Periode Kedua: Pada Masa Sahabat radhiyallahu ‘anhu 

Atsar atau riwayat yang berkaitan dengan masalah ini terdiri atas dua macam: 1. Tentang pengingkaran, 2. Tentang perbuatan atau pengakuan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Atsar dalam hal pengingkaran

Atsar-atsar berkaitan dengan hal ini berasal dari tiga sahabat, yaitu: dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, dan dari Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu. Atsar-atsar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Atsar dari Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.

Dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, “Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu pernah melihat seorang lelaki yang sedang bertasbîh dengan tasbeh yang dimilikinya, lalu Umar berkata, “Sebenarnya cukuplah baginya untuk mengucapkan:

سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.

(Mahasuci Allah seisi langit dan bumi dan seisi apa yang dikehendaki-Nya setelah itu),dan mengucapkan:

اْلحَمْدُ للهِ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.

(Segala puji bagi Allah seisi langit dan bumi, dan seisi apa yang dikehendaki-Nya setelah itu), dan mengucapkan:

اللهُ أَكْبَرُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شَاءَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.

(Allah Maha Besar seisi langit dan bumi, dan seisi apa yang dikehendaki-Nya setelah itu).” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf”, no. 7669; Bab: Orang-orang yang membenci memakai tasbeh.” Riwayat Sa’id bin Jubair rahimahullah(w. 95 H) dari Umar radhiyallahu ‘anhu ini mursalah , mengingat di dalam atsar ini sanadnya ada yang terputus.

2. Atsar dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Yahya bin Sa’id al-Qatthan telah berkata kepada kami, dari at-Tamimi, dari Abu Tamimah, dari seorang wanita dari Bani Kulaib, dia berkata, “’Aisyah radhiyallahu ‘anhapernah melihatku sedang bertasbîh dengan tasbeh yang aku miliki, lalu dia berkata, “Di mana jari-jarimu?.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf”, no. 7657. Di dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal sebagaimana yang Anda lihat sendiri (nama wanita tersebut, penj).

3. Atsar dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Di dalamnya terdapat beberapa atsar, yaitu:
Pertama; Dari Ibrahim, dia berkata, “Abdullah sangat benci menghitung dzikir dengan tasbeh, dia berkata, “Apakah ia menghi-tung kebaikan-kebaikannya kepada Allahta’ala?” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf”, no. 7667, dengan sanad yang shahih.

Kedua; Dari ash-Shilt bin Bahram, dia berkata, “Ibnu Mas’ud pernah berjumpa dengan seorang wanita yang memakai tasbeh untuk bertasbîh, maka seketika beliau memutus dan membuangnya, kemudian beliau berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang bertasbîh dengan batu kerikil, maka seketika itu beliau menendang lelaki tersebut, lalu beliau berkata, “Sungguh kalian telah mendahului, kalian telah melakukan bid’ah secara zhalim, dan sungguh kalian telah mengalahkan ilmu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah al-Qurthubi di dalam “al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anha”, hal. 12, dengan sanad yang shahih kalau saja di dalamnya tidak ada sanad yang terputus, mengingat ash-Shilt tidak pernah mendengar langsung dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Ketiga; Dari Sayyar Abul Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhudiberi informasi tentang orang-orang di Kufah yang bertasbih dengan batu kerikil di dalam masjid, lalu beliau mendatangi mereka, dan sungguh masing-masing dari mereka telah menumpuk di hadapannya setumpuk kerikil, maka hampir saja beliau melimpari mereka dengan batu kerikil hingga beliau mengeluarkan mereka dari dalam masjid, dan berkata, “Sungguh kalian telah membuat bid’ah secara zhalim, atau telah mengungguli ilmu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah di dalam “al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anha”, hal. 11, dengan sanad yang shahih kalau saja di dalamnya tidak ada sanad yang terputus, mengingat Sayyar tidak pernah mendengar secara langsung dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Keempat; Dari Ibnu Sam’an, dia berkata, “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya beliau pernah melihat orang-orang yang bertasbih dengan batu kerikil, lalu beliau berkata, “Apakah kepada Allah ta’ala kalian menghitung (bacaantasbîh kalian)? Kalian telah mendahului ilmu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atau telah menciptakan bid’ah secara zhalim..” Diriwayatkan oleh Ibnu Waddhah di dalam “al-Bida’ wa an-Nahyu ‘Anha”, hal. 12, namun sanadnya rusak, karena Ibnu Sam’an -alias Abdullah bin Ziyad al-Makhzumi- dituduh berbuat kebohongan. Tetapi, tuduhan ini tidak dianggap dengan memperhatikan atsar yang sebelumnya.

Kelima; Hakam bin Mubarak dari ‘Amr bin Yahya bin ‘Umarah bin Abu Hasan al-Mazini, dia berkata, Aku pernah mendengar bapak-ku menyampaikan hadîts kepada bapaknya, dia berkata, ad-Darimi telah meriwayatkan di dalam Sunannya: Dia berkata, Hakam bin Mubarak telah memberitahu kami bahwasanya Umar -Amr- bin Yahya pernah berkata, Aku telah mendengar Bapakku menyampaikan hadîts dari bapaknya yang berkata, “Kami pernah duduk di depan pintu Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat pagi (Subuh), maka ketika beliau keluar kami pun berjalan bersamanya menuju masjid, lalu Abu Musa al-Asy’ari mendatangi kami seraya berkata, “Apakah Abu Abdirrahman pernah pergi kepada kalian sebelumnya?” Kami menjawab, “Tidak.” Lalu Abu Musa duduk sampai dia keluar. Ketika dia keluar, maka kami semua berdiri menghampirinya. Lalu dia berkata kepada Ibnu Mas’ud: “Wahai Abu Abdurrahman, sesung-guhnya baru saja aku melihat di dalam masjid suatu perkara yang aku ingkari, dan Alhamdulillah, aku belum pernah melihat selain kebaikan.” Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa itu?” Abu Musa menjawab, “Kalau saja kamu diberi umur panjang maka kamu akan melihat-nya,” lalu dia berkata lagi: “Aku telah melihat di dalam masjid suatu kaum yang membentuk lingkaran (halaqah) sambil duduk menanti-kan shalat. Di dalam setiap halaqah terdapat seorang lelaki, sedang di tangan-tangan mereka terdapat batu-batu kerikil, lalu lelaki tersebut berkata, ‘Bertakbirlah kalian seratus kali’, maka mereka pun bertakbir sebanyak seratus kali, lalu lelaki tersebut berkata lagi: ‘Ber-tahlillah kalian seratus kali’, maka meraka pun bertahlîl sebanyak seratus kali, lalu lelaki tersebut berkata lagi: ‘Bertasbihlah kalian seratus kali’, maka mereka pun bertasbîh sebanyak seratus kali.” Ibnu Mas’ud bertanya, “Lalu apa yang telah kamu lakukan terhadap mereka?” Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan sesuatu pun kepada mereka karena menunggu pendapatmu -atau menunggu perintahmu-.” Ibnu mas’ud bertanya kembali: “Tidakkah kamu me-nyuruh mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka, dan menjamin bagi mereka agar tidak sirna kebaikan-kebaikan mereka?”

Lalu Ibnu mas’ud pergi dan kami pun ikut berjalan bersamanya hingga beliau mendatangi salah satu halaqah tersebut, lalu beliau berdiri di hadapan mereka, sambil berkata, “Apa yang sedang kalian perbuat?” Mereka menjawab, “Wahai Abu Abdurrahman, batu-batu kerikil yang kami pakai untuk menghitung bacaan takbir, tahlîl, dan tasbîh.” Ibnu Mas’ud berkata, “Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian, maka aku jamin agar tidak ada sesuatu pun yang sirna dari kebaikan-kebaikan kalian. Celaka kalian, wahai umat Muhammad! Alangkah cepatnya kerusakan kalian, para sahabat Nabi kalian ini sangat banyak! Ini pakaian beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) masih belum rusak, wadah-wadah beliau masih belum pecah!, dan demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya kalian berada pada suatu agama yang lebih benar (lurus menurut kalian) daripada agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam! atau malah kalian membuka pintu kesesatan!” Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan selain kebaikan.” Ibnu mas’ud berkata, “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak akan pernah mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata kepada kami, bahwasanya suatu kaum yang membaca al-Qur’an kedudukan mereka tidak akan terlampaui, dan demi Allah, aku tidak mengetahui: semoga kebanyakan mereka adalah dari kalian.” Kemudian, Ibnu Mas’ud berpaling dari mereka. ‘Amr bin Salamah berkata, “Kami telah melihat kebanyakan anggota halaqah tersebut bersama kelompok Khawarij, dan merekalah yang memfitnah (menye-rang) kami pada perang Nahrawan.”

Semua perawinya (sanadnya) berasal dari orang-orang yang ada di dalam “at-Taqrîb”, mereka adalah orang-orang yang terpecaya (tsiqat). ‘Amr dan bapaknya, Yahya, termasuk para perawi di dalam Kutub as-Sittah (enam kitab hadîts), sedangkan kakeknya, ‘Umarah, termasuk periwayat an-Nasa’i di dalam “’Amal al-Yaum wa al-Lailah”, dan dia adalah seorang yang terpecaya (tsiqat).

Adapun Hakam bin Mubarak, dia berasal dari suku Bahili, yang disebutkan Ibnu Hajar di dalam “at-Taqrib”, sebagai “shadûq rubbama wahima” (orang yang sangat jujur, tapi bisa menduga-duga), dan dia telah diberi isyarat sebagai periwayat dalam hadits Imam al-Bukhari di dalam “al-Adab al-Mufrad”, dan termasuk pula salah satu perawinya at-Tirmidzi. Dan ada tawâdi` lain setelah itu.

Keenam; Bahsyal berkata, Aslam bin Sahal rahimahullah (w. 292 H) di dalam “Tarikh Wasith”, hal. 198-199, telah berkata, “Telah berkata kepada kami Ali bin al-Hasan bin Sulaiman, Telah berkata kepadaku bapakku, ia berkata, Telah berkata kepada bapakku (?!), Ia berkata, Kami pernah duduk-duduk …. dst, sama persis dengan redaksi hadîts yang diriwayatkan oleh ad-darimi terdahulu.

Maka, atsar ini dilihat dari Ali bin al-Hasan bin Sulaiman al-Hadhrami al-Wasithi, dia adalah seorang yang terpecaya (tsiqat) ter-masuk periwayat riwayat Muslim dan Ibnu Majah.

Kedua: Atsar dalam hal pengakuan (taqrîr)
Atsar-atsar ini berasal dari enam sahabat, yaitu Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Shafiyahradhiyallahu ‘anhu. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Atsar dari Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf” no. 7662, berkata, “Telah berkata kepada kami Humaid bin Abdurrahman, dari Hasan bin Musa al-Qari, dari Thalhah bin Abdullah, dari Zâdzân, dia berkata, Aku telah mengambil dari Ummu Ya’fur tasbeh yang dimilikinya. Ketika aku mendatangi Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau mengajariku lalu berkata, Wahai Abu ‘Umar (Zâdzân), kembalikan tasbeh tersebut kepada Ummu Ya’fur.”

2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, darinya terdapat dua atsar:

Pertama; Dari seorang syaikh dari Thafawah, dia berkata, “Aku pernah bertamu kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di Madinah, dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling bersemangat dalam menyambut tamunya daripada beliau. Suatu hari aku bersamanya, dan beliau berada di atas tempat tidurnya, beliau membawa satu kantong besar berisi batu-batu kerikil (atau biji-bijian), sementara di bawah tempat beliau ada seorang budak wanita berkulit hitam, beliau bertasbih dengan batu kerikil tersebut sampai ketika batu kerikil yang di dalam kantong itu habis, beliau melemparkan kantong itu kepada si wanita itu. Lalu wanita itu mengumpulkan batu-batu itu dan memasukkannya kembali ke dalam kantong, kemudian memberikan kantong itu kepada beliau….” Diriwayatkan oleh Abu daud di dalam Sunan-nya, (2/339), dan Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf”, no. 7661. Aslinya tanpa menyebutkan kisah kantong tersebut di dalam Musnad Imam Ahmad, sunan at-Tirmidzi dan sunan an-Nasa’i.

Anda melihat bahwa orang yang meriwayatkan atsar ini dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, adalah seorang syaikh dari Thawafah yang tidak disebutkan namanya. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam “at-Taqrib” mengatakan dia tidak dikenal.

Kedua; Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Dia (Abu Hurairah) pernah bertasbihdengan biji-bijian yang berwarna warni (hitam dan putih).” Di-takhrij oleh Ibnu Sa’ad di dalam “ath-Thabaqat”, tapi saya tidak mengetahuinya.

3. Atsar dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu .

Dari Qasim bin Abdurrahman, dia berkata, “Abu Dar’da mempunyai biji-bijian kurma (‘ujwah) yang aku hitung sebanyak kurang lebih sepuluh biji di dalam suatu kantong. Jika beliau shalat Subuh, beliau menggelar permadaninya, lalu beliau mengambil kantong tersebut dan mengeluarkan biji-bijian itu satu per satu untuk beliau pakai bertasbih. Jika biji-bijian itu telah habis, beliau mengulanginya kembali satu per satu. Semua biji-bijian itu beliau pakai untuk bertasbih.” Diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad di dalam “Zawa’id az-Zuhd.” Saya tidak pernah melihat orang yang secara eksplisit mengatakan Qasim bin Abdurrahman as-Sami, budaknya Juwairiyah binti Abu Sufyan, mendengar langsung dari Abu Darda’. Karena, jika dia mendengar langsung dari Abu Darda’, maka tentunya atsar ini adalah riwayat yang terputus sanadnya.

4. Atsar dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu.

Dari hakim bin ad-Dailami, “bahwasanya Sa’ad pernah ber-tasbih dengan menggunakan batu-batu kerikil.” Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad di dalam “ath-Thabaqat”, dan Imam Ahmad di dalam “az-Zuhd”, dan di dalamnya ada sanad yang terputus. Karena, hakim bin ad-Dailami tidak pernah meriwayatkan dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Atsar ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannaf”, no. 7659, dengan sanadnya dari Hakim bin ad-Dailami, dari budak wanitanya Sa’ad, “bahwasanya Sa’ad bertasbih dengan menggunakan batu-batu kerikil atau biji-bijian.” Dan budak wanitanya Sa’ad di sini tidak diketahui (majhul).

5. Atsar dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
As-Suyuthi rahimahullah telah berkata: “Dan Ibnu Abi Syaibah telah men-takhrij(meriwayatkan) dari Abu Sa’id al-Khudri, dan bahwasanya dia (Abu sa’id) telah bertasbih dengan menggunakan batu-batu kerikil.”

Sedangkan redaksi yang ada di dalam “Mushannaf Ibnu Abi Syaibah”, no. 7660, adalah: “Telah berkata kepada kami Yahya bin Sa’id, dari ‘Ubaidillah, dari Ibnul Akhnas, dia berkata, Telah berkata kepadaku budak lelakinya Abu Sa’id, dari Abu Sa’id, bahwasanya dia (Abu Sa’id) pernah mengambil tiga batu kerikil, lalu beliau meletakkannya di atas pahanya. Kemudian beliau bertasbih, dan beliau pun meletakkan satu butir kerikil. Setelah itu, beliau bertasbih lagi, dan beliau pun meletakkan batu kerikil yang lainnya. Setelah itu, beliau bertasbih kembali, dan beliau pun meletakkan batu kerikil yang lainnya lagi. Kemudian, beliau mengangkat ketiga batu kerikil itu, dan meletakkan kembali di atas pahanya. Beliau berkata, ‘Janganlah kalian bertasbihdengan memakai tasbeh sambil bersiul’.”

6. Atsar dari Abu Shafiyah radhiyallahu ‘anhu, budaknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Yunus bin ‘Ubaid dari ibunya, dia berkata, “Aku telah melihat bapaknya Shafiyyah, seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia adalah tetangga kami.” Ibunya ‘Ubaid berkata, “Abu Shafiyah telah bertasbih dengan menggunakan batu-batu kerikil.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam “az-Zuhd”, “al-’ilal no. 711”, dan di dalam kitabnya “al-Minhah”, Imam as-Suyuthi berkata, “Dan di dalam “Juz Hilal al-Haffar” dan “Mu’jam ash-Shahabah” karya al-Baghawi, juga Ibnu ‘Asakir di dalam “Tarikh Dimasyq” dari jalur Mu’tamir bin Sulaiman, dari Ubay bin Ka’ab, dari kakeknya, Baqiyah, dari Abu Shafiyyah, budaknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “bahwasanya dia (Abu Shafiyyah) padanya pernah diletakkan hamparan kulit dan dibawakan (diberi) kantong yang berisi batu-batu kerikil, lalu dia bertasbih dengannya sampai pertengahan siang, lalu dia mengang-katnya. Jika dia shalat yang pertama (Subuh), maka dia dibawakan (diberi) batu kerikil, lalu dia bertasbih dengannya sampai waktu sore.”

Ringkasan

Sesungguhnya berkaitan dengan pengingkaran terhadap orang yang bertasbih dengan batu-batu kerikil ini, terdapat beberapa atsar dari tiga sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu: dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, namun di dalam sanadnya ada yang terputus, juga dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah akan tetapi di dalam sanadnya ada yang tidak diketahui, serta dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang sebagian besar sanadnya shahih lagi gamblang bak matahari yang secara gamblang mencegah dan mengingkari fenomena tersebut di dalam berbagai kejadian.

Sedangkan berkaitan dengan pengakuan, terdapat enam atsar yang berasal dari enam sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, yaitu: dari Ali radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu terdapat dua atsar: Pertama, adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya, di dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal, sedang atsar yang kedua saya tidak mengetahuinya, lalu atsar dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perbuatannya sendiri, di dalam sanadnya ada perawi yang terputus, dan atsar ini telah diriwayatkan oleh Abdullah di dalam kitab “Zawâid az-Zuhd” karangan bapaknya. Lalu atsar dari Sa’ad bin Waqqash berdasarkan perbuatannya sendiri yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, namun di dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal. Lalu atsar dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lalu atsar dari Abu Shafiyyah radhiyallahu ‘anhu, budaknya Nabi radhiyallahu ‘anhu, berdasarkan perbuatannya sendiri yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam “az-Zuhd” dan “al-’ilal”, dan di dalam sanadnya ada perawi yang tidak dikenal.

Maka, berbagai atsar tentang fenomena bertasbih dengan batu kerikil tersebut, sanad-sanadnya tidak terlepas dari catatan. Atsar dari Umar radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkaitan dengan larangan dan pengingkaran terhadapnya juga demikian. Adapun atsar dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, atsar ini terlihat jelas keshahihannya dalam mencegah dan mengingkari perbuatan tersebut. Dan tidak ada seorang pun yang menentang pengingkaran, pernyataan dan perkataan keras Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kepada orang yang melakukan perbuatan ini:“Sungguh kalian telah membuat bid’ah secara zhalim, atau mengungguli ilmu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” Wallahu A’lam.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]