Imam Ath-Thabariy rahimahullah di dalam tafsirnya membawakan sebuah kisah yang berkaitan dengan turunnya ayat ke 65 dan 66 surat at-Taubah. Kisah tersebut diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau (Ibnu ‘Umar) berkata:

قال رجل في غزوة تبوك في مجلس: ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء، أرغبَ بطونًا، ولا أكذبَ ألسنًا، ولا أجبن عند اللقاء! فقال رجل في المجلس: كذبتَ، ولكنك منافق ! لأخبرن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم ونزل القرآن.

“Seorang laki-laki berkata pada perang Tabuk dalam suatu majelis:“Kami tidak pernah melihat orang seperti Qurraa’ kita ini(yang dimaksud adalah Nabi dan Shahabatnya), yang lebih mementingkan perut (rakus), paling dusta lisannya, dan paling pengecut ketika bertemu musuh.” Maka berkatalah seseorang di majelis tersebut (dalam riwayat yang lain dia adalah ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu):“Engkau dusta, bahkan engkau adalah seorang munafik. Sungguh akan aku laporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka, sampailah hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan turunlah al-Qur’an.

’Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu melanjutkan:

فأنا رأيته متعلقًا بحَقَب ناقة رسول الله صلى الله عليه وسلم تَنْكُبه الحجارة، وهو يقول: “يا رسول الله، إنما كنا نخوض ونلعب!”، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:(أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزؤن لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم). (1) لأثر : 16912 – مكرر الأثر السالف، وهو صحيح الإسناد. أحمد محمد شاكر

“Maka aku pun melihat laki-laki itu bergantung di tali onta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tersandung-sandung batu sambil berkata:” “Wahai Rasulullah, kami hanyalah bersendagurau dan main-main saja!.” Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan membaca firman-Allah (yang artinya):“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu mengolok-olok?. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir setelah beriman.”

Kisah ini dishahihkan sanadnya oleh pen-tahqiq (peneliti) kitab Tafsir ath-Thabari, syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah. Dan kisah ini dalam redaksi yang berbeda-beda, sebagaimana bisa dilihat di kitab-kitab tafsir bil Ma’tsur.

Para Ulama’ mengambil kesimpulam hukum dari kisah di atas dan dari surat At-Taubah ayat 64-66 tadi tentang kafirnya orang yang memperolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya, syari’at-Nya, Nabi-Nya, dan agama-Nya; baik yang dikatakannya itu sungguh-sungguh atau hanya sekedar main-main saja (bercanda).

Imam Ibnul ‘Arabiy rahimahullah berkata:“Kata-kata mereka tidak lepas dari keseriusan atau hanya main-main, namun bagaimana pun juga itu adalah kekufuran, karena bermain-main dengan melakukan kekufuran adalah sebuah kekufuran tanpa ada perselisihan lagi di kalangan ummat (ulama).”

Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menuki ijma’ Ulama akan kafirnya orang yang memperolok-olok Allah, Nabi, dan ajaran Islam dalam kitab beliau (Asy-Syifaa’)
Istihzaa’ atau mengolok-olok terbagi menjadi dua bagian:

Dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy rahimahullah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dijelaskan tentang olok-olokan kaum munafik terhadap amalan-amalan Islam yang dilakukan oleh kaum mukminin:

لما نزلت آية الصدقة؛ كنا نحامل على ظهورنا، فحاز رجل فتصدق بشيء كثير، فقالوا: مرائي. وجاء رجل فتصدق بصاع، فقالوا: إن الله لغني عن صدقة هذا

“Ketika turun ayat shadaqah, kami (para shahabat) membawanya di punggung kami. Maka datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan jumlah yang banyak. Mereka (orang-orang munafik) mengatakan:‘Dia berbuat riyaa.’’ Kemudian datanglah seorang laki-laki bershadaqah dengan satu sha’, mereka pun berkata:’‘Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan shadaqah ini.

Syaikh Abdul ‘Aziz Marzuq ath-Thuraifi hafizhahullah di dalam penjelasan beliau tentang pembatal-pembatal keislaman, membagi Istihzaa’ (olok-olok) terhadap agama menjadi dua:

Istihzaa’ yang sharih (jelas/nyata)

Contoh istihza’ yang sharih adalah pada kata-kata orang munafik dalam hadits di atas, yang menjadi sebab turunnya ayat 65 surat at-Taubah tersebut:“Kami tidak pernah melihat orang-orang yang seperti para pembaca Al Qur’an ini, di mana mereka adalah orang yang paling besar perutnya (rakus), paling dusta lisannya dan paling pengecut ketika bertemu musuh (yang dimaksud adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).” Atau pada kata-kata sebagian orang terhadap agama Islam: “Agama kalian adalah agama yang sudah kuno.” dan lain-lain.

Istihzaa’ ghairi sharih (yang tidak terang-terangan)

Contoh istihza’ yang tidak sharih adalah berisyarat dengan mata atau dengan mulut atau lisan sebagai bentuk penghinaan atau ejekan. Misalnya mencemooh Al Qur’an sebagai penghinaan, dan isyarat-isyarat lain yang menandakan olok-olokan terhadap agama.

Sumber: Tafsir ath-Thabari, al-‘Ilam bin Syarh Nawaqidhul Islam dan lain-lain. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono