalam surga, kalian dan pasangan-pasangan kalian akan digembirakan.” (QS. az-Zukhruf: 70).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan tentang makna azwaj (pasangan-pasangan) dalam ayat ini, “(Maksudnya) istri-istri kalian.”(Lihat Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, 2/14).

Ketika sang istri ditinggal mati suaminya, apabila ia tidak menikah lagi, maka ia akan dikumpulkan bersama suaminya tersebut. Namun ketika ia menikah lagi, ia akan dikumpulkan bersama suaminya yang terakhir.

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu datang hendak melamar Ummu Darda’i, tapi ia menolak pinangannya tersebut. Ia berkata, “Aku mendengar Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Seorang wanita (istri) itu untuk suaminya yang terakhir.”

Dan aku tidak mau ada yang menggantikan Abu Darda’i’ ,tegasnya. (Lihat as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1281, hadits shahih).

Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata kepada istrinya, “Apabila kau tetap ingin menjadi istriku di surga, maka janganlah kau menikah sepeninggalanku, karena seorang istri itu untuk suaminya yang terakhir. Karena itu, Allah haramkan kepada istri-istri Rasulullah untuk menikah sepeninggalan beliau, karena mereka adalah istri-istri beliau di surga.”(Lihat Syarh Musykilil Atsar, 2/121 dan as-Silsilah ash-Shahihah, 3/355).

Bercermin kepada wanita terbaik

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan wasiat mulia kepada istri-istri Nabi, golongan wanita terbaik, dimana wasiat-wasiat ini telah menjadi karakter dan akhlak mereka, sehingga wajib bagi setiap muslimah yang rindu akan kebersamaan abadi di surga untuk bercermin kepada mereka.

  1. Istikamah dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya maupun dalam mengerjakan kebajikan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

 “Dan barangsiapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya.” (QS. al-Ahzab: 31).

Qatadah berkata, “‘Kami sediakan rezeki yang mulia baginya’ maksudnya ialah surga.”(Lihat Tafsir ath-Thabari, 20/256).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. al-Ahzab: 33).

Ketaatan dan istikamah inilah yang telah membuat istri-istri Nabi layak mendapatkan surga dan pahala dua kali lipat dibandingkan wanita-wanita selainnya.

  1. Menghiasi diri dengan takwa

Takwa, sebagaimana penuturan Talq bin Habib ialah engkau beramal dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di atas cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena berharap rahmat-Nya, dan engkau  meninggalkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di atas cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena takut akan siksa-Nya.(Lihat Tafsir as-Sa’di, hal 799).

Takwa inilah yang menjadikan istri-istri Nabi berbeda dengan kaum wanita selainnya, dalam hal kedudukan dan kemuliaan. Takwa juga akan membuat kaum muslimah lebih mulia daripada kaum wanita secara umum, sekalipun kemuliaan mereka lebih rendah daripada istri-istri Nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

 “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa.” (QS. al-Ahzab: 32). 

  1. Tidak melemah-lembutkan perkataan dengan yang bukan mahram

Sebagaimana istri-istri Nabi, seorang muslimah yang lain juga tidak layak untuk melembutkan perkataan dan mendayu-dayu saat berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Berbicara kepada mereka tidaklah seperti berbicara dengan suaminya sendiri. Sampaikanlah seperlunya dan sebagaimana mestinya, jangan dibuat-buat. Inilah konsekuensi takwa bagi seorang muslimah dan simbol kemuliaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَانِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

 “Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. al-Ahzab: 32). 

  1. Menghiasi lisannya dengan perkataan yang baik

Kemuliaan istri-istri Nabi semakin sempurna berkat lisannya yang senantiasa terhiasi perkataan-perkataan yang baik dan jauh dari kata-kata kotor maupun dusta. Bukan hanya wanita, laki-laki pun sama, kemuliaan yang diimpikan selama ini akan runtuh, ketika lisan terumbar bebas dan tidak terjaga dari kata-kata yang buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

 “Dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 32). 

  1. Berdiam diri di dalam rumah

Seorang wanita akan semakin terjaga dan mulia ketika tetap tinggal di rumah, menjadi pelayan bagi suaminya dan pendidik bagi anakanaknya, dan tidak keluar rumah melainkan karena kebutuhan yang dibenarkan syariat. Inilah teladan yang terpancar dari istri-istri Nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (QS. al-Ahzab: 33). 

  1. Menjauhi tabarruj

Tabarruj, dengan menampakkan aurat, kemolekan tubuh dan beragam perhiasan kepada laki-laki yang bukan mahram adalah kehinaan bagi seorang wanita, yang akan membawanya kepada kehinaan di akhirat. Para perindu kemuliaan takkan pernah meraihnya selama tabarruj masih dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

 “Dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (QS. al-Ahzab: 33). Wallahu A’lam. (Saed as-Saedy, Lc.).