Imam al-Bukhari rahimahullah berkata :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Israil, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abu al-Juwairiyah bahwa Ma’an bin Zayid  radhiyallahu ‘anhuma  menceritakan kepadanya seraya berkata,

بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَأَبِي وَجَدِّي, وَخَطَبَ عَلَيَّ فَأَنْكَحَنِي, وَخَاصَمْتُ إِلَيْهِ, وَكَانَ أَبِي يَزِيْدُ أَخْرَجَ دَنَانِيْرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ, فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا, فَأَتَيْتُهُ بِهَا, فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ. فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ : لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“Aku, ayahku, dan kakekku pernah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah melamarkan untukku dan menikahkanku. Aku juga bersumpah setia (untuk mengembalikan setiap urusanku) kepada beliau. Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan, dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid. Kemudian aku datang, aku ambil dan aku bawa kepadanya, lalu bapakku berkata, “Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju”. Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an”…(Shahih al- Bukhari, bab : idza Tashaddaqa ‘Ala Ibnihi Wa Huwa Laa Yasy’uru, no. 1422)

 Penjelasan :

  • Perkataan Ma’an bin Yazid, “Membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .”

Bai’at secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Bai’at juga mempunyai arti “janji setia dan taat.” Juga, mempunyai arti, “shofaquu ‘alaihi” (membuat perjanjian dengannya). Dalam suatu hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلا تُبَايِعُوْنِي عَلَى الْإِسْلَامِ

“Maukah kalian membaiatku di atas Islam”

Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. Seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.(Lisanul Arab,I/299)

Bai’at secara istilah (terminologi), yakni, “Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa. (al-Bai’ah Baina as-Sunnah Wa al-Bid’ah, 4/9)

  • Perkataan Ma’an, “Suatu hari bapakku, Yazid mengeluarkan dinar untuk dishadaqahkan, dia meletakkannya di samping seseorang yang berada di masjid.”

Yakni, ayahku memberikan izin secara mutlak kepada orang tersebut untuk memberikan uang tersebut kepada orang yang membutuhkannya (Fathul Baariy, Ibnu Hajar, 5/20)

  • Perkataan Ma’an, “Kemudian aku datang dan aku mengambilnya.”

Yakni, aku datang dan orang tersebut lantas memberikan dinar sedekah ayahku yang dititipkan kepadanya tersebut kepadaku, karena ia menduga bahwa aku membutuhkannya.

  • Perkataan Ma’an, “dan aku bawa kepadanya

Yakni, lantas aku membawa dinar yang diberikan oleh orang tersebut kepada ayahku, Yazid.

  • Perkataan Ma’an, “lalu bapakku berkata,”Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju

Yakni, ketika aku memberikan dinar tersebut kepada ayahku, ayahku mengatakan kepadaku, “Demi Allah, bukan kamu yang aku tuju”, dinar itu bukan untukmu, namun untuk orang lain, kalaulah saja engkau yang aku tuju, niscaya aku telah memberikannya kepadamu secara langsung tanpa perlu mewakilkan kepada orang lain untuk memberikannya kepadamu.

Atau, barangkali maksudnya adalah bahwa seakan-akan ia (Yazid) berpandangan bahwa sedekah terhadap anak sendiri tidak boleh.

Atau, dia (Yazid) berpandangan bahwa bersedekah kepada orang asing (yang tidak memiliki hubungan kerabat) adalah lebih utama. (Fathul-Baariy, Ibnu Hajar, 5/20)

  • Perkataan Ma’an, “Lalu masalah ini aku adukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “

Yakni, lalu aku beserta ayahku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk aku sampaikan kepada beliau masalah tersebut agar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan putusan apakah aku boleh mengambil harta tersebut ataukah tidak.

Dan, ternyata beliau memberikan putusan dengan mengatakan,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ. وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

“Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid, sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an.”

Yakni, beliau membolehkan aku untuk mengambil dinar tersebut yang awalnya merupakan sedekah ayahku.

  • Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

 لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ

Bagimu apa yang sudah kamu niatkan wahai Yazid

Yakni, sesungguhnya engkau wahai Yazid telah berniat untuk bersedekah dengan dinar tersebut terhadap orang yang membutuhkannya, sementara anakmu memang membutuhkannya, dengan demikian telah tepat sasarannya meskipun tidak terlintas dalam pikiranmu bahwa anakmu yang akan mengambilnya.

  • Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

”sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an

Yakni, karena kamu, wahai Ma’an, telah mengambil dinar tersebut karena kamu membutuhkannya. Maka, dinar tersebut menjadi milikmu.

  Faedah dan Pelajaran :

Dalam hadis ini terdapat banyak faedah dan pelajaran yang dapat kita ambil, antara lain,

  1. Disyariatkannya berbai’at (janji setia dan taat) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang dilakukan Yazid, Ma’an dan kakeknya dalam hadis ini. Seperti juga yang dilakukan oleh kaum wanita yang berbait kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam –sebagaimana dalam sejarah- yang terjadi pada hari kedua setelah penaklukan kota Makkah di atas bukit Shafa setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam selesai menerima baiat kaum pria.

Sebagaimana pula yang dilakukan oleh 12 orang kalangan Anshar yang membait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Aqabah.

Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya termasuk orang yang mengikuti bai’at ‘Aqabah pertama. Jumlah kami ketika itu dua belas orang. Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana bai’at yang beliau ambil dari kaum wanita. Peristiwa itu terjadi sebelum diwajibkan atas kami berperang. Kami membai’at beliau untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami dan tidak akan mendurhakai beliau dalam urusan yang baik, jika kami mematuhi bai’at tersebut maka kami berhak mendapat Surga. Jika kami mengkhianati sesuatu dari isi bai’at tersebut maka urusan kami diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak mengadzab maka Dia akan mengadzab kami, jika berkehendak memberi ampun maka Dia mengampuni kami.” (Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, hal.125)

  1. Disyariatkannya mencarikan jodoh untuk orang yang belum menikah. Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tercermin dalam ucapan Ma’an bin Yazid, “Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melamarkan untukku dan menikahkanku (dengan orang tersebut).” Bahkan, Allah ‘Azza wajalla berfirman,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nuur : 32)

  1. Seseorang boleh bersedekah kepada anaknya. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk bersedekah dan memotivasi untuk melakukannya. Suatu ketika, Zaenab Istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma ingin bersedekah dengan sebagian hartanya, lalu suaminya mengatakan (kepadanya),”Aku dan anakku adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan sedekah darimu,” –karena, kala itu beliau seorang yang fakir (membutuhkan)-. Namun, Zaenab mengatakan (kepada suaminya), “Tidak”, aku tidak akan melakukannya sebelum aku tanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, ia pun bertanya kepada Rasulullah a tentang hal tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,

صَدَقَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

Ibnu Mas’ud benar, suamimu dan anakmu adalah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan sedekahmu ketimbang orang lain. (Shahih al-Bukhari, no. 1462)

  1. Seseorang boleh memberikan zakat kepada anaknya dengan syarat hal itu tidak menggugurkan kewajiban yang dibebankan atasnya berupa pemberian nafkah.

Yakni, misalnya, andai kata seseorang memiliki harta zakat dan ia ingin memberikannya kepada anaknya agar anaknya tersebut tidak meminta jatah nafkah kepadanya. Maka, zakatnya tersebut tidak sah. Karena, pemberian zakatnya kepada anaknya tersebut ia menginginkan gugurnya kewajiban memberikan nafkah kepadanya.

Adapun jikalau orang tua memberikan zakat kepada anaknya untuk melunasai hutang yang ditangung oleh anaknya, misalkan, si anak terkena denda, dia diharuskan membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang mengalami kecelakaan karena dirinya, lalu sang ayah memberikan zakat hartanya kepada anaknya tersebut untuk melunasi hutangnya ini. Maka, hal tersebut tidak mengapa. Zakat yang dikeluarkannya tersebut sah. Karena, anaknya adalah orang terdekat dengannya. Dalam kasus ini, tindakannya memberikan zakat kepada anaknya tersebut tidak dimaksudkan untuk menggugurkan kewajibannya berupa memberikan nafkah kepada anaknya. Ia hanya bermaksud membebaskan tanggungan hutang anaknya. Maka, apabila inilah yang menjadi maksudnya, maka sesungguhnya zakat tersebut halal bagi si anak.

  1. Amal itu tergantung niat-niatnya dan bahwa seseorang apabila berniat berbuat kebaikan (yang disyariatkan) niscaya akan mendapatkannya. Sekalipun (dalam kasus ini) si Yazid tidaklah berniat agar yang mengambil sedekahnya tersebut adalah anaknya. Akan tetapi dinar tersebut diambil oleh anaknya. Sementara anaknya tersebut termasuk orang yang berhak untuk mendapatkannya, sehingga dinar (yang merupakan sedekah si Yazid) menjadi milik Ma’an, anaknya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (kepada Ma’an),

  وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

Sedangkan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma’an“.

Maka, hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amal itu tergantung pada niatnya, dan bahwa seseorang dituliskan untuknya pahala apa yang diniatkannya seklipun yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang diniatkannya. (Syarah Riyadhu ash-Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/39)

  1. Disyariatkannya, bahkan diwajibkannya bagi seseorang untuk menanyakan persoalan yang belum diketahuinya kepada ahli ilmu. Karena, Ma’an dan Yazid bapaknya membawa persoalan yang mereka hadapi yang belum mereka ketahui hukumnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah ‘Azza wajalla berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. an-Nahl : 43)

  1. Bahwa harta seorang ayah yang dikeluarkannya dan diberikan kepada anaknya dalam bentuk sedekah, atau untuk menyambung hubungan rahim, atau dalam bentuk hibah dan harta tersebut telah diterima anaknya, maka si ayah tidak boleh menarik kembali pemberiannya tersebut. (Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Baththal, 3/424)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Referensi :

  1. Al-Bai’ah Baina as-Sunnah Wa al-Bid’ah, Ali Hasan Ali Abdul Hamid
  2. Fathul Baariy, Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy
  3. Lisanul Arab, Ibnu Manzhur al-afriqiy al-Mishriy
  4. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhariy
  5. Syarah Riyadhu ash-Shalihin, Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin
  6. Syarah Shahih al-Bukhari, Aliy bin Khalaf bin Abdil Malik bin Baththal al-Qurthubiy
  7. Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Abdus Salam Harun