Ali_FatimahDi kartu-kartu undangan walimah yang saya terima ternukil doa Rasulullah untuk Ali bin Abu Thalib dan Fatimah putri beliau saat keduanya menikah. Saya tak tahu keshahihan penisbatan doa tersebut kepada Rasulullah, karena sebatas saya membuka buku-buku sunnah, saya belum menemukan doa tersebut.

Dalam resepsi akad nikah atau walimah yang saya hadiri, saya sering mendengar harapan dari pembicara, “Ya Allah, satukanlah keduanya sebagaimana Engkau menyatukan Ali dan Fatimah.” Harapan yang bagus. Yang ingin saya catat di sini hanya, apakah orang yang menulis doa tersebut dan mengucapkan doa tersebut tahu dan paham, bagaimana kehidupan Ali dan Fatimah? Ndak apa apa sih, hanya lucu saja, berdoa agar bisa seperti si anu dan si ini, tetapi tak tahu si anu dan si ini itu seperti apa.

Putri termuda Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan bagian dari beliau dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, bersuamikan Ali bin Abu Thalib yang menikahinya dalam rentang waktu antara perang Badar dan Uhud tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, seorang pahlawan mujahid sepupu Rasulullah, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda, seorang laki-laki yang menyintai Allah dan rasulNya dan dicintai oleh Allah dan rasulNya, Allah memberi kemenangan melaluinya, Amirul Mukminin salah seorang khulafa` rasyidin yang dijamin surga oleh mertuanya. Inilah sebagian dari keutamaan suami pilihan Fatimah putri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang menjadi acuan baginya dalam memilihnya menjadi suaminya.

Ali bin Abu Thalib hidup sejak kecil dalam kafalah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib yang juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa di samping untuk meringankan Abu Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang demikian maka bisa dikatakan bahwa Ali bukan laki-laki berharta pada saat dia menikah dengan Fatimah, demi membayar maskawin kepada istrinya dia menyerahkan baju perang yang merupakan harta satu-satunya sekaligus senjatanya dalam menerjuni berbagai macam peperangan.

Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,“Berikanlah sesuatu kepadanya.” –Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.

Selanjutnya bagaimana kehidupan pasangan suami istri ini? Imam al-Bukhari memaparkan dalam shahihnya sepenggal kisah dari kehidupan Ali dengan Fatimah. Silakan pembaca menilai dan menyimpulkan setelah membacanya.

Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam tetapi dia tidak bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam pulang Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”

Penulis menyimpulkan bahwa pilihan Fatimah menikah dengan Ali adalah tepat dengan mengacu kepada tiga perkara:

Pertama, kesetiaan yang diberikan oleh Ali kepada Fatimah, faktanya selama hidup Fatimah, Ali hanya beristrikan dia seorang.

Kedua, fadha`il (keutamaan-keutamaan) yang dimiliki Ali, istri shalihah mana yang tidak berbahagia dan berbangga dengan suami yang mempunyai fadha`il seperti yang dimiliki oleh Ali.

Ketiga, output (hasil) pernikahan dua orang mulia ini, empat anak shalih dan shalihah: Hasan, Husain, Zaenab dan Ummu Kultsum. Dua anak yang pertama adalah dua orang sayid para pemuda penduduk surga, dari keduanya lahir orang-orang mulia, para imam teladan.

Akhirul qaul, kehidupan Ali dan Fatimah bukan kehidupan mewah bergelimang harta, justru sebaliknya, keduanya menjalani kehidupan rumah tangga dengan sangat sederhana. Pertanyaannya, orang-orang yang saat menikah berharap bisa hidup seperti Ali dan Fatimah, bersediakah mereka hidup seperti mereka berdua? Wallahu a’lam.