Bila Tauhid Rububiyah, yang oleh para pengkaji dari kalangan ahli kalam dan orang-orang sufi dijadikan sebagai tujuan, termasuk ke dalam tauhid yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab turun dengannya, maka hendaknya diketahui bahwa dalil-dalilnya beragama seperti dalil-dalil penetapan pencipta dan dalil-dalil kebenaran Rasulullah saw, semakin tinggi kebutuhan manusia terhadap suatu ilmu semakin jelas pula dalil-dalilnya dan hal ini adalah rahmat Allah kepada manusia.

Dalil yang paling menonjol adalah dalil konsekuensi mustahil pada ilahiyah, dalil ini berbeda dengan dalil konsekuensi mustahil pada rububiyah, karena tidak sedikit kalangan mengira bahwa dalil konsekuensi mustahil pada rububiyah adalah firman Allah Ta’ala, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al-Anbiya`: 22).

Ayat ini adalah dalil konsekuensi mustahil pada ilahiyah bukan rububiyah, demikian pula dengan ayat dalam surat al-Mukminun, yakni firman Allah, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang haq lainnya besertaNya, kalau ada Tuhan yang haq besertaNya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mukminun: 91).

Dalil konsekuensi mustahil pada ilahiyah mengandung konsekuensi mustahil pada rububiyah. Karena syirik pada rububiyah sudah diketahui tidak mungkin terjadi pada manusia seluruhnya dalam arti penetapan dua pencipta yang setara dalam sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan, walaupun sebagian musyrikin meyakini ada pencipta selain Allah yang menciptakan sebagian alam, sebagaimana yang dikatakan oleh Tsanawiyah tentang kegelapan, sebagaimana yang dikatakan oleh Qadariyah tentang perbuatan hewan, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli filsafat Darhiyah atau Duhriyah tentang gerakan falak atau gerakan jiwa atau jasad-jasad alamiah, namun mereka tetap tidak menetapkan perkara-perkara yang diadakan tanpa pengadaan oleh Allah terhadapnya, jadi mereka mempersekutukan Allah pada sebagian rububiyah, tidak sedikit orang-orang musyrikin Arab dan lainnya meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki sebagian manfaat atau mudharat tanpa Allah yang menciptakannya.

Manakala syirik pada rububiyah ini ada pada manusia, al-Qur`an menjelaskan kebatilannya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) besertaNya, kalau ada Tuhan besertaNya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-Mukminun: 91).

Perhatikanlah argumentasi mengagumkan ini, dengan kata yang ringkas namun luas, Tuhan yang haq pastilah pencipta dan pelaku, menyampaikan manfaat kepada penyembahNya dan menolak mudharat darinya, seandainya di samping Allah Ta’ala terdapat tuhan lain yang berserikat denganNya dalam kekuasaan, niscaya tuhan lain tersebut memiliki penciptaan dan tindakan, dalam kondisi ini dia tidak akan menerima pembagian tersebut, sebaliknya bila dia mampu mengalahkan sekutunya sehingga bisa memonopoli kerajaaan dan ketuhanan pasti dia akan melakukannya, bila tidak maka dia akan menyingkir dengan penciptaannya dan hanya berkuasa atasnya saja, sebagaimana yang terjadi pada raja-raja dunia, di mana sebagian berkuasa atas kerajaannya sendiri.

Bila yang tuhan yang mandiri dengan penciptaan itu tidak mampu menundukkan yang lain dan menguasainya, maka yang ada adalah tiga kemungkinan: Masing-masing tuhan membawa pergi penciptaannya dan kekuasaannya. Atau sebagian dari mereka mengalahkan sebagian yang lain. Atau mereka semuanya berada di bawah kekuasaan salah satu dari mereka sehingga tuhan yang berkuasa ini bertindak atas mereka sesuai dengan kehendaknya sementara yang lainnya tidak kuasa bertindak terhadapnya, dialah yang menjadi tuhan sementara yang lain adalah hamba yang dikuasai dan diatur dari segala segi.

Misalnya, bila alam raya ini memiliki dua tuhan yang berhak disembah dan diibadahi, lalu kaum muslimin berdoa kepada Tuhan mereka agar memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka, lalu para musuh kaum muslimin itu juga berdoa dengan doa yang sama kepada tuhan mereka, karena Tuhan itu mampu menyampaikan kebaikan dan manfaat kepada para penyembahnya, masing-masing menjawab permohonan hamba-hambanya, maka yang terjadi dalam kondisi ini adalah kemustahilan sebagai berikut:

Kedua doa sama-sama dikabulkan dan ini mustahil, karena hal itu berarti bahwa kedua belah pihak menang sekaligus kalah di saat yang sama, ini mustahil. Atau kedua dosa sama-sama tidak dikabulkan, ini artinya kedua tuhan sama-sama tidak layak menjadi tuhan, karena dia tidak kuasa menyampaikan kebaikan kepada para penyembahnya. Atau doa salah satu dari kedua belha pihak dikabulkan, hal ini berarti tuhan pihak lain loyo alias tidak mampu sehingga karena itu dia tidak kapabel untuk menjadi tuhan. Ini adalah dalil konekuensi mustahil pada ilahiyah yang mengandung konsekuensi mustahil pada rububiyah.

Keteraturan alam semesta dan kecanggihan penataannya adalah dalil paling kuat bahwa pengaturnya hanyalah Tuhan yang Esa, Rabb yang satu, tiada Tuhan bagi makhluk selainNya, tiada Rabb bagi mereka kecuali Dia, sebagaimana dalil konseukensi mustahil telah menetapkan bahwa pencipta alam semesta adalah satu tiada Tuhan kecuali Dia, maka tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia, hal itu adalah kenosekuensi mustahil pada perbuatan dan pengadaan, sedangkan yang ini adalah konsekuensi mustahil pada ibadah dan ilahiyah, sebagaimana mustahil alam ini mempunyai dua tuhan yang sama-sama menciptakan secara berimbang, mustahil pula bila alam memiliki dua sesembahan yang berhak disembah.

Ilmu tentang keberadaan alam semesta dari dua tuhan mustahil dari dirinya sendiri tertanam dalam fitrah, diketahui melalui akal yang jelas kebatilannya, hal ini secara otomatis membatalkan ketuhanan bagi dua tuhan. Ayat yang mulia sejalan dengan apa yang telah tertanam dalam fitrah, yaitu Tauhid Rububiyah, dan bahwa ia menetapkan dan menuntut Tauhid Ilahiyah.

Dekat dengan makna ini firman Allah Ta’ala, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al-Anbiya`: 22). Sebagian kalangan menyangka bahwa ayat ini merupakan dalil konsekuensi mustahil yang telah disebutkan di atas, yaitu bila alam ini memiliki dua pencipta…dan seterusnya, dan mereka melalaikan kandungan ayat, bahwa Allah Ta’ala mengabarkan bahwa bila di langit dan di bumi terdapat آلهة selainNya dan bukan أرباب selainNya.

Di samping itu, hal tersebut hanya terjadi setelah kedua (langit dan bumi) ada, yakni seandainya pada keduanya terdapat tuhan-tuhan lain selain Allah sementara keduanya sudah ada niscaya kedua akan hancur.

Di samping itu, Allah Ta’ala berfirman, “Niscaya keduanya rusak.” Kerusakan ini setelah keduanya ada dan Allah tidak berfirman, “Niscaya keduanya tidak menciptakan.

Ayat ini menetapkan bahwa tidak boleh di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan yang berjumlah, sebaliknya yang ada hanyalah satu Tuhan, sebagaimana ayat menunjukkan bahwa tidak mungkin tuhan yang satu itu kecuali Allah Ta’ala, dan bahwa keberadaan tuhan-tuhan yang berjumlah dan bahwa tuhan bukan Allah membawa kepada kerusakan langit dan bumi, tiada kebaikan pada langit dan bumi kecuali bila tuhan pada keduanya adalah Allah Ta’ala semata bukan selainNya. Seandainya alam ini memiliki dua tuhan yang disembah niscaya tatatan alam akan rusak seluruhnya, karena tegaknya alam adalah dengan keadilan, dengannya langit dan bumi tegak, sedangkan kezhaliman paling zhalim adalah syirik dan keadilan paling adil adalah tauhid. Wallahu a’lam.