nabawiKata at-ta’mîn adalah masdar dari ‘ammana’, berarti: ‘âmîn’, berdasarkan wadzan ‘yâsîn’, dengan dipanjangkan bacaannya dan diringankan (atau tanpa tasydid) menurut semua riwayat yang ada dan pendapat seluruh pakar qira’at. Sedangkan menurut tata bahasa, adalah ‘amîn’ dengan dipendekkan (qashr) dan diringankan (tidak di-tasydîd), dikatakan bahwasanya kata-kata tersebut keluar dari kaidah yang tidak lazim (syâdz), layaknya dua bahasa asing. Untuk lebih jelasnya akan disampaikan pada pembahasan tentang ‘koreksiannya’ (tashih).

Kata ini merupakan isim fi’il (kata benda yang berfungsi sebagai kata kerja) yang diposisikan sebagai do`a, yang berarti: ‘istajib’ (kabulkanlah), atau ‘allahumma istajib’ (ya Allah, kabulkanlah). Maka, ta’mîn (ucapan amin) pada hakikatnya adalah do`a. Ucapan ini disya-ri’atkan (dianjurkan) hanya setelah berdo`a, dikarenakan ia berperan sebagai ringkasan (talkhîsh) dari do`a setelah do`a-do`a yang panjang lebar.

Kata ‘âmîn’ ini juga cukup diulang-ulang secara global (mujmal) setelah pembacaan do`a secara terperinci (mufasshal). Bentuk kata âmîn ini adalah baku (mabni) dengan harakat ‘fathah’ ketika disam-bung dengan kata lain, dan di-sukun-kan ketika berhenti. Kata âmîn juga termasuk di antara keistimewaan umat Islam, mengingat sebuah hadîts dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

مَا حَسَدَكُمُ الْيَهُوْدُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدُوْكُمْ عَلَى آمِيْنَ وَ تَسْلِيْمِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Orang-orang Yahudi tidak pernah mendengki kalian terhadap sesuatu yang melebihi kedengkian mereka kepada kalian atas ucapan ‘aamiin’ dan pemberian salam oleh sebagian kalian kepada sebagian yang lain.’. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Imam al-Bukhari di dalam ‘al-Adab al-Mufrad’).

Ada yang mengatakan: Sesungguhnya keistimewaan tersebut tidak pernah dimiliki oleh umat sebelum kita, kecuali oleh Nabi Musa ‘alaihi sallam dan Nabi Harun ‘alaihi sallam. Sebagaimana disebutkan di dalam tafsiran firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua,…” (Yûnus: 89), bahwasanya Nabi Musa ‘alaihi sallam pernah berdo`a sedang Nabi Harun ‘alaihi sallam mengamininya, lalu Allah ta’ala menyebut mereka sebagai dua insan yang berdo`a. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di dalam “Nawadir al-Ushul”, dan Ibnu Mardawaih dari hadîts Anas radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadîts tersebut tidak shahih.”

Salah satu keutamaan kata ‘amiin’ ini adalah, bahwa di antara sebab-sebab terkabulkannya do`a, adalah seseorang berdo`a dalam suatu perkumpulan, lalu sebagian mereka mengamininya. Sedangkan di antara adab-adabnya, adalah seorang qari’ (pembaca al-Qur’an) setelah mengucapkan firman Allah ta’ala ‘waladdhaalliin’, hendaknya dia diam sesaat yang lamanya kira-kira satu hirupan nafas, lalu dia mengucapkan: “aamiin“, sebagai penandaan atau isyarat bahwasanya ucapan “aamiin” bukan termasuk bagian dari surat al-Fatihah.

Ta’miin (ucapan “aamiin“) ini disyariatkan pada dua tempat:

Pertama, di dalam shalat, setelah membaca surat al-Fatihah oleh imam dan makmum, atau sewaktu shalat sendirian, dan sewaktu membaca do`a qunut pada shalat witir atau pada qunut nazilah (yaitu qunut sewaktu terjadi musibah). Di dalam ta’miin setelah bacaan surat al-Fatihah dalam shalat terdapat dua sunnah:

1. Mengucapkannya dengan suara nyaring baik oleh imam maupun makmum.

2. Agar “aamiin” yang diucapkan makmum bersamaan dengan “aamiin” yang diucapkan imam, tidak sebelumnya ataupun sesudahnya, mengingat apa yang tersebut dalam hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan juga karena “aamiin” yang diucapkan oleh imam dan makmum tersebut disebabkan oleh bacaan surat al-Fatihah, bukan karena mengamini imam, hal ini berdasarkan pendapat mayoritas ulama (jumhur). Begitu pula, hal ini merupakan satu-satunya tempat di dalam shalat yang mana ucapan makmum dan ucapan imam dianjurkan untuk bersamaan, sedangkan yang selainnya makmum harus senantiasa mengiringi di belakang imam, mengingat terdapat banyak hadîts di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang menunjukkan hal itu. Dengan ini pula, Anda akan mengetahui peremehan oleh beberapa imam yang mengucapkan “aamiin” setelah para makmum mulai mengucapkannya, sebagaimana yang selalu diperhatikan oleh si pendengar melalui berbagai pengeras suara.

Kedua, di luar shalat. Disyariatkan mengucapkan “aamiin’ setelah membaca surat al-Fatihah bagi si pembaca dan pendengarnya, juga sewaktu berdo`a baik yang mutlak maupun yang terikat (muqayyad) seperti do`anya sang khatib, atau sewaktu berdo`a memohon hujan (istisqa), do`a gerhana matahari dan gerhana bulan, dan lain sebagainya.

Adapun mengamini do`anya khatib Jum’at, hukumnya sunnah menurut para ulama fikih empat madzhab. Akan tetapi, kelompok Hanafiyyah berpendapat agar mengucapkan “aamiin” tersebut di dalam hati saja. Sedangkan mengamini do`a yang berisi tentang permohonan hujan (istisqa) sangat dianjurkan menurut keempat madzhab ini.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]