dzulPara ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan selain mereka, bersepakat bahwa puasa dari tanggal satu sampai dengan tanggal sembilan Dzulhijjah dianjurkan, tidak terdapat perselisihan padanya. Banyak sekali dalil yang menunjukan hal itu, yang mana dalil-dalil tersebut sebagiannya dishahihkan para ulama dan sebagian lagi terjadi khilaf (perselisihan) terhadap keshahihannya, diantara hadits tersebut:

Dalil pertama:

عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ( ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله منه في هذه الأيام العشر. قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذلك بشيء ).

Artinya:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiallahu’anhuma, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Tidak ada hari-hari yang mana-amalan shaleh padanya lebih dicintai oleh Allah kecuali sepuluh hari pertama (Dzulhijjah), Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, (apakah melebih keutamaan) jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: “(Ya, melebihi) jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar (berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun (darinya)”.(HR. Bukhari: 969, Tirmidzi: 757)

Dalil kedua:

عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ( ما من عمل أزكى عند الله عز وجل ولا أعظم أجرا من خير تعمله في عشر الأضحى. قيل: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله عز وجل إلا رجل خرج بنفسه، وماله فلم يرجع من ذلك بشيء).

Artinya:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiallahu’anhuma, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah ‘azza wajalla, dan tidak pula lebih besar pahalanya daripada kebaikan yang engkau lakukan pada tanggal sepuluh hari Adhha (Dzul Hijjah).” Beliau ditanya; “Tidak pula berjihad di jalan Allah ‘azza wajalla?” Beliau menjawab: “Tidak pula berjihad di jalan Allah ‘azza wajalla, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatupun.(HR.Ad-Darimi:1709)

Kedua hadits di atas telah dishahihkan para ulama.

Pendalilan dari dua hadits di atas, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam menjelaskan bahwa seutama-utama amalan shalih di sisi Allah ta’ala adalah amalan-amalan shalih (yang dikerjakan) pada sepuluh pertama (1-9) bulan dzulhijjah, dan amalan shalih di sini umum, mencakup puasa, oleh sebab itu maka puasa di waktu itu menjadi disunnahkan seperti amalan-amalan shalih lainnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Hadits Ibnu Abbas menunjukan bahwa dilipat gandakannya pahala semua amalan shalih di sepuluh pertama (Dzul hijjah) tanpa mengecualikan sesuatupun darinya”.

Dalil ketiga:

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

Artinya:
“Dari Hunaidah bin Khalid dari Istrinya wanita dari sebagian isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada sembilan (hari) Bulan Dzul Hijjah, serta pada Hari ‘Asyura` serta tiga hari dari setiap bulan, dan hari Senin serta Kamis pada setiap bulan”.(HR. Abu Daud: 2081 dan Imam Ahmad: 21302, 25263, 26109)

Hadits yang semisalnya:

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ الْخُزَاعِيِّ عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Artinya:
Dari Hunaidah bin Khalid Al Khuza’i dari Hafshah dia berkata; “Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; puasa ‘Asyura, puasa sepuluh hari, puasa tiga hari dalam setiap bulan dan dua raka’at sebelum Subuh”.(HR. An-Nasai: 2373, Imam Ahmad:25254)

Hadits ini menetapkan secara jelas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada sembilan hari di awal bulan Dzulhijah, ini sebagai dalil bahwa puasa tersebut sunnah. Namun para ulama berselisih pendapat tentang keshahihan hadits ini, sebagian mereka menshahihkan, seperti: Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits yang diriwayatkan oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau mendhaifkan hadits hafshah. Imam As-Suyuti dan Abdul Qadir Al-Arnut menshahihkan hadits Hafshah. Sedangkan Imam Ahmad lebih condong menshahihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di sembilan hari di awal bulan Dzulhijah.

(Sumber: Diringkas dari makalah: Hukum Puasa Al-‘Asyar, oleh Aburrahman bin Sholeh bin muhammad Al-Ghafli, lihat http://www.al-islam.com/Content.aspx?pageid=1386&ContentID=2973)