Hadits Dalam Ash-Shahihain Yang Manakah Yang Dihukumi Dengan Hukum “Shahih”?

Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumullah tidaklah memasukkan ke dalam kitab Shahihnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja dan bahwasanya umat Islam secara keseluruhan sepakat untuk menerima hadits-hadits tersebut. Namun hadits-hadits seperti apakah yang dihukumi dengan hal tersebut?

Jawabnya adalah: Bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya (al-Bukhari dan Muslim) dengan sanad yang bersambung, maka itulah yang dihukumi dengan hukum shahih. Adapun yang dihapus satu perawinya atau lebih di awal sanadnya -Yang dikenal dengan nama Mu’alaq, dan ia (Mu’alaq) banyak terdapat di Shahih al-Bukhari, namun hanya ada di judul bab dan Muqaddmah (pembukaan) saja, tidak ada sedikitpun di inti bab. Adapun dalam Shahih Muslim, maka hanya ada satu hadits, yaitu yang ada di bab Tayammum dan tidak diriwayatkan dengan sanad bersambung di tempat lain,-, maka hukumnya sebagai berikut:

Pertama: Yang diriwayatkan dengan redaksi jazm (kata kerja aktif), seperti قَالَ (dia mengatakan), أَمَرَ (dia memerintahkan) dan ذَكَرَ (dia menyebutkan), maka sanad tersebut dinyatakan shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya.

Kedua: Yang diriwayatkan dengan redaksi tidak jazm (kata kerja pasif), seperti قِيلَ (dikatakan), أمِرَ (diperintahkan) dan ذُكِرَ (disebutkan), maka ia tida bisa hukumi shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Namun demikian tidak ada status hadits Wahin (sangat lemah) dalam hadits-hadits tersebut, dikarenakan keberadaannya di kitab yang dinamai oleh penulisnya (al-Bukhari dan Muslim) “ash-Shahih.”

Apa Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih?

Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa sebagian ulama menyebutkan sanad yang paling shahih yang ada pada mereka. Maka berdasarkan pada hal itu, dan pada keberadaan syarat-syarat yang lain dari hadits Shahih, maka kita dapat mengatakan bahwa hadits Shahih memiliki tingkatan.

Pertama: Yang paling tinggi adalah apa yang diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih,seperti raiwayat dengan sanad dari Malik, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Kedua: Yang di bawah tingkatan itu adalah yang diriwayatkan dari jalur para perawi yang mereka lebih rendah kedudukannya dibandingkan para perawio yang pertama. Seperti riwayat Hammad bin Salamah rahimahullah dan Tsabit rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga: Yang lebih rendah tingkatannya dari itu adalah apa yang diriwayatkan oleh para perawi yang pada dirinya terdapat sifat tsiqah yang paling rendah tingkatannya. Seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih rahimahullah dari bapaknya rahimahullah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Dan digabungkan dengan perincian di atas pembagian hadits shahih menjadi tujuh tingkatan, yaitu:

1. Pertama: Yang disepakati keshahihannya oleh imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, dan ini adalah tingkatan yang paling tinggi.

2. Kedua: Yang diriwayatkan sendirian oleh imam al-Bukhari rahimahullah.

3. Ketiga: Yang diriwayatkan sendirian oleh imam Muslim rahimahullah

4. Keempat: Yang sesuai dengan syarat keduanya (syarat al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitab mereka berdua.

5. Kelima: Yang sesuai dengan syarat al-Bukhari rahimahullah, namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya

6. Keenam: Yang sesuai dengan syarat Muslim rahimahullah , namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya

7. Ketujuh: Hadits shahih yang ada pada kitab selain keduanya dari kalangan para Imam ahl hadits seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban rahimahumallah dari hadits-hadits yang tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Apa Yang Dimaksud Syarat Syaikhain (Syarat al-Bukhari dan Muslim)?

Asy-Syaikhani/Asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) keduanya tidak menyatakan secara tegas (gamblang) tentang syarat yang keduanya persyaratkan atau yang keduanya tetapkan sebagai tambahan dari syarat-syarat yang telah disepakati dalam hadits shahih. Namun dari penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para peneliti dan pengkaji dari kalangan ulama terhadap uslub (metode) keduanya, nampak mereka bagi sesuatu, yang masing-masing dari mereka mengira bahwa itu adalah syarat keduanya atau syarat salah satu dari keduanya.

Dan perkataan yang paling baik dalam masalah ini adalah:”Bahwasanya yang dimaksud dengan syarat Syaikhain atau salah satu dari keduanya adalah, bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang ada di kedua kitab tersebut (Shahih al-Bukhari dan Muslim) atau salah satunya, dengan tetap memperhatikan kepada cara/metode yang dipegang teguh oleh keduanya dalam meriwayatkan hadits dari mereka.”

Apa Makna Ucapan Para Ulama “Muttafaqun ‘Alaihi”?

Apabila para ulama hadits berkata tentang sebuah hadits:” Muttafaqun ‘Alaihi”, maka maksud mereka adalah kesepakatan asy-Syaikhain, yakin sepakatnya Syaikhain tentang shahihnya hadits tersebut, bukan kesepakatan seluruh ummat. Hanya saja Ibnu Shalah rahimahullah berkata:”Akan tetapi kesepakatan ummat terhadapnya (hadits itu) adalah sesuatu yang sudah menjadi keniscayaan dari hal itu, dan menjadi kesimpulan dari perkataan itu, dikarenakan kesepakatan mereka (ummat) untuk menerima hadits-hadits yang disepakati shahih oleh keduanya”

Apakah Hadits Shahih Diharuskan Berasal Dari Haidts ‘Aziz

Yang benar adalah bahwa tidak dipersyaratkan dalam hadits Shahih statusnya sebagai hadits ‘Aziz (hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam tiap-tiap thabaqat sanad), artinya hendaknya hadits itu memiliki dua sanad. Hal ini karena ada di dalam -Shahihain dan kitab-kitab hadits-hadits yang shahih namun ia Gharib (hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam salah satu thabaqat sanadnya). Dan sebagian ulama mengira hal itu (mengira bahwa syarat hadits shahih adalah harus berstatus ‘Aziz), seperti Abu ‘Ali al-Jubba’i al-Mu’tazili, dan Imam al-Hakim. Dan perkataan mereka ini menyelishi kesepakatan ummat.

(Sumber: تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit tambahan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 42-44. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)