Muharam merupakan bulan yang utama dan bulan yang berkah. Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini adalah seperti dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa pada) bulan Allah, yaitu Muharam. Dan shalat (sunnah) yang paling utama setelah (shalat) yang diwajibkan adalah shalat malam.” (Shahih Muslim, II/821).

Ibnu Rajab -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Nabi – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menamakan bulan Muharam sebagai bulan Allah. Penyandaran kepada Allah ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan itu, karena Allah Ta’ala tidak menyandarkan sesuatu kepada-Nya, melainkan ia adalah istimewa ….” (Latha-iful Ma’arif, hal.32).

Kata ‘Bulan Allah’ menunjukkan bahwa bulan tersebut memiliki keagungan karena disandarkan kepada Allah. Al-Qari -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Yang dapat dipahami secara langsung dari hadits ini adalah bahwa hal ini mencakup seluruh hari pada bulan Muharam.”

 

‘Asyura Hari yang Mulia dan Diberkahi

Di antara keberkahan bulan Muharam yaitu adanya hari ‘Asyura yang merupakan hari mulia dan diberkahi.

Hari ‘Asyura memiliki kemuliaan yang sudah dikenal luas. Pada hari itulah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyelamatkan hamba dan Nabi-Nya, yaitu Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ- beserta kaumnya dan menenggelamkan musuh-Nya, yaitu Fir’aun beserta bala tentaranya.

Nabi Musa -عَلَيْهِ السَّلَامُ- berpuasa pada hari tersebut sebagai ungkapan syukur kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Orang-orang Quraisy juga berpuasa pada hari tersebut di masa Jahiliyah, demikian pula dengan bangsa Yahudi. Bahkan, dahulu, puasa pada hari tersebut diwajibkan sebelum ada kewajiban puasa di bulan Ramadhan, demikian menurut pendapat mayoritas ulama. (Silakan merujuk ke Fathul Bari, IV/247). Setelah itu, ia menjadi sunnah, sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihain dari ‘Aisyah -semoga Allah meridhainya-, ia berkata, “Dahulu, pada masa Jahiliyah, suku Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura dan Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga berpuasa pada hari tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau (tetap) berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa juga. Namun, setelah diwajibkan puasa bulan Ramadhan, beliau bersabda,

مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Barangsiapa ingin berpuasa, silakan ia berpuasa (pada hari ‘Asyura) dan barang siapa tidak ingin, ia (boleh) meninggalkannya.” (Shahihul Bukhari, II/250 dan Shahih Muslim, II/792).

Di dalam ash-Shahihain, disebutkan, dari Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- , Ketika Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura. Lalu, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bertanya kepada mereka, “Apakah hari yang kalian puasai ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang mulia. Pada hari ini, Allah menyelamatkan Musa beserta pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun beserta pengikutnya. Musa berpuasa pada hari ini sebagai ungkapan syukur, maka kami pun berpuasa pada hari ini.” Kemudian, Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ

Kami lebih berhak dan lebih utama (untuk mengikuti) Musa daripada kalian.”

Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pun berpuasa dan memerintahkan (kaum Muslimin) agar berpuasa pada hari itu. (Shahihul Bukhari, II/251 dan Shahih Muslim, II/796. Redaksi hadis ini milik Muslim).

 

Kapan ‘Asyura Itu ?

Imam An-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Para ulama dalam madzhab kita (Asy-Syafi’iyah) mengatakan, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam sedang Tasu’a adalah hari kesembilan dari bulan yang sama…Inilah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama)…Inilah yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang sesuai dengan bahasa (Arab) dan dikenal oleh para ahli bahasa.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab).

Ibnu Qudamah -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Ini adalah pendapat Sa’id bin Musayyib dan Hasan Al-Bashri. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- beliau berkata,

أَمَرَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِصَوْمِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءِ يَوْمُ الْعَاشِرِ

“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan (kaum Muslimin) untuk berpuasa pada hari ‘Asyura yaitu hari kesepuluh bulan Muharam.” (HR. At Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Ini adalah hadits hasan shahih.”).

 

Keutamaan Puasa ‘Asyura   

Berpuasa pada hari ini mengandung keutamaan yang besar, yaitu dapat menghapus dosa-dosa pada tahun lalu, sebagaimana disebutkan dalam shahih Muslim, dari hadits Abu Qatadah al-Anshari -semoga Allah meridhainya-, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah ditanya mengenai puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Ia dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.” (Shahih Muslim, II/819).

Abu Qotadah -semoga Allah meridhainya- mengatakan bahwa Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa hari ‘Asyura aku mengharap Allah akan menghapus dosa-dosa di tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no. 1162).

 

Dosa-dosa apa yang dapat dihapus dengan puasa ‘Asyura ?

Imam An-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “(Puasa ‘Asyura) menghapus semua dosa-dosa kecil, maka maksud hadits tentang puasa ‘Asyura menghapus semua dosa artinya selain dosa besar. Beliau melanjutkan, “Puasa ‘Arafah menghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura menghapus dosa satu tahun. Jika bacaan “amin” makmum berbarengan dengan bacaan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu… Semua yang telah disebutkan tersebut dapat menjadi penghapus (dosa-dosa). Jika orang tersebut memiliki dosa-dosa kecil maka amal-amal tersebut menjadi penghapusnya, jika ia tidak mempunyai dosa-dosa kecil maupun besar maka akan dicatat sebagai kebaikan dan diangkat derajatnya. Dan jika ia mempunyai dosa besar tetapi tidak mempunyai dosa kecil maka kita berharap dapat meringankan dosa-dosa besar tersebut.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab).

 

Nabi –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – Menjaga Puasa ‘Asyura

Karena itu, Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sedemikian menjaga puasa di hari tersebut.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan -semoga Allah meridhainya- berkata: Aku mendengar Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

Ini adalah hari ‘Asyura dan Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa, tetapi saya berpuasa, maka barangsiapa yang ingin puasa, puasalah dan barangsiapa yang ingin berbuka, berbukalah.” (HR. al-Bukhari, no. 2003 dan Muslim, no. 1129).

Di samping Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjaga puasa ‘Asyura beliau juga mencari keutamaannya.

Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- pernah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, lalu beliau menjawab,

مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ وَلاَ شَهْرًا إِلاَّ هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِى رَمَضَانُ

“Aku tidak mengetahui Rasulullah –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berpuasa pada satu hari untuk mencari keutamaannya dari hari-hari yang lain selain hari ini dan aku pun tidak mengetahui beliau berpuasa pada satu bulan untuk mencari keutamaannya dari bulan-bulan lain selain bulan ini, yakni Ramadhan.” (HR. al-Bukhari, no. 2006 dan Muslim, no. 1132).

Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam Fathul Bari (4/292), “Hadits ini menunjukkan bahwa hari ‘Asyura adalah hari paling utama bagi orang yang berpuasa setelah Ramadhan. Namun Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- menyandarkan itu kepada pengetahuannya dan ini tentu tidak menafikan pengetahuan selainnya.”

 

Allah Memberikan Keutamaan Pada Waktu yang Dikehendaki-Nya

Imam Al-‘Izz bin Abdissalam -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Allah memberikan keutamaan pada tempat dan waktu itu ada dua bentuk; pertama, yang bersifat duniawi, kedua, diniy (bersifat keagamaan) yang kembali pada kemurahan Allah terhadap para hamba-Nya untuk melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang beramal, seperti keutamaan puasa Ramadhan dari puasa pada bulan-bulan lainnya, demikian pula ‘Asyura. Keutamaan yang Allah berikan ini menunjukkan kemurahan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya.” (Qawa’idul Ahkam, 1/38).

 

Disunnahkan Pula Puasa pada Hari Kesembilannya

Sejumlah ulama mengatakan, “Disunnahkan berpuasa pada tanggal sembilan (Muharam) dan tanggal sepuluh (Muharam, yaitu hari ‘Asyura), karena Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  telah berpuasa pada tanggal sepuluh (Muharam) serta sudah berniat akan berpuasa pada tanggal sembilannya.” (Syarah Nawawi Li Shahih Muslim, VIII/13).

Hal ini sebagaimana hadits Abdullah bin Abbas -semoga Allah meridhainya-, ia  berkata, “Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengerjakan puasa ‘Asyura dan beliau perintahkan kaum Muslimin juga untuk berpuasa, para sahabat mengatakan,

يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى

“Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.”

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Insyaallah, pada tahun depan kita akan puasa pada hari kesembilan.”

Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- mengatakan :

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُوْلُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

“Sebelum datang tahun berikutnya, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – telah meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2722).

Imam an-Nawawi -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Mungkin penyebabnya adalah beliau tidak ingin menyerupai orang-orang Yahudi dengan berpuasa hanya pada hari kesepuluh saja.” (Syarh Nawawi Li Shahih Muslim, VIII/12-13).

Al Hafidz Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- berkata, “Apa yang menjadi keinginan Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- untuk berpuasa pada hari kesembilan adalah mengandung makna bahwa puasa ‘Asyura tidak hanya hari kesepuluh, namun ditambah dengan hari kesembilan. Hal ini bisa jadi karena hati-hati atau untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan inilah pendapat yang rajih (kuat) sebagaimana yang ditunjukkan dalam beberapa riwayat hadits di Shahih Muslim.” (Fathul Bari, 4/245).

Karena itu, diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas -semoga Allah meridhainya- bahwa ia mengatakan tentang puasa ‘Asyura,

خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ

Berbedalah dengan kaum Yahudi dan berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh.” (Mushannaf Abdurrazzaq, 4/287, hadits no. 7839).

Pendapat inilah yang kemudian diikuti oleh para imam madzhab, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. (Syarh al-Muwatho, 2/237).

Imam Ahmad mengatakan, “Saya berpendapat dalam puasa ‘Asyura hendaknya dilakukan puasa pada hari kesembilan dan kesepuluh berdasarkan hadits Ibnu Abbas,

وَصُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ

Dan berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh.” (Syarh al-‘Umdah, 2/580).

 

Berpuasa Pada Tanggal Sepuluhnya Saja

Meskipun demikian, jika hanya berpuasa pada tanggal sepuluhnya saja, sebagian ulama, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar al-Haitsami berpendapat tidak mengapa, tidak dimakruhkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa satu tahun dan bukan termasuk perbuatan yang makruh jika hanya mengerjakan puasa ‘Asyura (tanggal 10) saja….” (Al-Fatawa Al Kubro, Jilid 5).

Ibnu Hajar Al-Haitami -semoga Allah merahmatinya- mengatakan, “Tidak mengapa kalau hanya mengerjakan puasa ‘Asyura saja….” (Tuhfatul Muhtaj, Jilid 3, Bab Puasa Sunnah). Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

 

Referensi:

  1. Asyhurul Hurum, Dr. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad al-Juda’i.
  2. Fadhlu ‘Asyura Wa Syahr al-Muharram, Muhammad bin Shaleh al-Munajjid.
  3. Shiyam at-Tathawwu‘; Fadhailun Wa Ahkamun, Usamah Abdul Aziz.