ANJURAN KEPADA ILMU, MENCARINYA, MEMPELAJARINYA DAN MENGAJARKANNYA SERTA KETERANGAN TENTANG KEUTAMAAN PARA ULAMA DAN PENCARI ILMU

 

(67) – 1 – a : Shahih

Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya, niscaya Dia memahamkannya dalam agama.” (1)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah. (2)

– 1 – b : Hasan Lighairihi

Dan diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lafazhnya adalah, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَالْفِقْهُ بِالتَّفَقُّهِ، وَمَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ، وَإِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Wahai manusia, ilmu itu hanya didapatkan dengan belajar, fikih itu dengan tafaqquh, dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya, niscaya Allah memahamkannya dalam agama dan, ‘Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama’.” (Al-Fathir: 28).”

Pada sanadnya terdapat rawi yang tidak disebutkan namanya.(3)

(68) – 2 : Shahih Lighairihi

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِيْنِكُمُ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah sikap wara.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Bazzar dengan sanad hasan.

 

(PASAL)

(69) – 3 : Shahih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللّٰهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللّٰهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللّٰهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللّٰهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللّٰهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللّٰهِ، يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللّٰهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللّٰهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Barangsiapa menghilangkan(4) dari seorang Mukmin satu kesulitan(5) dari kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan Hari Kiamat. Barangsiapa menutupi seorang Muslim[6), niscaya Allah menutupinya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang dalam keadaan sulit(7), niscaya Allah memudahkan untuknya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambaNya(8) selama hamba itu menolong saudaranya. Barangsiapa meniti suatu jalan untuk mencari(9) ilmu, niscaya Allah memudahkan jalan ke surga untuknya. Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, mereka membaca kitab Allah, dan saling mengkajinya(10 di antara mereka melainkan para malaikat meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka(11),  rahmat menaungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada (malaikat) yang ada di sisiNya. Barangsiapa diperlambat(12) oleh amalnya, maka nasabnya tidak mempercepatnya.”

Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban di Shahihnya, dan al-Hakim, dia berkata, “Shahih berdasarkan syarat keduanya.”(13)

(70) – 4 : Hasan Lighairihi

Dari Abu ad-Darda` radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللّٰهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمٰوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Barangsiapa meniti sebuah jalan untuk mencari ilmu padanya, niscaya Allah memudahkan jalan ke surga untuknya. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada pencari ilmu karena ridha kepada apa yang dilakukannya. Sesungguhnya seorang alim dimohonkan ampunan untuknya oleh penduduk langit dan bumi sampai ikan besar(14) di dalam air. Keutamaan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan atas semua bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”[15) 

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dan al-Baihaqi.

At-Tirmidzi berkata, “Tidak diketahui kecuali dari hadits Ashim bin Raja’ bin Haiwah, menurutku sanadnya tidak bersambung, akan tetapi ia diriwayatkan dari Ashim bin Raja’ bin Haiwah dari Dawud bin Jamil dari Katsir bin Qais dari Abu ad-Darda’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; ini lebih shahih.”

Al-Mumli rahimahullah berkata, “Dan dari jalan ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, dan lain-lainnya. Ia diriwayatkan pula dari al-Auza’i dari Katsir bin Qais dari Yazid bin Samurah darinya. Dan dari al-Auza’i dari Abdus Salam bin Sulaim dari Yazid bin Samurah dari Katsir bin Qais darinya. Al-Bukhari berkata, “Ini lebih shahih”. Dan diriwayatkan selain itu. Hadits ini banyak diperselisihkan, sebagian darinya telah saya sebutkan dalam Mukhtashar as-Sunan(16)  dan saya paparkan di selainnya. Wallahu a’lam.

(71) – 5 : Hasan

Dari Shafwan bin Assal al-Muradi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ مُتَّكِئٌ عَلَى بُرْدٍ لَهُ أَحْمَرَ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، إِنِّيْ جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ. فَقَالَ: مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ تَحُفُّهُ الْمَلَائِكَةُ (وَتُظِلُّهُ) بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ

“Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara beliau di masjid sedang ber-telekan selimutnya yang berwarna merah. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku datang (untuk) mencari ilmu.’ Beliau bersabda, ‘Selamat datang penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu itu dikelilingi dan (dinaungi)(17)  oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian sebagian dari mereka menaiki sebagian yang lain sehingga mereka sampai di langit dunia, karena kecintaan mereka kepada apa yang dicarinya’.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, ath-Thabrani dengan sanad baik (jayyid), dan lafazh hadits ini adalah lafazhnya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim, dan dia berkata, “Sanadnya shahih.” Ibnu Majah meriwayatkan hadits senada dengan ringkas dan lafazhnya akan hadir insya Allah, pada bab 2 dari Kitab Ilmu, no. 2.

(72) – 6 : Shahih

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ 

“Menuntut ilmu itu adalah kewajiban atas setiap Muslim….” (18) 

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lain-lainnya.

(73) – 7 : Hasan Lighairihi

Dari Anas, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِيْ قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهْرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلًا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

“Ada tujuh perkara di mana pahalanya mengalir kepada seorang hamba sementara dia di dalam kuburnya setelah mati: Orang yang mengajarkan ilmu, atau menggali sungai(19), atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid, atau mewariskan mushaf, atau dia meninggalkan seorang anak yang memohon ampunan untuknya setelah dia mati.”

Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dan dia berkata, “Ini adalah hadits gharib dari hadits Qatadah, Abu Nu’aim meriwayatkannya sendiri dari al-Arzami.”

Dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi, lalu dia berkata, “Muhammad bin Ubaidullah al-Azrami adalah dhaif, hanya saja hadits ini sebagian dari kandungannya telah dikuatkan oleh hadits lain yaitu dua hadits; yakni hadits ini dan hadits yang disebutkan sebelumnya(20)  di mana keduanya tidak menyelisihi hadits shahih, di mana padanya dia berkata, ‘Kecuali dari sedekah jariyah’, dan ia mengumpulkan tambahan yang dihadirkannya.”(21)

Al-Hafizh Abdul Azhim berkata, “Ia diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya dengan riwayat senada dari hadits Abu Hurairah, ia akan hadir insya Allah (tidak jauh dari pasal ini).”

(74) – 8 : Hasan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ، مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا، إِلَّا ذِكْرَ اللّٰهِ وَمَا وَالَاهُ، وَعَالِمًا وَمُتَعَلِّمًا

“Dunia dilaknat, dan apa yang terdapat padanya dilaknat, kecuali dzikir kepada Allah dan apa yang Dia cintai, dan seorang alim (berilmu) dan muta’allim (pencari ilmu).” (22) 

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Baihaqi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”

(75) – 9 : Shahih

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللّٰهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللّٰهُ الْحِكْمَةَ، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri (hasad) kecuali dalam dua perkara: Seorang laki-laki yang diberi harta oleh Allah, maka dia menghabiskannya dalam kebenaran, dan seorang laki-laki yang diberi hikmah oleh Allah lalu dia memutuskan dengannya (di antara manusia) dan mengajarkannya.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

“Hasad” disebut secara mutlak, dan maksudnya adalah harap-an lenyapnya nikmat dari orang yang dihasadi, ini haram dan ia disebut secara mutlak dan maksudnya adalah ghibthah, yaitu ber-harap sepertinya (tanpa berharap hilangnya nikmat dari yang ber-sangkutan, Pent). Ini tidak mengapa dan inilah yang dimaksud dalam hadits di atas.

(76) – 10 : Shahih

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

]إِنَّ] مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللّٰهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ وَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللّٰهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا، وَأَصَابَ طَائِفَةً أُخْرَى مِنْهَا، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ، لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً، فَذٰلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ c، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللّٰهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذٰلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللّٰهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ

“[Sesungguhnya] perumpamaan(23) hidayah(24) dan ilmu di mana Allah mengutusku dengannya adalah seperti hujan yang menyiram bumi. Dari bumi itu terdapat bagian tanah yang baik yang menerima air, maka ia menumbuhkan tumbuh-tumbuhan(25) dan rerumputan yang lebat. Di antara bumi itu terdapat bagian yang keras(26)  yang menahan air, yang dengannya Allah memberi manfaat kepada manusia, maka mereka minum darinya, memberi minum, dan bercocok tanam.(27) Hujan itu juga menyirami bagian lain dari bumi di mana ia hanyalah dataran tandus(28) yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Maka (yang pertama) itulah perumpamaan orang yang faqih(29)  dalam agama Allah Ta’ala di mana dia mengambil manfaat dari apa yang Allah utus aku dengannya, lalu dia mengetahui dan mengajarkan, dan (yang kedua adalah) perumpamaan orang yang tidak mengangkat kepalanya(30) kepada ilmu itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

(77) – 11 : Hasan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ، أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيْلِ بَنَاهُ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِيْ صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ، يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya di antara yang akan menyertai seorang Mukmin dari amal dan kebaikannya setelah matinya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, atau mushaf (al-Qur`an) yang diwariskannya, atau masjid yang dibangunnya, atau rumah untuk orang-orang musafir yang dibangunnya, atau sungai yang dialir-kannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya pada waktu sehat dan semasa hidupnya, semuanya akan menyusulnya setelah kematiannya.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad hasan, dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya dengan riwayat senada, hanya saja dia berkata, “(أَوْنَهْرًاكَرَاهُ) Atau sungai yang digalinya,” tanpa menyebut mushaf.

(78) – 12 : Shahih

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila anak cucu Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, atau ilmu yang dapat diambil manfaatnya, atau anak shalih yang berdoa untuknya.”

Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.

(79) – 13 : Shahih

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ مَا يُخَلِّفُ الرَّجُلُ مِنْ بَعْدِهِ ثَلَاثٌ: وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ، وَصَدَقَةٌ تَجْرِي يَبْلُغُهُ أَجْرُهَا، وَعِلْمٌ يُعْمَلُ بِهِ مِنْ بَعْدِهِ

“Sebaik-baik perkara yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah ke-matiannya ada tiga: Anak shalih yang berdoa untuknya, sedekah jariyah yang pahalanya sampai kepadanya dan ilmu yang diamalkan sesudah wafatnya.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad shahih.

(80) – 14 : Hasan Lighairihi

Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ شَيْءٌ

“Barangsiapa mengajarkan ilmu, maka dia memperoleh pahala orang yang mengamalkannya, dan pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikit pun.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah.(31)  Dan pembahasan tentang Sahal akan hadir.(32)

(81) – 15 : Hasan Lighairihi

Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

ذُكِرَ لِرَسُوْلِ اللّٰهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلَانِ: أَحَدُهُمَا عَابِدٌ، وَالْآخَرُ عَالِمٌ، فَقَالَ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ : فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى أَدْنَاكُمْ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : إِنَّ اللّٰهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمٰوَاتِ وَالْأَرَضِيْنَ -حَتَّى النَّمْلَةَ فِيْ جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوْتَ- لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Ada dua orang yang disebut-sebut di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Salah satunya adalah ahli ibadah dan yang lainnya adalah ahli ilmu, maka Nabi a bersabda, ‘Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku di atas orang terendah dari kalian’.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikatNya, penduduk langit dan bumi –bahkan semut di liangnya, sampai-sampai ikan besar–, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajar kebaikan kepada manusia’.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”

(82) – 16 : Shahih Lighairihi

Dan diriwayatkan oleh al-Bazzar dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha secara ringkas,

مُعَلِّمُ الْخَيْرِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ، حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْبَحْرِ

“Segala sesuatu sampai ikan besar di laut memohonkan ampunan untuk orang yang mengajarkan kebaikan.”

(83) – 17 : Hasan Tapi Mauquf

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ مَرَّ بِسُوْقِ الْمَدِيْنَةِ فَوَقَفَ عَلَيْهَا فَقَالَ: يَا أَهْلَ السُّوْقِ! مَا أَعْجَزَكُمْ! قَالُوْا: وَمَا ذَاكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: ذَاكَ مِيْرَاثُ رَسُوْلِ اللّٰهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُقْسَمُ، وَأَنْتُمْ هَا هُنَا، أَلَّا تَذْهَبُوْنَ فَتَأْخُذُوْنَ نَصِيْبَكُمْ مِنْهُ؟ قَالُوْا: وَأَيْنَ هُوَ؟ قَالَ: فِي الْمَسْجِدِ، فَخَرَجُوْا سِرَاعًا، وَوَقَفَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ لَهُمْ حَتَّى رَجَعُوْا، فَقَالَ لَهُمْ: مَا لَكُمْ؟ فَقَالُوْا: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ! قَدْ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَا فِيْهِ، فَلَمْ نَرَ فِيْهِ شَيْئًا يُقْسَمُ! فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةُ: وَمَا رَأَيْتُمْ فِي الْمَسْجِدِ أَحَدًا؟ قَالُوْا: بَلَى، رَأَيْنَا قَوْمًا يُصَلُّوْنَ، وَقَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنُ، وَقَوْمًا يَتَذَاكَرُوْنَ الْحَلَالَ وَالْحَرَامَ، فَقَالَ لَهُمْ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَيْحَكُمْ! فَذَاكَ مِيْرَاثُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –

“Bahwa dia melewati pasar Madinah, lalu dia berhenti di sana dan berkata, ‘Wahai penghuni pasar, betapa lemahnya (agama) kalian.’ Mereka bertanya, ‘Apa maksudmu ya Abu Hurairah?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Itu warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang dibagikan sementara kalian masih di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana untuk mengambil jatah kalian darinya?’ Mereka bertanya, ‘Di mana?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Di masjid.’ Maka mereka keluar dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menjaga barang mereka, sampai mereka kembali. Abu Hurairah bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Ya Abu Hurairah, kami telah datang ke masjid. Kami masuk ke dalamnya tetapi kami tidak melihat ada sesuatu yang dibagi-bagi.’ Abu Hurairah berkata kepada mereka, ‘Apakah kalian tidak melihat seseorang di masjid?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kami melihat orang-orang yang shalat, orang-orang yang membaca al-Qur`an dan orang-orang yang mempelajari halal dan haram.’ Abu Hurairah berkata kepada mereka, ‘Celaka kalian, itulah warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam’.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dengan sanad hasan. (33)

 

KETERANGAN:

(1) (اَلْفِقْهُ) makna dasarnya adalah memahami, dikatakan, فَقِهَ الرَّجُلُ “orang itu telah paham” dengan qaf dibaca kasrah, jika laki-laki itu mengerti dan mengetahui. Dan dikatakan, ‘فَقُهَ يَفْقَهُ ‘ dengan qaf pertama dibaca dhammah, jika dia menjadi seorang alim yang faqih. Kebiasaan telah membatasinya pada ilmu syariat dan mengkhususkannya pada ilmu-ilmu furu’ darinya. Ini dikatakan oleh Abu as-Sa’adat.

Saya berkata, “Pengkhususannya dengan ilmu furu’ tidak berpijak kepada dalil.” Ad-Darimi meriwayatkan dari Imran al-Minqari berkata, “Suatu hari aku berkata kepada al-Hasan tentang suatu masalah, ‘Tidak begini yang dikatakan oleh para fuqaha.” Dia berkata, “Celaka dirimu, apakah kamu telah melihat orang yang faqih? Orang yang faqih itu adalah yang zuhud terhadap dunia, yang berambisi meraih akhirat, yang mengetahui perkara-perkara agamanya dan selalu beribadah kepada Tuhannya.”

(2) Di kitab asli di sini terdapat ucapan yang teksnya begini, “Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la, dan dia menambahkan, ‘Barangsiapa yang tidak dipahamkan oleh Allah dalam agama, maka berarti Dia tidak memperhatikannya.’ Karena sanadnya sangat lemah, maka aku tidak menyebutkannya bersama Shahih at-Targhib ini seperti yang telah dijelaskan di mukadimah. Ia ditakhrij dalam adh-Dha’ifah, no. 6708.

(3) Ia memiliki jalan periwayatan yang banyak dan syahid-syahid yang menguatkannya. Lihat ash-Shahihah, no. 342.

(4) (نَفَّسَ) dengan fa` dibaca tasydid, artinya memberi jalan keluar dan menghilangkan dengan hartanya atau kedudukannya atau dengan petunjuknya atau bantuannya atau campur tangannya atau doanya atau syafa’atnya.

(5) (كُرَبٌ) dengan kaf dibaca dhammah dan ra` dibaca fathah adalah bentuk jamak dari كُرْبَةٌ yang artinya dalam bahasa adalah kesedihan yang menyesakkan dada. Maknanya adalah, memudahkan dan melenyapkan satu kesedihan dari kesedihan-kesedihan dunia, kesedihan apa pun, kecil atau besar yang berkaitan dengan kehormatan, kebutuhan, harta dan perlengkapannya. Tentu saja hal ini dalam perkara yang dibolehkan secara syar’i. Adapun yang haram atau makruh, maka tidak boleh memudahkan dan membantunya.

(6) Maksudnya, menutup badannya dengan pakaian atau menutup aibnya dari manusia. Ini jika orang itu tidak terkenal sebagai orang yang rusak, di mana dia termasuk orang yang dikenal baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

قِيْلُوْا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا الْحُدُوْدَ

“Tutupilah kesalahan-kesalahan orang-orang yang dikenal baik kecuali (yang mengharuskan) perkara hudud (pelanggaran syariat).” Hadits shahih, saya mentakhrijnya dalam ash-Shahihah, no. 638. Ini harus dibatasi hanya pada hak-hak Allah seperti zina, minum khamar, dan seperti keduanya, bukan pada hak-hak manusia seperti membunuh, mencuri dan sebagainya. Menutup dalam hal ini haram dan memberitahukannya adalah wajib.

(7) Ialah orang yang terlilit utang di mana dia mengalami kesulitan untuk melunasinya, (dan memudahkannya adalah) dengan penangguhan tempo pembayaran atau pembebasan, atau bisa juga bermakna kemiskinan, lalu dia memudahkan perkaranya dengan hibah, sedekah, atau hutang.

(8) Yakni, membantunya; (مَا كَانَ الْعَبْدُ) selama hamba tersebut berada dalam posisi menolong saudaranya, yakni, dengan harta, kedudukan, hati, atau badannya.

(9) Menuntut. Dan ucapannya, فِيْ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللّٰهِ “di salah satu rumah Allah” artinya, masjid atau sekolah atau tapal batas perang tempat bersiap siaga. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata, “Di masjid-masjid.”

(10) Ini meliputi segala hal yang berkenaan dengan al-Qur`an: mempelajarinya, mengajarkannya, saling mengkaji di antara mereka, membuka maknanya dengan tafsir dan meneliti bacaan dan maknanya yang benar.

(11) Ketenangan, kebersihan, ketenteraman, keteguhan dan keteduhan hati. Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ) artinya mereka diliputi oleh rahmat, dan ucapannya (حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ) maknanya, para malaikat mengelilingi dan menjaga mereka.

(12) بَطَّأَ dengan tha` dibaca tasydid, maknanya, siapa yang amal buruknya membuatnya lambat beramal shalih dan melalaikannya untuk beramal kebaikan, maka di akhirat kemuliaan nasab dan kedudukan nenek moyang tidak berguna baginya, ia tidak mempercepat dirinya ke surga, akan tetapi pelaku ketaatan didahulukan, (walaupun dia adalah hamba sahaya hitam) daripada orang yang tidak berbuat taat, walaupun dia adalah orang Quraisy yang terhormat. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

(13) Takhrij ini mengandung kekeliruan yang aneh yang telah dikoreksi oleh Syaikh an-Naji (Lembaran – 16-17). Jika dipaparkan niscaya pembahasannya menjadi panjang, akan tetapi yang penting di sini adalah memberitahukan bahwa redaksi hadits ini hanya milik Ibnu Majah tanpa menyebut Muslim dan lainnya yang disebut bersama-nya. Sanadnya shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain.

(14) حِيْتَانٌ Jamak dari حُوْتٌ, yaitu ikan besar, ia adalah mudzakkar, Allah berfirmanﮋ ﮛ  ﮜ  ﮊ “maka dia ditelan ikan besar”. [Ash-Shaffat: 142].

(15) Maknanya adalah memperoleh bagian yang sempurna, tidak ada yang lebih sempurna darinya.

(16) Nomor hadits padanya (3494). Aku berkata, “Perselisihan ini juga disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayan al-Ilmi,” dengan panjang lebar. Silakan merujuk-nya 1/33-37. Persoalan hadits ini terletak pada Dawud bin Jamil dari Katsir bin Qais, keduanya adalah majhul (tidak diketahui), akan tetapi Abu Dawud meriwayatkannya dari jalan yang lain dari Abu ad-Darda’ dengan sanad hasan.

(17) Tambahan ini tercecer dari kitab asli, saya menyusulkannya dari ath-Thabrani, 8/63/ 1347.

(18) Lihat komentar atas hadits ini di Kitab yang lain, Kitab Ilmu bab 1.

(19) Yakni menggali dan membuang lumpurnya. Di dalam al-Mishbah dikatakan (وَكَرَيْتُ النَّهْرَ كَرْيًا) dengan timbangan kata (رَمَى), artinya, “Aku menggalinya dengan galian baru.” Dan sebagian dari hadits ini memiliki syahid seperti yang dikatakan oleh penulis.

(20) Dia mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah yang semakna dengannya, ia akan datang di bab no. 11 dan hadits shahih sesudahnya.

(21) Di kitab asli, “Tambahan dan kekurangan yang terdapat padanya.” Koreksinya dari Syu’ab al-Iman (3/248).

(22) Yang dimaksud dengan “dunia” di sini adalah segala urusan yang menyibukkan dari Allah dan menjauhkan dariNya. Dan yang dimaksud dengan dilaknat di sini adalah jauhnya ia dari pandanganNya. Pengecualian di sini yaitu pada ucapan, “Kecuali dzikir kepada Allah” adalah pengecualian yang munqathi (terputus). Dan mungkin juga maksudnya adalah seluruh alam bawah dan semua yang memperoleh bagian penerimaan di sisiNya, ia dikecualikan dengan ucapannya “kecuali dzikir kepada Allah”. Jadi pengecualiannya muttashil (bersambung).

(اَلْمُوَالَاةُ) maknanya adalah kecintaan, yakni kecuali dzikir kepada Allah dan urusan yang terjadi di dunia yang dicintai oleh Allah. Atau artinya adalah “mengikuti” jadi maksudnya adalah, apa yang berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Mungkin juga mak-sudnya adalah apa yang sesuai dengan dzikir kepada Allah yakni yang sejenis dan mirip dengannya, taat kepadaNya, mengikuti perintahNya, menjauhi laranganNya semua itu termasuk ke dalam apa yang sesuai dengan dzikir kepada Allah. Wallahu a’lam.

(23) (اَلْمَثَلُ ) dengan tsa` dibaca fathah. Maksudnya adalah sifat yang luar biasa, bukan ucapan yang umum. Tambahan, (إِنَّ) dari Muslim dan redaksi ini juga dari Muslim.

(24) Yaitu petunjuk yang mengantarkan kepada apa yang dinginkan. Yang diinginkan dengan “ilmu” adalah mengetahui dalil-dalil syar’i bukan furu-furu’ madzhab. Dan (اَلْغَيْثُ) adalah hujan.

(25) (اَلْكَلَأُ) dengan hamzah tanpa mad artinya adalah pohon  (tumbuhan) yang basah ataupun yang kering dan (اَلْعُشْبُ) adalah tumbuhan yang basah (hijau), jadi ini ter-masuk athaf (menggabungkan) sesuatu yang khusus kepada sesuatu yang umum.

(26) (أَجَادِبُ) adalah bentuk jamak dari (جَدَبٌ) dengan dal yang dibaca fathah yang tidak sesuai dengan qiyas (bahasa). Ia adalah tanah keras yang menahan air dan tidak menyerapnya dengan cepat. Dikatakan, ia adalah tanah yang tidak berpohon. Diambil dari (اَلْجَدْبُ) yang artinya adalah gersang.

(27) Ini adalah lafazh al-Bukhari. Dan lafazh Muslim adalah (وَرَعَوْا) “dan mereka meng-gembala.” Ahmad mengumpulkan keduanya dengan lafazh (فَشَرِبُوْا، فَرَعَوْا، وَسَقَوْا، وَزَرَعُوْا وَأسْقَوْا). “Lalu mereka minum, menggembala, menyiram, menanam dan memberi minum.”

(28) (قِيْعَانٌ) adalah bentuk jamak dari (قَاعٌ) yaitu tanah datar yang licin yang tidak menum-buhkan.

(29) (فَقُهَ)dengan qaf dibaca dhammah, artinya dia menjadi faqih. Imam al-Qurthubi dan para pensyarah hadits berkata, “Nabi membuat perumpamaan tentang agama yang dibawanya dengan perumpamaan hujan yang menyeluruh yang turun kepada manu-sia pada saat mereka membutuhkannya. Begitulah keadaan manusia sebelum nabi diutus, sebagaimana hujan menghidupkan tanah yang mati, begitu pula ilmu-ilmu agama menghidupkan hati yang mati. Kemudian Nabi menyamakan orang-orang yang mendengar darinya dengan tanah yang bermacam-macam yang disirami oleh hujan. Di antara mereka terdapat orang yang mengamalkan sekaligus mengajarkan, dia ibarat tanah yang baik, ia menyerap, mengambil manfaat untuk dirinya lalu me-numbuhkan, maka ia bermanfaat untuk yang lain. Di antara mereka terdapat orang yang mengumpulkan ilmu yang menghabiskan waktunya untuknya, hanya saja dia tidak mengamalkan sunnah-sunnahnya atau apa yang dia kumpulkan tidak membawa manfaat untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia menunaikannya untuk orang lain. Ia ibarat bumi yang keras atau licin yang tidak menerima air atau ia merusaknya bagi selainnya. Dalam perumpamaan ini digabungkan antara dua golongan yang pertama yang sama-sama terpuji, karena keduanya sama-sama bisa diambil manfaatnya. Lalu golongan ketiga yang tercela disebut secara tersendiri karena ia tidak berguna.” Wallahu a’lam.

(30) Tidak memperhatikan kepada ilmu itu, Ed. T.

(31) Saya berkata, “Sanadnya mungkin untuk dihasankan. Ia didukung oleh hadits, مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً ‘Barangsiapa memulai sunnah yang baik dalam Islam…’ al-Hadits. Dan hadits-hadits senada sebelumnya Kitab as-Sunah bab 3 no. 1-5 dan hadits, ‘Ba-rangsiapa menunjukkan kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala pela-kunya.’ Dan hadits-hadits yang semakna dengannya yang akan hadir di bab 7 – 1-2.”

(32) Saya berkata, “Maksudnya, di akhir kitab di mana dia berkata, ‘Bab penjelasan tentang rawi-rawi yang diperselisihkan yang disebutkan dalam kitab ini’ dan saya melihat tidak perlu saya sertakan dalam kitab ini, karena kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta’dil cukup untuk itu, lebih-lebih apa yang dia sebutkan tentang sebagian rawi yang dijelaskan kitab ini mengandung kritik.”

(33) Saya berkata, “Begitulah yang dikatakan oleh al-Haitsami, 11/124.

 

Referensi: 

SHAHIH AT-TARGHIB WA AT-TARHIB (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa; Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani; Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.