Definisi Al-Muhkam

Secara bahasa al-Muhkam adalah isim maf’ul (kata benda yang dikenai pekerjaan (objek)) dari kata kerja ََأحكم-يُحْكِمُ yang berarti mengerjakan dengan sempurna.

Dan secara istilah adalah hadits Maqbul (yang diterima) yang selamat (terbebas) dari pertentangan dengan hadits yang semisalnya. Dan kebanyakan hadits masuk ke dalam golongan ini. Adapun hadits-hadits yang (terkesan) kontradiksi dan terjadi pertentangan di dalamnya jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan keseluruhan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Definisi Mukhtaliful Hadits

Secara bahasa ia adalah isim Fa’il (pelaku) dari kata dasar الاختلاف (perbedaan/perselisihan). Dan maknanya adalah hadits-hadits yang sampai kepada kita, namun maknanya zhahirnya saling menyelisihi antara satu hadits dengan yang lainnya. Maksudnya saling kontradiksi satu sama lain.

Secara istilah adalah hadits maqbul (yang diterima) yang bertentangan dengan hadits yang semisal dengannya (dari sisi derajat haditsnya, misalnya sama-sama shahih dll) disertai kemungkinan untuk dapat dipadukan antara keduanya.

Maksudnya adalah bahwa ia adalah hadits shahih atau hadits hasan, lalu ada hadits lain yang semisalnya/sama dengannya dari segi derajat dan kuatnya yang menyelisihi makna hadits tersebut secara zhahir (lahiriyah), dan memungkinkan bagi para ulama dan orang-orang yang berpemahaman mendalam untuk menggabungkan makna kedua hadits tersebut dalam bentuk penggabungan yang bisa diterima.

Sebenarnya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau ayat dengan hadits shahih ataupun antara hadits shahih yang satu dengan hadits shahih yang lain. Akan tetapi kontradiksi yang terjadi di antara nash-nash hanyalah secara zhahir (secara lahiriyah) saja, bukan kontradiksi yang sebenarnya. Karena semuanya, baik ayat-ayat maupun hadits-hadits datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu jika demikian halnya, maka sesungguhnya syar’iat ini tidak mungkin ada kontradiksi di dalamnya dan tidak mungkin ada satu nash menyelisihi nash yang lain. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


…وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا {82}

”… Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Oleh sebab itu Imam Abu Bakr Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:”Tidak mungkin ada dua hadits yang saling bertentangan dari semua sisi. Dan barang siapa yang menemukannya, hendaklah datang kepadaku untuk aku padukan (selaraskan) antara keduanya.”

Macam-macam Mukhtaliful Hadits

Mukhtaliful Hadits terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Mukhtaliful Hadits yang mungkin untuk dipadukan, yang mana kedua-duanya bisa diamalkan. Contohnya seperti kontradiksi antara hadits:

لا عدوى ولا طيرة .

”Tidak ada penyakit menular dan tidak ada thiyarah (merasa sial dengan sesuatu).”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan hadits:


لا يُورِد مُمْرِض عَلَى مُصِحّ .

”Janganlah pemilik unta mencampurkan unta yang sakit dengan unta yang sehat.” (HR. Muslim)

Dan juga hadits:


وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ

”Menjauhlah/menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menjauh dari singa.”(HR. al-Bukhari dan yang lainnya)

Cara memadukan hadits-hadits di atas adalah bahwa suatu penyakit tidak menular dengan sendirinya, akan tetapi Dia-lah (Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang menjadikan percampuran antara unta yang sehat dengan unta yang sakit sebab menularnya penyakit.

Kemudian terkadang hal itu (penularan penyakit) tidak terjadi sekalipun ada sebabnya (yaitu percampuran antara unta yang sehat dengan yang sakit), sebagaimana pada sebab-sebab yang lain. Maka pada hadits yang pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan (menolak) apa yang diyakini oleh orang-orang Jahiliyah zaman dahulu bahwasanya penyakit tersebut menular dengan sendirinya, oleh sebab itu beliau bersabda:


” فمن أعدى الأول ”

”Lalu siapakah yang menularkan penyakit kepada unta yang pertama sakit?”

Dan pada hadits yang kedua beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya (bercampurnya unta sakit dengan unta sehat) sebagai sebab untuk menularnya penyakit, dan beliau memperingatkan dari bahaya (penularan penyakit) yang kemungkinan besar terjadi jika ada percampuran antar unta tersebut, dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini hafizhahullah ketika ditanya tentang hadits tersebut beliau menjawab:”Kedua hadits tersebut shahih, sama antara hadits ”Menjauhlah/menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana menjauhnya engkau dari singa.” dengan hadits ”Tidak ada penyakit menular dan tidak ada thiyarah (merasa sial dengan sesuatu).”. Salah satunya menetapkan adanya penularan penyakit, yaitu pada sabda beliau ”Menjauhlah/menghindarlah dari penyakit kusta.” sedangkan yang lainnya menafikan (meniadakan) adanya penularan penyakit.

Dan kesimpulan perkataan para ulama dalam memadukan hadits ini adalah bahwa tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, bukan suatu keniscayaan kalau ada seseorang yang terkena penyakit menular, lalu ada orang lain yang mendekatinya ia akan terkena penyakit yang sama.”

Kedua: Mukhtaliful Hadits yang tidak bisa dipadukan, dan jenis ini ada dua macam:

Pertama; ada kejelasan bahwa salah satunya Nasikh (menghapuskan hadits yang pertama), dan yang lain Mansukh (yang dihapuskan). Maka pada kondisi yang seperti ini kita mengamalkan hadits yang Nasikh dan meninggalkan yang Mansukh, karena hadits yang Nasikh datang lebih akhir dibandingkan hadits yang Mansukh. Namun hal ini dilakukan jika diketahui dengan pasti bahwa hadits Nasikh datang lebih akhir dibandingkan hadits Mansukh.

Kedua; tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa salah satu di antara kedua hadits tersebut Nasikh dan yang lainnya Mansukh. Maka pada keadaan yang seperti ini dibutuhkan Tarjih (menguatkan/memilih yang paling kuat di antara kedua hadits tersebut), lalu mengamalkan hadits yang lebih kuat di antara keduanya dan yang lebih valid. Dan metode untuk menTarjih suatu hadits atas hadits yang lain bermacam-macam, yang Insya Allah akan dijelaskan pada pembahasan yang akan datang.

Arti Penting Pembahasan Ini

Pembahasan ini (Mukhtaliful Hadits) termasuk salah satu bidang ilmu hadits yang terpenting, karena ia dibutuhkan oleh seluruh ulama. Dan yang menggeluti dan terjun di bidang ini hanyalah para ulama yang menggabungkan antara ilmu hadits, fikih dan ushul fikih, yang mereka mampu menyelami makna-makna yang sukar dipahami. Dan tidak ada hadits-hadits yang tidak jelas/samar di hadapan mereka kecuali sangat sedikit sekali.

Kitab-kitab Tentang Mukhtaliful Hadits

1. Ikhtilaful Hadits karya Imam asy-Syafi’i rahimahullah, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.

2. Ta’wil Mukhtalifil Hadits, karya Ibnu Qutaibah rahimahullah, ‘Abdullah bin Muslim.

3. Musykilul Atsar, karya Imam ath-Thahawi rahimahullah, Abu Ja’far Ahmad bin Salamah.

(Sumber: تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dan sebuah artikel tentang Mukhataliful Hadits makalah di http://www.alheweny.org/aws/play.php?catsmktba=10063 (situs Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini hafizhahullah) dan http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=164969. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)