hamba duniaDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata:” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« تعس عبد الدينار والدرهم والقطيفة إن أعطي رضي وإن لم يعط لم يرض »

“Binasalah (semoga binasa) hamba dinar, dirham, kain tebal dan sutra. Jika diberi maka ia ridha jika tak diberi maka ia tak ridha.” (HR. al-Bukhari)

Para ulama menyebutkan bahwa kata تَعِسَ memiliki banyak makna, di antaranya; kerugian, tersungkur di atas wajahnya, terpeleset, keburukan kebinasaan dan lain sebagainya. Di antara ayat yang menjelaskan bahwa makna تَعِسَ adalah kecelakaan (kebinasaan) adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ (8)

” Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 8)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:تعس ini memiliki dua kemungkinan, namun kedua-duanya menunjukkan celakanya para hamba dinar dan hamba-hamba yang lainnya yang disebutkan dalam hadits. Kemungkinan yang pertama adalah bahwa kata tersebut bermakna sebuah do’a. Maka maknanya menjadi:” Semoga celaka hamba dinar dan seterusnya….” Dan tentu saja do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah do’a yang maqbul (terkabulkan).

Adapun kemungkinan yang kedua adalah bahwa kata tersebut bermakna khabar (pemberitaan). Maka maknanya adalah:” Hamba dinar akan celaka dan seterusnya…”. Dan tentunya berita atau khabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pasti kebenarannya. Jadi apapun kemungkinannya, maka sabda Nabi di atas menunjukkan celaka dan binasanya para hamba dinar dan yang lainnya.

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:عبد الدينار (hamba dinar), mengisyaratkan bahwa orang tersebut telah menghinakan dirinya di hadapan dinar dan di hadapan kemewahan dunia yang lainnya, karena kata عبد berasal dari kata عبادة yang menunjukkan makna ketundukkan dan merendahkan diri di hadapan sesuatu yang dicintainya. Sehingga ia menjadikan standar ridha (kerelaan) dan kebenciannya pada dunia, yaitu dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

إن أعطي رضي وإن لم يعط لم يرض

” Jika diberi maka ia ridha dan jika tidak diberi maka ia tidak ridha.”

Ia tidak lagi menjadikan standar ridha dan bencinya keridhaan dari Allah atau kebencian-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Padahal yang memberi dan menahan (tidak memberinya) dinar dan hal-hal yang tersebut dalam hadits adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka seolah-olah hamba dinar tersebut tidak ridha dengan pembagian (takdir) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini tentu adalah sebuah dosa yang sangat besar.

Penyebutan dinar, dirham dan pakaian dalam hadits di atas bukan sebagai pembatasan, artinya celaan dan do’a kebinasaan bukan hanya berlaku bagi orang-orang yang menjadi budak dari barang-barang yang disebutkan dalam hadits itu saja. Akan tetapi hal itu juga berlaku bagi orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta dan kesenangan dunia dari jenis lain, seperti kendaraan, mobil, rumah, jabatan dan lain-lain. Karena alasan dari kebinasaan tersebut –Wallahu A’lam- adalah sikap orang tersebut yang mendahulukan kecintaan terhadap dunia, di atas kecintaan kepada Allah sehingga ia rela menghinakan dirinya di hadapan dunia dibandingkan menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan orang tersebut sejatinya telah keluar dari tujuan hidup yang untuknyalah ia diciptakan, yaitu ia telah keluar dari menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju penghambaan diri kepada dunia. Sekalipun kami tidak mengatakan kalau ia telah keluar dari Islam. Itulah keadaan orang yang tidak memandang harta dengan pandangan yang semestinya.

Sikap Yang Benar Dalam Memandang Harta

Lalu bagaimana sikap seorang Muslim memandang harta? Apakah sikap yang syar’i dalam memandang harta? Apakah seseorang harus mencarinya? Maka jawabnya adalah “Ya” seorang muslim harus mencari harta. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk “berjalan” di penjuru dunia, dan memakan dari rizki-Nya. Dan berjalan yang dimaksud adalah untuk mencari harta. Lalu apakah kita harus menjaga harta, dan tidak menyia-nyiakannya? Maka jawabnya adalah “Ya”. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita memberikan harta kepada sufahaa’ (orang-orang yang belum matang akalnya/belum mampu mengurus harta), sekalipun harta tersebut adalah milik mereka yang dititipkan oleh orang tua mereka kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَاماً [النساء:5]

” Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. ….” (QS. an-Nisaa’: 5)

Hal itu tidak lain adalah karena mereka belum mampu mengurus dan membelanjakan harta dengan baik, sehingga dikhawatirkan mereka akan membelanjakan dan menghambur-hamburkannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat.

Adapun bagi seorang hamba, maka harta ada dua jenis, jenis yang pertama adalah harta yang ia butuhkan dan jenis yang kedua adalah yang tidak ia butuhkan. Adapun jenis yang dia butuhkan, berupa makanan, minuman, biaya nikah, tempat tinggal dan yang semacamnya, maka ia memintanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berusaha untuk mendapatkannya dengan cara-cara yang mubah (diperbolehkan). Kemudian jika ia telah mendapatkan harta ini, maka ia akan memanfaatkannya dan menggunakannya di jalan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia meniatkan dengan harta tersebut untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal-hal yang mubah. Namun ada point yang sangat penting yang perlu diperhatikan, yaitu hatinya tidak bergantung dengan harta tersebut. Seseorang terkadang mencari harta namun hatinya tidak terkait/bergantung dengan harta tersebut.

Mari kita perhatikan contoh berikut ini, seseorang memiliki harta yang ia gunakan untuk keperluannya, seperti binatang tunggangan (keledai, kuda dll) untuk dinaiki, karpet untuk diduduki, WC untuk tempat buang hajat dan lain-lain. Maka manusia membutuhkan itu semua, kendaraan, karpet dan WC, namun apakah orang tersebut sangat mencintai dan merindukan hal-hal tersebut sehingga ia tidak bisa berpisah dengan keledainya, karpet dan WC-nya? Tentu tidak.

Maka inilah point penting, siapa saja yang bisa memahaminya, maka ia telah memahami pandangan Islam terhadap harta. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kita berusaha mendapatkan harta, dan menafkahkannya di jalan ketaatan kepada Allah, tanpa kita menggantungkan hati kita dengannya.

Jenis yang kedua dari harta adalah yang tidak dibutuhkan, yaitu yang melebihi kebutuhanmu. Maka jika engkau mendapatkannya engkau tidak menggantungkan hatimu dengannya, akan tetapi engkau menginfakkannya di jalan Allah. Dan jika engkau tidak memperolehnya, maka engkaupun memang tidak membutuhkannya. Maka jika engkau menggantungkan hatimu kepadanya, maka engkau telah menjadi budaknya, dan menjadikannya sandaran selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka kesimpulannya adalah kita mengambil/mencari dari yang halal, menafkahkannya di jalan yang halal, dan tidak menjadi hamba harta, tidak marah jika tidak diberi harta dan ridha jika diberi. Apa yang kita butuhkan dari harta-harta tersebut kita berusaha mendapatkannya dan apa yang tidak kita butuhkan kita tidak menggantungkan hati kita dengannya. Apa yang kita dapatkan dari jenis kedua ini, maka kita tidak mencintainya dan tidak rakus terhadapnya. Wallahu A’lam.

(Sumber:Disadur dari تعس عبد الدينار karya Syaikh Al-Munajjid, dengan tambahan. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)