Segala puji bagi Allah ‘Azza wajalla. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, manusia pilihan-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba’du,

Sesungguhnya surat al-Fatihah adalah surat teragung di dalam al-Qur’an. Dan, ayat di dalam surat ini yang paling konperhensif menjelaskan makna-makna agama dan hakikatnya adalah firman-Nya,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. ( QS. al-Fatihah : 5 )

Ketika seorang hamba membaca ayat ini, ia mengakui dua perkara yang agung :

Pertama, bahwa dirinya adalah hamba Allah ‘Azza wajalla, tidak menyembah apa pun selain-Nya, dan ia tidak menunjukkan dengan rasa harap dan takutnya, rasa cinta dan harapannya, shalat dan nusuknya, serta seluruh bentuk peribadatannya, melainkan kepada Allah ‘Azza wajalla semata. Ia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Kedua, bahwa dirinya tidak meminta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya, menyingkap kesedihannya, membebaskan diri dari perkara yang tidak mengenakannya, pengijabahan doa-doanya, mewujudkan cita-citanya, dan mengangkat kepedihan darinya kecuali kepada Allah ‘Azza wajalla, karena Dialah satu-satunya Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Dzat yang layak dimintai pertolongan atas segala urusan. Dengan ini, seorang hamba mengakui terhadap rabbnya akan kekuatan mutlak dan kemampuan-Nya yang sempurna, ilmu-Nya yang sempurna, rahmat-Nya yang luas, dan sifat rububiyah yang menyeluruh yang dimiliki-Nya, karunia, kekuasaan dan pemberian kenikmatan-kenikmatan dari-Nya.

Ayat ini, meskipun sedikit jumlah lafazhnya namun mengandung makna-makna yang sedemikian agung dan hakikat-hakikat yang tinggi, selayaknya seorang muslim berupaya sepenuh hati untuk menggalinya.

Di antaranya :

  • Bahwa, di dalam ayat ini “ibadah” dikedepankan atas “isti’anah” (meminta pertolongan); karena ibadah itu merupakan hak Allah ‘Azza wajalla, sedangkan isti’anah adalah hak makhluk. Dan, hak Allah ‘Azza wajalla itu–tanpa diragukan- selayaknya dikedepankan atas hak makhluk. Dengan ini, ayat ini mengajarkan kepada kita adab kepada Allah ‘Azza wajalla, mengedepankan hak-Nya, perintah dan larangan-Nya atas segala sesuatu, sebagai bentuk pengakuan terhadap karunia dan sifat uluhiyah-Nya dan sebagai bentuk pengagungan dan ketundukan terhadap-Nya.
  • Bahwa, kedua buah fi’il (kata kerja) dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk jama’ (نَعْبُدُ  kami menyembah dan نَسْتَعِيْنُ  kami memohon pertolongan), tidak dikatakan أَعْبُدُ   saya menyembah dan أَسْتَعِيْنُ  saya memohon pertolongan, hal ini sebagai pengingat bagi seorang muslim bahwa dirinya memiliki ikatan dengan jama’ah kaum muslimin, dan sebagai motivasi agar hal tersebut selalu ada, serta agar dirinya jauh dari sifat menyendiri dan memisahkan diri. Disamping itu, di dalam ayat ini juga mengajarkan untuk bersifat tawadhu’ (rendah hati) sebagai konsekwensi dari pengakuannya ini. Hal demikian itu karena bila seorang muslim mengingat peribadatannya bersama dengan peribadatan jama’ah (kaum muslimin), mengingat bahwa permintaan tolongnya kepada Allah ‘Azza wajalla bersama dengan permintaan tolong kaum muslimin  niscaya akan terangkat dari hatinya keberpalingan dirinya kepada ibadahnya dan rasa takjubnya pada dirinya sendiri. Maka, dengan lisanul haal, ia mengatakan : saya wahai Rabb, bukan ibadah dariku yang berhak untuk saya elu-elukan, akan tetapi ibadahku bersama dengan saudara-saudaraku (kaum muslimin) adalah yang menjadi pengakuanku kepada-Mu dan tawasul-ku kepada-Mu. Dengan ini, gugurlah pandangan orang yang shalat terhadap amal yang dilakukannya. Dan, ini merupakan pendorong untuk diterimanya amal yang dilakukannya oleh Rabbnya dan diijabahinya doa yang dipanjatkannya. Karena, tidaklah akan diterima suatu amal dari orang yang merasa takjub kepada dirinya, dan tidak pula akan didengar doa yang dipanjatkan oleh orang yang menyombongkan diri.
  • Bahwa, dikedepankannya “ibadah” atas “isti’anah”(memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla) di dalam ayat ini selaras dengan pembagian surat ini yang disebutkan dalam hadis qudsi, di mana Allah ‘Azza wajalla berfirman,

قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ… فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ

Aku membagi ash-Shalah (surat al-Fatihah) antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian…maka bila ia (seorang hamba) mengucapkan : (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ) hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Dia (Allah) berfirman,’ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta…alhadis. (HR. Muslim). Maka, setengah yang perama adalah untuk Allah ‘Azza wajalla dan setengah yang kedua adalah untuk hamba. Dan, surat ini (surat al-Fatihah) terdiri atas tujuh ayat, dimulai-menurut pendapat yang benar- dengan firman-Nya,

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. ( QS. al-Fatihah : 2 )

Dengan demikian, maka apa yang bagi Allah ‘Azza wajalla di dalam surat ini adalah tiga setengah ayat, dan apa yang bagi hamba juga tiga setengah ayat.

  • Bahwa, agama itu terbagi menjadi dua bagian; ibadah dan isti’anah. Agama seseorang tidak akan sempurna sebelum ia menegakkan kedua bagian tersebut dengan sesempurna mungkin. Maka, shalat merupakan ibadah dan isti’anah, meminta kepada Allah ‘Azza wajalla dan berdoa kepada-Nya merupakan ibadah dan isti’anah. Dan, makhluk yang paling utama adalah orang yang menyempurnakan kedua hal tersebut dan menegakkan keduanya dengan sesempurna mungkin dan dalam kondisi dan keadaan yang Sedangkan, seburuk-buruk makluk adalah orang yang meninggalkan ibadah kepada Allah ‘Azza wajalla, dan meninggalkan permohonan kepada-Nya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, untuk menyingkap kesedihan, untuk mempermudah urusannya dan untuk melapangkan dadanya.

Ini dua bagian, dan tersisa dua bagian pula :

Pertama, orang yang melaksanakan ubudiyah (ibadah) namun kurang di dalam urusan meminta pertolongan (kepada Allah ‘Azza wajalla). Ini bisa jadi terjadi pada sebagian orang shaleh, dimana ia menunaikan hal-hal yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan hal-hal yang dilarang-Nya, ia melakukan hal tersebut secara teratur, akan tetapi ia kurang dalam hal meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla untuk pemenuhan hajatnya dan beribadah kepada rabbnya. Dengan itu, ia telah diharamkan mendapatkan bagian yang besar berupa merasa butuh kepada Allah ‘Azza wajalla, kembali kepada-Nya, mengutarakan kebutuhan kepada-Nya, mengemukaan hajatnya kepada Dzat yang gembira dengan pemenuhan hajat-hajat tersebut.

Dia ‘Azza wajalla menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam cobaan agar mereka menghadapkan diri kepada Rabbnya, merendahkan hati mereka di hadapan-Nya sehingga menjadi tenang dengan bermunajat kepada Dzat yang Maha mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Penyayang, merasa lezat dengan berdoa kepada-Nya, dan menjadi jinak dengan mengemukakan hajat-hajatnya kepada-Nya.

Kelompok ini terjatuh kedalam kekurangan dalam meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla karena ketidaktahuannya akan kedudukan isti’anah yang mana keimanan seorang hamba tidak akan sempurna melainkan dengannya. Juga karena mereka lalai dari mengambil teladan para Nabi yang sedemikian luar biasa di dalam meminta pertolongan kepada rabb mereka, kembali kepada-Nya, mengemukakan hajat-hajat mereka kepada rabb mereka dalam setiap urusan kehidupan mereka. Mereka sama sekali tidak kurang dalam melakukan hal tersebut. Renungkanlah keadaan kalimurrahman (Nabi Musa ‘alaihissalam)) ketika ia membunuh seorang qibthiy dan seorang lelaki datang bergegas dari ujung kota, memberikan warning kepadanya, Allah ‘Azza wajalla berfirman (tentang keadaannya),

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ ۖقَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ، وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَآءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّىٓ أَن يَهْدِيَنِى سَوَآءَ السَّبِيلِ

Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zhalim itu.”Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar (Qs. al-Qashash : 21-22)

Kemudian, ketika dia sampai di sumber air negeri Madyan dan memberi minum ternak yang digembalakan oleh dua orang perempuan dengan tanpa imbalan, Allah ‘Azza wajalla berfirman tentangnya,

 ثُمَّ تَوَلَّىٰ إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Dia (Musa) kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (Qs. al-Qashash : 24)

Renungkan pula tentang keadaan Sayidu Waladi Aadam (Penghulu Anak Adam) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika telah terjadi pertemuan antara dua pasukan (pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum kafirin) di Badar, beliau mengangkat kedua telapak tangannya ke langit, meminta kepada Rabbnya dan bermunajat kepada-Nya, beliau berdoa kepada-Nya dengan doa orang yang benar-benar membutuhkan kepada pertolongan dari rabbnya yang mulia, seraya mengatakan,

اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِى مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِى الأَرْضِ

Ya Allah, tunaikanlah apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah berikanlah apa yang Engkau telah janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan dari kalangan orang Islam terkalahkan niscaya Engkau tak akan disembah selamanya di bumi ini.

Maka, terus saja beliau mengencangkan suaranya memohon kepada Rabbnya sambil mengangkat kedua tangannya menghadap ke kiblat hingga selendangnya jatuh dari kedua pundaknya. Lalu, Abu Bakar menghampiri seledang beliau yang jatuh tersebut, lalu ia mengambilnya, lalu meletakkannya di atas kedua pundak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan memeganginya dari arah belakannya. (Abu Bakar sedemikian merasa kasihan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam karena saking merendahkan dirinya kepada Allah ‘Azza wajalla saat meminta kepada-Nya) dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengatakan (kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam)

يَا نَبِىَّ اللَّهِ كَذَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ

Wahai Nabi Allah, sebegitu sungguh-sungguhnya permohonanmu kepada Rabbmu, sungguh Dia akan menunaikan apa yang telah Dia janjikan untukmu. (HR. Muslim)

Sungguh, mereka para Nabi telah melakukan peribadatan kepada rabb mereka dengan sedemikian sempurna, namun hal itu tidaklah menghalangi atau mencegah mereka untuk tetap memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla, kembali kepada-Nya di dalam menyingkap penderitaaan dan memenuhi hajat-hajat, karena mereka tahu bahwa hal itu (senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya) termasuk kesempurnaan ibadah dan termasuk perkara yang sedemikian dicintai oleh Allah ‘Azza wajalla.

Kelompok yang kedua, orang yang senantiasa meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla dalam urusannya dan untuk mendapatkan kebutuhannya, namun dirinya kurang di dalam beribadah atau bahkan meninggalkannya secara keseluruhan. Hal ini ada pada sebagian orang-orang yang bermaksiat lagi menyimpang, orang-orang yang keras kepala dari kalangan para pelaku dosa.

Anda mendapati mereka banyak berdoa kepada Allah ‘Azza wajalla untuk memenuhi hajat mereka-baik hajat tersebut halal ataupun haram- namun demikian, mereka tidak memperhatikan perintah Allah ‘Azza wajalla, tidak pula memperhatikan larangan-Nya. Mereka tidak mentaati Allah ‘Azza wajalla, tidak pula mentaati Rasul-Nya, sedikit maupun banyak.

Mereka itulah empat kelompok manusia terkait dengan pengamalan dua rukun dalam ayat yang mulia ini, yaitu, “Ibadah” dan “isti’anah”.

Dan, dengan ini diketahui bahwa selayaknya orang yang berakal memperhatikan kedua hal yang agung ini di dalam amal-amalnya dan seluruh keadaannya. Maka dari itu, apabila seseorang berkeinginan kuat untuk  berpuasa, hendaknya ia meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla agar benar niatnya dan benar pula amalnya, dan  dengan sepenuh hati menghadapkan hatinya kepada-Nya. Kemudian, meminta kepada Allah ‘Azza wajalla, Rabbnya agar menerimanya. Begitupun apabila ia ingin menunaikan shalat, hendaknya ia meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wajalla agar ia mampu menegakkannya, dapat melaksanakannya dengan khusu’, dengan niat yang ikhlash, dan selamat dari was-was dan lintasan-lintasan pikiran yang menggangu konsentrasinya, dan seterusnya. Dan, hendaknya pula memperbanyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Ya Allah, tolonglah aku untuk dapat mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadah kepada-Mu.

Dan, di antara keajaiban ayat ini إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan-, adalah bahwa seorang hamba itu bertawasul dengannya sebelum ia mengemukakan doa yang sangat agung di dalam surat ini, yaitu : اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ  Tunjukilah kami jalan yang lurus. Maka, dengan itu ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang hamba yang hina yang membutuhkan dan meminta  pertolongan. Ini termasuk wasilah teragung untuk diijabahinya doa tersebut. Maka, dikatakan kepadanya, ‘perkara apakah yang paling penting yang engkau inginkan agar Allah ‘Azza wajalla memberikan pertolongan kepadamu, lalu ia mengatakan : اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Orang yang memuji Allah ‘Azza wajalla, menyanjung-Nya dan mengagungkan-Nya, kemudian ia mengakui kewajiban beribadah hanya kepada Rabbnya, layak untuk diijabahi doanya dan diwujudkan permintaan-permintaannya.

Alhasil, bahwa ayat ini merupakan ayat yang agung kedudukannya, selayaknya ditadabburi dan dihayati. Di dalamnya terdapat lebih banyak lagi dari apa yang telah disebutkan, terdapat arahan dan hakikat-hakikat yang tinggi. Semoga Allah ‘Azza wajalla mengaruniakan kepada kita untuk mengamalkannya, menunaikan haknya dan memikirkannya dengan baik.

Ya Allah !, karuniakanlah kepada kami kejujuran dalam beribadah kepada-Mu dan memohon pertolongan kepada-Mu.

Ya Allah !, ampunilah dosa kami, dosa kedua orang tua kami dan dosa seluruh kaum muslimin.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, berserta keluarga dan seluruh sahabatnya.

(Redaksi)

Sumber :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , Dr. Muhammad bin Abdul Aziz al-Khudhairiy,  dalam “Tsalatsuna Majlisan fii at-Tadabbur”, Majlis ke-4, hal. 31-36