Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 Apabila shalat telah dilakukan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah: 10).

 

Tafsir ringkas

Syaikh As-Sa’di berkata, “Apabila kalian telah menunaikan shalat (jumat), maka bertebaranlah di muka bumi ini untuk mencari penghasilan dan melakukan perdagangan. Kesibukan dalam dagang kerap menjadi objek yang melalaikan diri dari mengingat Allah, karena itu Allah menyuruh untuk banyak berdzikir. Dia berfirman, yang artinya, Dan ingatlah Allah banyak-banyak yaitu saat kalian berdiri, duduk dan berbaring agar kalian beruntung. Sesungguhnya memperbanyak dzikir kepada Allah merupakan sebab terbesar dalam meraih kemenangan.” (Tafsir As-Sa’di, hal 863).

 

Arti Karunia Allah

Jika merujuk beberapa referensi kitab tafsir, fadhlullah (karunia Allah) yang dimaksud dalam ayat ini memilik beberapa tafsiran, seperti:

  1. Muhammad Ash-Shabuni berkata, “Yaitu rezeki, perdagangan dan pekerjaan yang halal.”
  2. Al-Qurthubi dan Al-Baghawi berkata, “Yaitu rezeki.”
  3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Yaitu mereka tidaklah diperintahkan untuk mencari sesuatu dari perkara dunia, yang dimaksud tidak lain adalah menjengkuk orang sakit, melayat orang yang meninggal dan mengunjungi saudara karena Allah.”
  4. Al-Hasan bin Sa’id bin Al-Musayab, Sa’id bin Zubair dan Makhul berkata, “Yaitu menuntut ilmu.”
  5. Ada juga yang berpendapat, “Yaitu shalat sunnah.”

Beberapa tafsiran ini tidaklah saling bertentangan, bahkan saling menguatkan dan melengkapi, namun makna yang hendak ditekankan dalam bahasan ini adalah karunia Allah dalam bentuk rezeki, perdagangan dan pekerjaan yang halal.

Dimana salah satu pesan dari ayat ini ialah agar seorang muslim selalu semangat, disiplin, pekerja keras, produktif, kreatif, optimis dan tidak malas, baik dalam meraih kebaikan dunia, terlebih untuk kebaikan akhiratnya.

 

Akhirat lebih utama dan Kekal

Prinsip muqaranah (perbandingan) antara kehidupan akhirat dan dunia yang kerap diilustrasikan dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits sejatinya sebagai sebuah konsep pendidikan agar manusia berfikir cerdas. Karena hakikat dari dua jenis kehidupan ini sangatlah berbeda, yang satu kekal dan yang lain fana. Maka memilih yang jauh lebih baik dan lebih kekal adalah fakta kecerdasan berfikir yang terbaik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la: 17).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

Demi Allah, tidaklah dunia ini bagi akhirat melainkan seperti jari tangan salah seorang dari kalian yang ini  -Yahya (perowi) mengisyaratkan dengan jari telunjuk- yang dicelupkan ke dalam air laut, maka lihatlah air yang kembali. (HR. Muslim no. 7376).

Malik bin Dinar pernah berkata, “Seandainya dunia itu terbuat dari emas yang berpotensi hancur, sementara akhirat dari tembikar yang dipastikan abadi, maka wajib untuk memilih tembikar yang akan terus abadi daripada emas yang akan hancur. Maka bagaimana dengan anda, padahal akhirat itu terbuat dari emas yang terus abadi sementara dunia hanya terbuat dari tembikar yang akan hancur?” (Tafsir Al-Qurthubi, 20/24).

 

Jangan Lupakan Dunia

Meskipun kehidupan akhirat lebih baik dan kekal, kehidupan dunia tetap tidak boleh dilupakan. Hal-hal yang identik dengan dunia, seperti makan, minum, berkeluarga, bekerja dan melakukan hal-hal yang menjadi kebiasaan hidup adalah aset berharga dalam menyongsong kehidupan akhirat. Untuk memberikan hasil maksimal, aset ini harus dikelola dan dikemas dengan nilai-nilai syariat yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Asa mulia menggapai kehidupan akhirat yang lebih baik dengan mengubur kehidupan dunia adalah pemikiran yang pincang. Selain bertentangan dengan konsep produktivitas dan kreativitas seorang muslim, pemikiran ini juga tidak sejalan dengan pesan yang terkandung dalam firman Allah:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. (QS. Al-Qashsash: 77).

 

Ruang lingkup ibadah

Sesungguhnya ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Hal ini seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “(Ibadah) ialah semua nama yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Al-Qaulul Mufid (1/14), Ibnu Utsaimin).

 

Jadikan setiap karya bernilai ibadah

Bekerja adalah bagian dari usaha untuk mencari karunia Allah. Aktivitas ini tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan manusia sebagai jalan mempertahankan hidup dan keturunan. Agar produktivitas kerja ini tidak semata-mata berorientasi duniawi, namun juga bersifat ukhrawi yang benar-benar bernilai ibadah, berpahala dan tidak sia-sia, maka harus dikemas dengan nilai-nilai syariat yang benar, yaitu:

1. Niatkan sebagai ibadah

Apapun pekerjaan kita, selama itu halal dan baik, niatkan sebagai ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian untuk menafkahi keluarga dan menopang pelaksanaan ibadah-ibadah yang lain.

Peranan niat sangatlah besar. Selain menjadi salah satu syarat diterimanya amal, niat adalah subjek yang merubah status aktivitas biasa menjadi bernilai ibadah dan berpahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات ، وإَنمَا لكل امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkan. (HR. Bukhari no. 6689).

2. Tidak lalai dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Inilah salah satu pesan yang terkandung dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 di atas. Pekerjaan apa pun tidak boleh melalaikan diri dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun sedang dalam aktivitas kerja, kita diperintahkan untuk tetap memperbanyak dzikir. Perlu dipahami bahwa berdzikir itu tidak sebatas membaca lafadz-lafadz dzikir secara lisan, termasuk dzikir ialah melakukan ketaatan dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat-Nya.

Sa’id bin Zubair radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dzikir adalah bentuk ketaatan kepada Allah, barangsiapa mentaati Allah berarti ia telah berdzikir kepada-Nya dan siapa tidak taat kepada-Nya maka ia bukan termasuk ahli dzikir meskipun ia banyak membaca tasbih.” (Tafsir Al-Qurthubi, 18/109).

Karena itu, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendirikan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya adalah pekerjaan yang tidak membawa kebaikan dan keberkahan sama sekali, justru ia menjadi pundi-pundi dosa bagi kita.

3. Menjauhi pekerjaan yang haram

Wajib bagi setiap muslim memilih jenis pekerjaan yang halal dan menjauhi pekerjaan yang haram. Inilah makna yang disimpulkan dari surat Al-Maidah ayat 88:

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik.

Abdullah bin Mubarak berkata, “Halal ialah apa yang diambil dari jalan yang halal dan baik ialah sesuatu yang bergizi.” (Tafsir Al-Baghawi, 2/78).

Sehingga halal itu mengandung dua unsur kesatuan, halal secara dzatnya (materi) dan halal dari sumber penghasilannya.

4. Amanah dalam kerja

Maksudnya mejalankan tugas sesuai kontrak kerja yang disepakati dan tidak melakukan manipulasi sekecil apa pun, seperti korupsi dan penipuan. Inilah amanat firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. (QS. Al-Maidah: 1). Wallahu alam. (Saed As-Saedy, Lc.).

 

Referensi:

1. Tafsir Al-Qurthubi.

2. Tafsir As-Sa’di.

3. Tafsir Al-Baghawi, dll.