Sesungguhnya anak yatim dan fakir miskin adalah golongan manusia yang berhak mendapatkan perhatian dan pemeliharaan. Allahkdi dalam kitab-Nya banyak sekali memberikan anjuran (motivasi) untuk berbuat baik, mengasihi, dan membantu keduanya. Di antara firman-Nya adalah, artinya, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan:dan ja- nganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. al-Isra’: 26)
Sebagian ahli tafsir berkata tentang ayat di atas, “Dan berbuatlah ihsan (baik) kepada setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu, dan berilah mereka haknya berupa kebaikan dan kebajikan. Dan berilah orang miskin yang tidak memiliki se- suatu yang mencukupi dan memenuhi kebutuhannya. Dan (berilah) musafir yang terputus hubungan dari keluarga dan hartanya. Dan janganlah engkau nafkahkan hartamu di jalan selain ketaatan kepada Allahk, atau dengan cara ishraf (berlebihan) dan tabdzir (boros).” (Tafsir al-Muyassar)
Dan firman-Nya, artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, …” (QS. an-Nisa’: 36)
Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iri hafizhahullah berkata dalam menafsirkan ayat di atas, “Allah memerintahkan kaum mukminin untuk mengibadahi dan mentauhidkan-Nya di dalam ibadah, dan berbuat baik kepada kedua orangtua. Dengan cara menaati mereka dalam hal yang baik, mempersembahkan sesuatu yang indah untuk mereka dan menolak keburukan dari mereka. Demikian juga terhadap para kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin.”(Aisarut Tafasir)

Dan firman-Nya, artinya,“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berbuat sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardik.” (QS. adh-Dhuha: 9-10)

Imam Ibnu Katsir v berkata tentang makna ayat ke 9 di atas, “janganlah engkau merendahkannya (anak yatim), menghardik dan jangan menghinakannya. Akan tetapi muliakanlah dan bersikap lembutlah terhadapnya, Qatadah berkata, “Jadilah engkau untuk anak yatim seperti seorang bapak yang penyayang’.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain.

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa memberikan bantuan dan perhatian kepada anak yatim dan orang fakir miskin adalah sebuah perintah dan ibadah, karena keduanya digandengkan dengan perintah untuk bertauhid dan larangan syirik. Demikian juga dilarang menganiaya dan menelantarkan anak yatim serta menghardik orang miskin yang meminta-minta.

Rasulullah n banyak sekali menyebutkan anjuran tentang berbuat baik kepada anak yatim dan fakir miskin dan menyebutkan manfaat yang akan didapatkan bagi pelakunya. Di antaranya yaitu;
Sabda Nabi n,

أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى

“‘Aku dan orang yang menanggung (mengurusi) anak yatim berada di Surga adalah seperti ini.’ Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.” (HR. al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’dz)
Dalam hadits ini Nabi n mengabarkan bahwa penanggung anak yatim berada di Surga dan dekat dengan Nabi n sebagaimana dekatnya jari tengah dengan telunjuk. Dan menunjukkan besarnya pahala menanggung dan me ngurus anak yatim.
Ibnu Baththal v berkata dalam mensyarah hadits di atas, “Wajib bagi setiap mukmin yang mendengar hadits ini untuk berkeinginan beramal dengannya, agar di Surga berdekatan dengan Nabi n dan para Nabi dan para Rasul p. Dan tidak ada kedudukan yang lebih afdhal di sisi Allah di akhirat yang melebihi kedekatan dengan para Nabi. ”(Syarh Shahih al-Bukhari Ibnu Baththal)
Dan sabda Nabi n,

السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ القَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ

“Orang yang berusaha memenuhi kebutuh- an janda dan orang miskin seperti orang yang berjihad di jalan Allah atau orang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari (dalam pahalanya).” (HR. Muttafaq ‘alaihi, dari shahabat Abu Hurairah)
Dalam hadits di atas Nabi n menjelaskan betapa besar pahala orang yang berusaha mengurusi dan memenuhi kebutuhan para janda yang tidak mampu dan orang miskin yang beliau samakan dengan pahala orang berjihad di jalan Allah dan orang yang shalat malam dan berpuasa.
Ibnu Baththal v berkata, “Barangsiapa yang tidak mampu berjihad di jalan Allahk, shalat malam dan puasa, hendaklah mengamalkan hadits ini.”
Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairahz, bahwa ada seorang laki-laki yang mengeluhkan kekerasan hatinya kepada Nabi n. Lalu Nabi n berkata kepada orang tersebut,

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ، فَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

“Jika engkau ingin hatimu lembut, maka berilah makan orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani dan dinyatakan dha’if oleh pentahqiq Musnad Ahmad)
Syaikh ‘Ali bin Muhammad al-Harawi menjelaskan alasan itu dengan perkataan beliau, “Agar Anda mengetahui efek (bekas) nikmat Allah yang ada pada Anda, yang telah menjadikanmu kaya, dan ada orang lain yang membutuhkanmu, sehingga hatinya lembut dan kerasnya hilang. Dan alasan pengkhususan penyebutan keduanya (yatim dan fakir/miskin) adalah bahwa kasih sayang terhadap anak kecil dan orangtua mendatangkan kasih sayang Allah kepada hamba yang berakhlak dengan sebagian akhlak-Nya, sehingga Dia menurunkan rahmatnya, dan mengangkat kekerasan (hati) darinya.”(Mirqatul Mafaatih Syarh Misykatul Mashabih)
Dan Nabi n menyebutkan bahwa orang-orang fakir dan lemah adalah penyebab datangnya rezeki dan kemenangan, sebagaimana diriwayatkan oleh imam al-Bukhari v, dari Mush’ab bin Sa’d, dia berkata,

رَأَى سَعْدٌ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ

“Sa’ad z memandang dirinya memiliki kelebihan (kedudukan lebih tinggi) atas orang-orang yang lebih rendah darinya. Kemudian Nabi n bersabda, ‘Tidaklah kalian ditolong dan dikarunia rezeki melainkan dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian?’” (HR. al-Bukhari)
Ibnu Baththal menyebutkan bahwa alasan hal tersebut adalah karena ibadah orang-orang lemah dan doa-doa mereka lebih ikhlash, dan lebih khusyu’ dikarenakan kosongnya hati mereka dari ketergantungan dengan gemerlapnya dunia dan perhiasan. Dan karena bersihnya jiwa mereka dari hal-hal yang memutuskan mereka dari Allah. Sehingga menjadikan tujuan mereka satu, dan bersihlah amalan-amalan me- reka, dan dijawab (dikabulkan) doa-doa mereka. (Syarh Shahih al-Bukhari Ibnu Baththal)
Sudah sepantasnya bagi seorang mukmin dan mukminah untuk berbuat ihsan dan membantu keduanya, baik bantuan secara langsung kepada keduanya ataupun melalui pihak-pihak yang mengurusi keduanya, seperti, yayasan, panti dan lembaga-lembaga lainnya.
Adapun yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang kehilangan (di- tinggal mati) bapak, jika ia dewasa, maka hilanglah sifat/nama yatim dari dirinya. Dan seorang anak yang kehilangan kedua orangtua, maka ia lebih berhak untuk dibantu. Dan jika ia kehilangan kedua orangtua yang tidak meninggalkan harta yang mencukupi kebutuhan. Jika keduanya meninggalkan harta, maka ia bukanlah sasaran untuk diberikannya zakat. Akan tetapi ia tetap membutuhkan perhatian dalam pemeliharaan/pengurusan diri dan penjagaan hartanya agar bertambah. Juga membutuhkan perhatian dalam bimbingan dan pendidikan serta perlindungan dari hal-hal yang tidak pantas.
Kesimpulan kaum muslimin agar memperhatikan dan jangan lalai terhadap keduanya (yatim dan miskin). Menyayangi dan berlemah lembut kepada orang miskin adalah termasuk bentuk ibadah yang agung. Bantulah dan perhatikan mereka, jangan biarkan mereka meminta-minta di jalan atau di tempat-tempat keramaian, karena meminta-minta dalam Islam adalah perbuatan tercela dan diancam oleh Rasulullah n dalam sabda beliau,

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang terus-menerus meminta-minta kepada manusia hingga ketika datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sedikitpun daging di wajahnya (tulang semua sebagai hukuman baginya).” (Muttafaqun ‘alaihi). (Redaksi)

[Sumber: Disadur dari berbagai sumber]