I LOVE YOUAnas bin Malik berkata bahwa seorang laki-laki duduk bersama Nabi, lalu laki-laki lain berjalan melewati keduanya, laki-laki yang duduk dengan Nabi berkata kepada Nabi, “Rasulullah, sesungguhnya aku menyintai orang itu.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu sudah memberitahunya?” Dia menjawab, “Belum.” Nabi bersabda, “Beritahu dia.” Maka laki-laki itu bangkit dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku menyintaimu.” Maka dia menjawab, “Semoga Allah yang karenaNya kamu menyintaiku menyintaimu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani.

Bila Nabi menganjurkan seorang muslim menyampaikan cintanya karena Allah kepada muslim yang dicintainya, bahkan anjuran ini bersifat segera, karena Nabi langsung memerintahkannya agar menyampaikannya, karena hal ini membuat orang yang dicintai tersebut berbahagia dan membahagiakan seorang muslim yang merupakan asas bersatunya hati adalah sesuatu yang terpuji, lalu bagaimana bila antara suami dengan istri? Cinta suami istri, di samping cinta muslim dan muslimah atas asas karena Allah, ada sisi lain yang plus, apakah tidak lebih patut bila keduanya saling ungkap cinta kepada yang lain?

Islam mengajak menguatkan hubungan suami istri, karena kuatnya hubungan ini membentuk sebuah rumah bahagia, mewujudkan sisi-sisi ibadah kepada Allah, maka berita darimu wahai suami dan wahai istri kepada pasanganmu adalah berita segera yang tidak tertunda, apalagi dalam keadaan pasangan lelah jasmani dan rohani, sedih hati dan pikiran, ungkapan cinta tulus sangat menyejukkan hati.

Namun satu hal, hendaknya ungkapan cinta bukan sekedar ungkapan bibir saja, basa-basi garing yang tidak bernyawa, hanya sebatas rutinitas yang dibuat-buat layaknya dalam sebuah film atau sinetron, sebaliknya ia berasal dari hati tulus agar bisa menyentuh hati, karena sesuatu yang dari hati akan masuk ke hati, sesuatu yang hanya di bibir, akan sebatas bibir tidak lebih.

Amru bin al-Ash memimpin pasukan Dzatu Salasil, dia berkata, aku menemui Nabi dan berkata, “Siapa yang yang paling engkau cintai?” Nabi menjawab, “Aisyah.” Aku bertanya, “Laki-laki?” Nabi menjawab, “Bapaknya.” Aku Bertanya, “Lalu siapa?” Nabi menjawab, “Umar.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Nabi tidak menutupi saat Amru bertanya tentang hal ini dan siapa beliau, beliau sama sekali tidak merasa risih atau rikuh untuk menjawab secara terbuka, biarlah jawaban itu sampai ke yang bersangkutan dan membahagiakannya, bagaimana dengan kita? Tentu kita lebih patut. Wallahu a’lam.