Bahwa rububiyah Allah merupakan fitrah, oleh karena itu ia tidak memerlukan upaya penetapan dalil atasnya dengan sesuatu yang justru lebih samar, karena mukadimah-mukadimah yang samar dan dalil-dalil teoritis tidak menandingi dalil-dalil fitrah dan ayat-ayat Allah, sekalipun demikian seorang hamba mungkin membutuhkan hal itu, lebih-lebih pada saat syubhat-syubhat mulai melintas dan kebimbangan mulai meningkat.

Ahli kalam telah mengulurkan timba mereka dalam hal ini dan sebagian dari apa yang mereka katakan adalah shahih, hanya saja ia cuma menetapkan sebuah wujud yang wajib lagi qadim bukan makhluk, namun tetap tidak mampu menentukan apa wujud itu, lain halnya dengan dalil ayat-ayat, tetapi harus diakui bahwa metode teoritis terkadang mengandung sisi kebenaran, dan kebenaran yang mereka tetapkan kembali kepada sebagian dari apa yang disebutkan oleh al-Qur`an.

Bila orang yang berilmu memperhatikan metode-metode akal yang disebutkan oleh ahli kalam dan filsafat, maka dia menemukan bahwa yang benar darinya kembali kepada metode-metode logis yang disebutkan oleh al-Qur`an dengan ungkapan paling fasih sekaligus paling ringkas, metode-metode al-Qur`an mengandung penjelasan sempurna dan kecermatan yang tidak ada pada metode milik mereka.

Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah mereka itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami mendatangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Al-Furqan: 33).

Kami tidak berkata, tidak berguna berdalil kepada mukadimah-mukadimah yang samar dan dalil-dalil teoritis, karena kesamaran dan kejelasan termasuk perkara yang relatif, bisa jadi sesuatu yang menurut sebagian orang samar adalah jelas menurut sebagian yang lain, sesuatu yang samar bagi seseorang dalam satu keadaan, mungkin menjadi jelas dalam keadaan yang lain.

Tauhid Rububiyah tidak membutuhkan dalil, karena ia tertanam dalam fitrah, sesuatu yang paling dekat bagi seseorang untuk dia cermati adalah dirinya, manakala dia dalam bentuk setetes air yang keluar dari tulang sulbi dan tulang rusuk, kemudian setetes air itu tersimpan dalam sebuah tempat bersemayam yang terjaga, dalam kegelapan-kegelapan yang tiga, peranan bapak ibu dan orang-orang di luar terputus darinya, seandainya ia dibentangkan di sebuah papan atau sebuah nampan, lalu ahli hikmah dari seluruh penjuru dunia diminta untuk menggambarkan sesuatu darinya niscaya mereka tidak kuasa.

Mustahil menduga bahwa hal itu adalah pekerjaan tabiat, karena tabiat adalah benda mati yang tidak mampu, tidak dikatakan hidup, sesuatu yang mati tidak akan menghasilkan perbuatan dan pengaturan, bila manusia memikirkan hal itu, merenungkan pergantian setetes air itu dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, niscaya dengan itu dia mengetahui Tauhid Rububiyah dan selanjutnya dia melangkah kepada Tauhid Ilahiyah, bila dengan akalnya dia mengetahui bahwa dia memiliki ar-Rabb yang mengadakannya, lalu bagaimana pantas bila dia menyembah yang lain?

Dalil konsekuensi mustahil pada Rububiyah

Ahli kalam memilih menetapkan Pencipta melalui dalil konsekuensi mustahil, ia adalah dalil yang haq dari sisi dzatnya dalam menetapkan keesaan Allah dalam rububiyahNya, kesalahan mereka terletak pada anggapan bahwa ia merupakan sasaran dan tujuan.

Yang masyhur di kalangan para pengkaji adalah menetapkan pencipta melalui dalil konsekuensi mustahil, yaitu bila alam raya ini memiliki dua pencipta, maka pada saat keduanya berbeda, misalnya salah satu dari keduanya hendak menggerakkan sesuatu, sedangkan yang lain hendak mendiamkannya, atau salah satu dari keduanya ingin menghidupkan, sedangkan yang lain ingin mematikan, maka dalam kondisi ini terjadi tiga kemungkinan: maksud keduanya terwujud atau maksud salah satunya terwujud atau maksud keduanya sama-sama tidak terwujud.

Yang pertama mustahil karena ia berarti menyatukan dua hal yang kontradiktif, yang ketiga juga mustahil karena ia berarti sebuah jasad bisa tidak diam dan tidak pula bergerak, ini mustahil, di samping ia menunjukkan kelemahan keduanya, dan yang lemah tidak kapabel sebagai Tuhan, bila maksud salah satu dari keduanya terwujud, maka dialah Tuhan yang mampu sedangkan lawannya adalah tidak mampu yang tidak layak menyandang gelar ilahiyah. Ada kemungkinan yang keempat dalam pembagian logis ini, yaitu kesepakatan keduanya, dan ini sejatinya adalah kelemahan, karena kesepakatan keduanya atau dengan kata lain salah satu dari keduanya tidak kuasa menyelisihi yang lain mengindikasikan kelemahan keduanya, sebagaimana hal ini mengakibatkan lingkaran berbalik yang tak berujung.

Dalil mukadimah mendasar (dalil huduts dan dalil wujub)

Yang dimaksud dengan dalil ini adalah metode analogi yang bisa menetapkan ilmu melalui mukadimah-mukadimah mendasar di mana pengkaji tidak perlu menetapkannya dengan dalil.

Seperti dikatakan, sesuatu yang ada lagi diketahui bisa mungkin dan bisa pula wajib dan yang mungkin tidak ada kecuali dengan yang wajib, maka dengan kedua kemungkinan ditetapkan wujud bagi yang wajib.

Misalnya, dikatakan alam dibuat atau kebanyakan darinya dibuat, yang kedua mendasar, sedangkan yang pertama dibuktikan dengan dalil, kemudian dikatakan setiap yang dibuat pasti memiliki pembuat.

Atau dikatakan, tidak diragukan bahwa wujud itu ada dan wujud itu bisa qadim dan bisa pula muhdats, yang kedua pasti memerlukan yang pertama, maka yang qadim terbukti ada dengan kedua asumsi tersebut.

Segala yang ada pasti akan berakhir kepada wajibul wujud li dzatihi, hal ini untuk memutuskan lingkaran yang tidak berujung, kita menyaksikan penciptaan hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, benda-benda angkasa seperti awan, hujan dan lainnya, semua yang pada tersebut bukan sesuatu yang mustahil, karena sesuatu yang mustahil tidak ada, bukan pula wajibul wujud dengan sendirinya, karena wajibul wujud dengan sendirinya tidak terkena ketiadaan, sedangkan semua itu tidak ada sebelumnya, kemudian ia ada, maka ketiadaannya menepis sisi wajibul wujud dengan sendirinya, sedangkan wujudnya menafikan kemustahilannya, sesuatu yang bisa ada dan tiada, keberadaannya tidak dengan sendirinya.

Allah berfirman, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?” (Ath-Thur: 35). Sudah dimaklumi bahwa sesuatu yang diciptakan tidak ada dengan sendirinya, sesuatu yang mungkin yang tidak memiliki keberadaan dan ketiadaan dari dirinya sendiri bukan sesuatu yang ada dengan dirinya sendiri, akan tetapi bila ada yang mengadakannya atau kalau tidak maka ia tiada, dan segala sesuatu yang wujudnya mungkin sebagai pengganti ketiadaannya dan ketiadaannya sebagai pengganti wujudnya maka dia tidak memiliki wujud dan ketiadaan dari dirinya sendiri yang pasti baginya.

Bila seseorang berkata, “Saya tidak menetapkan apa pun.” Maka dikatakan kepadanya, sudah diketahui secara mendasar berdasarkan akal yang sehat bahwa sesuatu yang ada memiliki dua kemungkinan: wajib dengan sendirinya atau tidak wajib dengan sendirinya, qadim azali atau hadits yang ada setelah sebelumnya tidak ada, makhluk yang membutuhkan Khaliq atau bukan makhluk yang tidak membutuhkan Khaliq, bergantung kepada selainnya atau mandiri dari selainnya.

Yang bukan wajib dengan sendirinya tidak ada kecuali dengan yang wajib dengan sendirinya, yang hadits pasti ada dengan yang qadim, makhluk tidak ada kecuali dengan Khalik dan yang membutuhkan tidak ada kecuali dengan yang mandiri, dan sudah dipastikan dengan kedua asumsi tersebut adanya sesuatu yang ada, wajib dengan sendirinya, qadim, azali, Khalik, tidak memerlukan selainnya, sedangkan selainnya berbeda dengan itu, dan sudah diketahui melalui indera dan akal mendasar adanya sesuatu yang ada, hadits, ada setelah sebelumnya tidak ada, sesuatu yang ada dan sebelumnya tidak ada bukanlah sesuatu yang wajib dengan sendirinya, maka secara otomatis hal ini menetapkan keberadaan dua hal yang ada, salah satunya wajib dan yang lainnya mungkin, salah satunya qadim dan yang lainnya hadits, salah satunya mandiri dan yang lainnya membutuhkan, salah satunya Khalik dan yang lainnya makhluk, dan keduanya bertemu pada satu titik, bahwa masing-masing dari keduanya merupakan sesuatu yang memiliki keberadaan yang pasti.

Dan sudah dimaklumi juga bahwa salah satu dari keduanya tidak setara dengan yang lainnya pada hakikatnya, sebab bila demikian niscaya keduanya akan setara dalam apa yang wajib, mungkin dan mustahil, padahal salah satu dari keduanya wajib qadim dan ia ada dengan sendirinya, sementara yang lain tidak wajib qadim dan tidak ada dengan sendirinya, salah satu dari keduanya adalah Khalik sedangkan yang lain adalah makhluk, salah satu dari keduanya mandiri dari selainnya sedangkan yang lain membutuhkan.

Seandainya keduanya setara, maka hal itu berarti masing-masing dari keduanya wajib qadim dan bukan wajib qadim, ada dengan sendirinya dan tidak ada dengan sendirinya, Khalik bukan Khalik, mandiri bukan mandiri, ini berarti terkumpulnya dua hal yang bertentangan di saat yang sama, maka diketahui bahwa kesetaraan keduanya adalah mustahil menurut akal yang sehat, sebagaimana ia mustahil menurut dalil-dalil syar’i, maka dari dalil-dalil ini diketahui bahwa keduanya bertemu pada satu sisi dan berbeda di sisi yang lain. Wallahu a’lam.

Syarah Thahawiyah, Ibnu Abul Izz al-Hanafi, Tartib Dr. Khalid Fauzi Hamzah.