takwilDan Ta’wi yang tercela dalam artian memalingkan lafazh dari kemungkinan yang rajah (makna yang kuat) kepada kemungkinan yang marjuh (makna yang lemah) disebabkan dalil yang menyertainya. Ta’wil seperti ini dijadikan sandaran (dalil) oleh kebanyakan ulama Muta’akhirin (belakangan) tidak lain hanyalah karena sikap mubalaghah (berlebihan) dalam mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari penyamaan dengan makhluk-Nya sebagaimana persangkaan mereka. Dan ini adalah persangkaan yang bathil (salah), yang menjerumuskan mereka ke dalam sesuatu yang sama dengan apa yang mereka lari darinya (yang mereka takuti), atau bahkan lebih parah.

Maka, ketika mereka sebagai contoh mena’wilkan kata اليد (tangan) dengan kata القدرة (kekuasaan), yang mereka inginkan hanyalah menghindar dari menetapkan tangan bagi Sang Pencipta, karena makhluk memiliki tangan. Maka lafazh “tangan” tersebut samar bagi mereka, sehingga mereka mena’wilkannya (memalingkanya) dengan makna “kekuasaan.” Karena hal itu mengharuskan mereka di dalam makna yang mereka tetapkan, sesuatu yang sama dengan apa mereka sangka harus terjadi di dalam makna yang mereka nafikan (tolak), karena para hamba juga memiliki kekuasaan. Maka jika apa yang mereka tetapkan berupa qudrah (kekuasaan) adalah sesuatu yang benar dan mungkin terjadi, maka menetapkan tangan bagi Allah adalah sesuatu yang benar dan mungkin. Dan jika menetapkan tangan (bagi Allah) adalah bathil, dan tidak mungkin, dikarenakan hal itu mengharuskan adanya tasybih (penyamaan Allah dengan makhluk-Nya) menurut persangkaan mereka, maka menetapkan kekuasaan (bagi Allah) juga sesuatu yang bathil dan tidak mungkin. Maka tidak boleh dikatakan:” Sesungguhnya lafazh ini dita’wilkan, dalam artian bahwasanya ia dipalingkan dari makna yang rajah ke makna yang marjuh.”

Dan apa-apa yang datang para imam Salafush Shalih dan selain mereka berupa celaan kepada ahli ta’wil, maka yang dimaksudkan adalah mereka-mereka yang mena’wilkan lafazh yang maknanya samar menurut mereka, kepada ta’wil yang tidak semestinya, padahal lafazh tersebut tidak samar menurut pandangan selain mereka.

(Sumber:مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna’ al-Qaththan Maktbah Wahbah, hal. 211. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)