makamTidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai disunnahkannya ziarah ke makam Nabi tanpa disengaja untuk melakukan perjalanan ke sana. namun, menziarahi makam beliau bukanlah suatu kewajiban, menurut kesepakatan kaum muslimin.

Ziarah ke makam Rasulullah disunnahkan bagi orang yang sedang berada di Madinah atau orang yang sedang mengunjungi masjid beliau sekalipun mengadakan perjalanan ke sana disengaja. Hal ini bedasarkan sabda Rasulullah:

لَا تُشَدًّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

“Tidak boleh mengadakan perjalanan ibadah melainkan ke tiga Masjid, masjidku ini (masjid Nabawi), Masjidil haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari, 1189, Muslim, 1397)

Yang tidak diperbolehkan ialah sengaja melakukan perjalanan untuk menziarahi makam Nabi. Sebagian orang ketika menziarahi makam Nabi tidak cukup dengan ziarah yang disyariatkan, mereka justru mengadakan perkara-perkara bid’ah dan lainnya dengan dalih mencari keberkahan, kebaikan, pahala atau yang sejenisnya.

Berikut ini adalah beberapa hal yang paling menonjol dalam pencarian berkah dengan makam Nabi yang dilarang, di antaranya ialah:

1.      Memohon doa dan syafaat dari Rasulullah di sisi makam beliau

Perbuatan semacam ini merupakan jenis tawasul dengan Rasulullah yang tidak disyariatkan. Karena tawasul yang disyariatkan dan bermanfaat hanya semasa hidup beliau dan dengan syafaat beliau pada hari kiamat.

Sedangkan mencari keberkahan setelah beliau wafat di sisi makam beliau atau selainnya, seperti seseorang yang mengucapkan, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, berdoalah kepada Allah agar Dia mengampuniku, atau memberiku petunjuk, atau menolongku.”

Perkara semacam ini atau yang serupa dengannya termasuk bid’ah,. Tidak ada seorang imam dari kaum muslimin yang menyunnahkannya. Perbuatan itu juga tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan, berdasarkan kesepakatan ulama. Setiap bidah yang bukan kewajiban dan bukan pula sesuatu yang sunnah adalah bid’ah sayyiah (yang buruk sekali) dan ia adalah kesesatan, menurut kesepakatan kaum Muslimin. (Qaidah Jalilah Fit Tawassul wal Wasilah, Ibnu Taimiyah, 14-21)

Sedangkan meminta keperluan dari Rasulullah setelah beliau wafat, atau meminta pertolongan beliau agar menghilangkan kesusuhan dan semacamnya, maka perbuatan semacam ini adalah syirik kepada Allah. Karena perbuatan ini termasuk perkara meminta bantuan dan meminta pertolongan dengan makhluk, berupa hal-hal yang hanya Allah yang Maha kuasa melakukannya.” (Qaidah Jalilah Fit Tawassul wal Wasilah, Ibnu Taimiyah, 19)

2.      Melakukan sebagian ibadah di sisi makam Nabi

Di antara ibadah yang paling sering dilakukan di sisi makam beliau ialah berdoa dan melakukan shalat. Orang yang melakukan hal tersebut berkeyakinan bahwa doa di sisi makam beliau adalah mustajab (dikabulkan), atau menyakini bahwa makam beliau lebih utama  daripada berdoa di dalam masjid dan rumah, dan bahwa melakukan shalat di sisi makam beliau lebih diharapkan diterima. Karena itu, ia menziarahi makam beliau disebabkan oleh semua itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari perbuatan  ini dan semacamnya, ia berkata, “Perbuatan ini termasuk hal munkar dan bid’ah menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, bahkan ia diharamkan. Aku juga tidak pernah mengetahui adanya perdebatan mengenai hal tersebut di kalangan para imam agama ini.” (Ar-radd Alal Bakri, Ibnu Taimiyah, 56)

Ibnu Taimiyyah juga berkata mengenai hukum berdoa di sisi makam Nabi, “Janganlah seseorang berdiri di sisi makam Nabi untuk berdoa bagi dirinya sendiri. Karena, hal ini adalah bid’ah. Tidak ada seorang sahabat pun yang berdiri di sisi makam Nabi sambil berdoa untuk dirinya sendiri, akan tetapi mereka menghadap kiblat dan berdoa di masjid beliau.” (Majmu’ Ar-Rasail Al-Kubra, Ibnu Taimiyah, 2/408)

Termasuk perbuatan bid’ah juga dalam berziarah adalah duduk di sisi dan di sekeliling makam Nabi untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah, serta hal-hal yang menyertainya, berupa meninggikan suara, berdiri lama atau duduk di sisi makam beliau, sehingga membuat sempit bagi orang-orang lain yang sedang shalat ataupun berziarah, atau membuat mereka kacau. Juga memperbarui taubat yang dilakukan oleh peziarah di sisi makam beliau yang mulia, sebagaimana yang sebagian merek klaim bahwa hal itu disunnahkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika memberikan alasan mengenai tidak adanya pensyariatan pelaksanaan ibadah di sisi makam Nabi, ia berkata, “Seandainya amal ibadah yang dilakukan di sisi makam Nabi memiliki keutamaan, niscaya pintu hujrah (kamar Nabi yang merupakan tempat makam beliau) akan selalu dibuka bagi kaum muslimin. Ketika mereka dilarang untuk sampai ke makam beliau dan diperintahkan agar beribadah di masjid saja, ini berarti bahwa keutamaan beramal di dalamnya karena keberadaan makam beliau di dalam masjid.. dan beliau tidak pernah sama sekali memerintahkan agar amal shalih yang dilakukan ditujukan di sisi makam beliau.” (Majmu’ Fatawa, 27/236,237)

3.      Mengusap atau mencium makam Nabi dan semacamnya

Mengusap dinding makam Rasulullah dengan tangan atau lainnya, dengan cara apa pun, atau menciumnya demi mengharapkan kebaikan dan keberkahan, adalah termasuk bentuk bidah yang dilakukan oleh sebagian peziarah.

Sejumlah ulama menjelaskan dan membenci perbuatan tersebut serta melarangnya. Imam al-Ghazali berkata, “Sesungguhnya hal itu adalah kebiasaan orang-orang nashrani dan yahudi.” (Ihya Ulumudin, 1/271)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan kesepakatan para ulama bahwa siapa saja yang menziarahi makam Nabi atau para Nabi dan orang-orang shalih, para sahabat, ahlul bati, dan selain mereka, maka ia tidak boleh mengusap dan menciumnya.” (Majmu’ Fatawa, 27/79)

Syaikhul Islam menerangkan hukum mencium benda-benda padat, ia berkata, “Di dunia ini tidak ada satu benda padat pun yang disyariatkan agar dicium selan hajar aswad. Dalam shahihain disebutkan bahwa Umar berkata, “Demi Allah, sungguh aku mengetahui bahwa engkau hanyalah sebuah batu yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak pula mendatangkan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhri, 2/160) (Majmu’ Fatawa, 27/79)

Imam An-Nawawi memiliki komentar berharga seputar hukum perbuatan ini terhadap makam Rasulullah, ia berkata, “Dimakruhkan mengusap makam Nabi dengan tangan dan menciumnya. Justru, adabnya adalah agar menjauhi hal itu, sebagaimana hal itu (menyalami dan mencium tangan Nabi) dijauhi semasa hidup beliau. Inilah yang benar dan yang menjadi pendapat para ulama serta telah mereka terapkan. Sebaiknya, jangan sampai tertipu oleh kebanyakan orang awam dalam hal penyimpangan mereka terhadapnya. Karena, mengikuti dan beramal harus dengan perkataan-perkataan ulama dan tidak perlu menoleh kepada hal-hal yang diada-adakan oleh orang-orang awam dan kebodohan mereka.

Sungguh indah apa yang dikatakan oleh Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh yaitu, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk, janganlah sedikitnya jumlah orang yang menempuh membuatmu susah. Hindarilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah kamu tertipu oleh banyaknya orang-orang yang binasa. Barangsiapa yang terlintas di dalam hatinya anggapan bahwa mengusap dengan tangan dan semacamnya itu lebih mendatangkan keberkahan, maka hal itu termasuk kebodohan dan kelalaiannya. Karena, keberkahan hanya berada pada apa saja yang sesuai dengan syariat dan pendapat para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan dicari dengan cara menyalahi kebenaran?” (Al-Idhah fi Al-Manasik, Imam An-Nawawi, 161)

Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk amalan untuk mencari keberkahan di sisi makam Nabi yang tidak ada tuntunannya dan merupakan perkara-perkara yang dilarang dalam syariat. Semua itu adalah perbuatan bidah yang tercela yang akan menjerumuskan pelakunya pada perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Amalan-amalan bidah semacam ini sangatlah berbahaya, karena para pelakunya saat mengamalkan amalan-amalan itu menyakini bahwa hal itu dibolehkan dan merupakan bagian dari syariat. Mereka menyakini berada di atas kebenaran padahal sejatinya amalan-amalan mereka adalah sebuah kebatilan yang tertolak di sisi Allah. Sesungguhnya tidak ada yang bisa membuat umat ini menjadi baik dan mulia, melainkan apa yang telah membuat generasi islam terdahulu menjadi baik dan mulia. Ia tidak lain adalah ittiba’, yaitu menghidupkan dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah dan para sahabatnya. Wallahu a’lam

Diringkas dari buku: Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, penerjemah Ahmad Yunus, Msi, cetakan petama April 2009 M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, hal 422-427

Oleh : Saed As-Saedy