bbPerbuatan maksiat itu menjadi jalan menuju kefasikan, yaitu melalui pintu hawa nafsu, maka perbuatan bid’ah adalah jalan menuju syirik, yaitu melalui pintu syubuhat. Mengingat perbuatan syirik merupakan perbuatan yang tidak dapat diampuni oleh Allah kecuali dengan bertobat, maka berikut ini saya kemukakan bentuk-bentuk perbuatan bid’ah. Karena perbuatan bid’ah membuka jalan menuju syirik dan sesungguhnya Allah ta’ala saat mengharamkan sesuatu maka tentu saja mengharamkan pula sebab-sebab yang mengantar-kan kepada perbuatan itu.

Banyak sekali bentuk pelanggaran do`a yang bid’ah, di antaranya:

A. Tawassul 
Pertama, tawasul yang dibolehkan syari’at
Yaitu at-Tawassul (tawasul), yang wadzan dan maknanya setara dengan at-Taqarrub (mendekatkan diri) yang tergolong esensi syari’at yang ditetapkan al-Qur’an dan sunnah, yang berarti mendekatkan diri kepada Allahta’ala.

Berdasarkan dalil-dalil syar’i, maka jelaslah bahwa tawassul yang dibolehkan ada empat macam:
1. Berdo`a kepada Allah dengan bertawassul melalui asma’ al-husna dan sifat-sifat-Nya. Atau dengan melalui salah satu asma’ atau sifat Allah ta’ala. Allah berfirman, “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu.” (al-A’raf: 180).

2. Berdo`a, bertawassul dengan amal yang shalih yang pernah dilakukan sesuai dengan syari’at. Yang paling utama adalah berdo`a dengan bertawassul dengan iman kepada Allah dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jenis ini termasuk tawassul yang dibolehkan oleh syari’at yang terangkum dalam surat al-Fatihah, yang diawali dengan pujian kepada Allah, dan sanjungan atas asma-asma-Nya yang baik, yang mencakup sifat-sifat Allahta’ala yang agung. Hal itu tercermin di dalam firman Allah:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {3} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {4}

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menguasai pada hari pembalasan. Demikian pula yang diawali dengan menyebut amal shalih, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {5}

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”

Lalu disusul dengan do`a:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ {6}

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” Bahkan menunjuk pada bentuk ketiga yang tersirat di dalam firman-Nya,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ….{7}

“Yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” Di antara jalan yang dianugerahkan adalah do`a orang-orang shalih.

3. Tawassul yang diekspresikan dalam bentuk sikap. Yaitu dengan menampakkan kelemahan, ketundukan, rasa hina dan butuh (fakir) kepada Allah ta’ala dan mengakui dosa-dosa yang pernah dilaku-kan. Demikianlah tawassul dengan sikap, sebagaimana firman Allah yang mengabarkan keadaan Musa ‘alaihi sallam“Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (al-Qashash: 24).

4. Tawassul dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala melalui do`a orang yang shalih. Jenis tawassul ini dan jenis di atas disebutkan Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya jikalau mereka ketika meng-aniaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (An Nisa’: 64).

Ayat ini menunjukkan bolehnya bertawassul dan taqarub (men-dekatkan diri) kepada Allah dengan memohon ampunan kepada Allah untuk dirinya sendiri, sedangkan ia berada pada majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah tawassul dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala melalui amal shalih.

Di samping itu, ayat di atas juga menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memintakan ampunan kepada orang lain tatkala beliau masih hidup. Hal ini dapat menjadi suri tauladan bagi umatnya, agar seorang muslim mendo`akan saudaranya segama dan bertawassul dan mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan itu.

Empat jenis tawassul inilah yang termasuk dalam tawassul yang dibolehkan oleh syari’at.

Kedua, tawassul yang diada-adakah (bid’ah)
Sebagian orang-orang muta`akhir menggunakan lafazh tawassul selain yang tersebut di atas, yaitu tawassul yag tidak di tetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Padahal amal ibadah itu hanya boleh dila-kukan dengan perintah yang disebutkan dalam nash, sedangkan nas al-Qur’an maupun hadits tidak ada yang dapat dijadikan sandaran amalan tawassul ini. Karena amalan mereka itu didasarkan pada riwayat-riwayat yang jelas tapi tidak shahih, atau riwayat yang shahih akan tetapi konteknya tidak sesuai. Tentu saja tawaasul yang demikian itu adalah tawassul bid’ah dan dilarang oleh syari’at, karena jika diamalkan akan menyebabkan perbuatan syirik. Jika demikian, maka tentu saja tidak dapat menyebabkan terkabulnya do`a.

Jika ditelusuri, kita akan mendapati tawassul bid`ah ini terbagi menjadi tiga macam:

A. Berdo`a dengan bertawassul dengan makhluk.
Yaitu berdo`a dengan bertawassul dengan makhluk, dengan menjadikan mereka perantara dan penghubung antara si pemohon dengan Tuhannya. Semua itu termasuk tawassul yang tidak dibolehkan Allah dan RasulNyashallallahu ‘alaihi wasallam.
Berikut ini contoh do`a orang bertawassul dengan makhluk:

أسألك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم [أو بفلان] أن تقضي حاجتي

Aku memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, [atau melalui Fulan] agar Engkau penuhi hajatku.

أتوسل إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم [أو بفلان] أن تقضي حاجتي

Aku bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, [atau melalui Fulan]agar memenuhi hajatku.

أتوجه إليك يا ألله بنبيك نبي الرحمة محمد صلى الله عليه وسلم

Aku menghadap kepada-Mu ya Allah, melalui Nabi-Mu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawa rahmat, selamatkanlah aku dari bencana.

أتوسل إليك يا ألله بمخلوقاتك

Aku bertawassul kepada-Mu ya Allah melalui makhluk-makhluk-Mu.

أتوسل إليك يا ألله بهذا البيت [بالكعبة]

Aku bertawassul kepada-Mu melalui Ka’bah ini.

اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu, melalui Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Nabi yang membawa rahmat…

Bacaan yang terakhir menurut Imam Ibnu Hambal hanya boleh ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Asy-Syaukani memberlakukan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para nabi, para wali dan orang-orang shalih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkomentar, jika seseorang berdo`a dengan maksud: “Aku memohon kepada-Mu dengan imanku kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kecintaanku kepadanya”, maka dapat dibenarkan. Jika tawassul itu dimaksudkan kepada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka memang inilah yang diingkari oleh orang yang mengingkari.

Meski tidak dapat menafikan keutamaan dan kemuliaan para imam ulama tersebut dalam bertauhid, namun merujuk kepada dalil merupakan alternatif untuk mengakhiri suatu perselisihan. Mereka bersepakat di antara mereka dan para ulama serta peneliti yang lain bahwa ibadah bersifat tauqifiah (bersandar pada nash). Maka ketika kita mencari dalil-dalil dari nash menyangkut bentuk ucapan do`a di atas maka tidak didapati nash yang dapat dijadikan sandaran. Oleh karenanya bentuk yang demikian itu dilarang. Wallahu a’lam.

B. Berdo`a atas nama kedudukan, martabat atau semisalnya. Yaitu berdo`a kepada Allah melalui (bertawassul) kedudukan sese-orang atau salah satu makhluk-Nya, haknya, larangannya atau melalui berkahnya. Seperti misalnya:

اللهم إني أسألك بجاه النبي محمد صلى الله عليه وسلم أن تقضي لي حاجتي [أو بحق محمد صلى الله عليه وسلم ..

Ya Allah, aku meminta kepada-Mu atas keagungan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar memenuhi hajatku. [atau, atau haq Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam]

Atau menggunakan lafazh:

اللهم إني أسألك بحق [أو بحرمة أو ببركة] محمد صلى الله عليه وسلم أن تقضي لي حاجتي

Ya Allah aku meminta kepada-Mu melalui hak Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, [atau dengan kesucian, atau dengan berkahnya] agar Engkau mengabulkan hajatku..

إلهي أتوسل إليك بجاه نبيك محمد صلى الله عليه وسلم أن تقضي لي حاجتي

Wahai Tuhanku, aku bertawassul kepada-Mu atas keagungan Nabi-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar memenuhi hajatku.

بحق [أو بحرمة أو ببركة] رسلك وأنبيائك

Atas nama hak [atau atas kesucian, atau atas berkahnya] para rasul dan nabi-Mu.

بحق [أو بحرمة أو ببركة أو بجاة] أوليائك والصالحين من عبادك

Atas nama hak [atau kesucian, atau berkahnya atau kehormatan] para wali-Mu dan hamba-hamba-Mu yang shalih.

بحق هذا البيت، بحق المشاعر المقدسة

Atas nama rumah ini (ka`bah), atas nama masya`ir muqaddasah (tempat-tempat yang suci).

بحق البخاري

Atas nama al-Bukhari.

بحق [أو بحرمة أو ببركة] الجيلاني

Atas nama al-Jailani, atau atas nama berkahnya, dan seterusnya.

C. Bersumpah kepada Allah ta’ala atas nama salah satu makhluk-Nya. Misalnya:Ya Allah, aku bersumpah kepada-Mu atas nama Fulan agar memenuhi hajatku.

Do`a semacam ini haram hukumnya, atas dasar dua hal:

1. Karena termasuk bersumpah atas nama selain nama Allah ta’ala berdasarkan sebuah hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرْ أَوْ أَشْرَكْ

“Barangsiapa yang bersumpah kepada selain Allah, maka ia telah kafir atau syirik.”

2. Memposisikan makhluk lebih agung dari sang Khaliq (Allah). Kita berlindung dari perbuatan ghuluw (berlebihan) dan rongrongan hawa nafsu.

Di samping itu, dalam hal ini orang yang bersumpah memposisikan diri pada posisi yang tinggi, tidak pada posisi orang yang tunduk dan pasrah. Wallahu a’lam.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]