muhammad12Abu Sufyan berkata, “Aku tidak melihat seorang pun dari manusia yang menyintai seseorang seperti kecintaan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”

Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi berkata, “Wahai kaumku, demi Allah, aku sudah pernah menghadap para raja, Kaisar, Kisra dan Najasyi. Demi Allah, belum pernah aku melihat seorang raja yang begitu dihormati oleh para sahabatnya seperti Muhammad dihormati para sahabatnya. Demi Allah, tidaklah dia berdahak melainkan akan jatuh ke tangan salah seorang dari mereka, lantas dia menggosok-gosokkannya ke wajah dan bagian kulit badannya, apabila dia memerintahkan mereka, maka secepat kilat mereka melaksanakannya, kalau dia berwudhu, maka mereka bertengkar memperebutkan mendapatkan bekas air wudhunya, dan apabila dia sedang berbicara, maka semua mereka merendahkan suara di sisinya dan tidak memandangnya dengan pandangan tajam karena menghormatinya.”

Abu Bakar menceritakan perjalanan hijrahnya bersama kekasihnya dari Makkah ke Madinah, dia berkata, “Kami melewati seorang penggembala, saat itu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam sedang kehausan, maka aku memerah sedikit susu di sebuah bejana, beliau minum sampai aku rela.”

Betapa agung dan jujur cinta ini, “Beliau minum sampai aku rela.” Cinta mengisi hati ash-Shiddiq secara penuh, sehingga dia merasakan hilangnya rasa haus kekasihnya Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam dalam jiwanya dalam arti sebenarnya, bukan sekedar klaim dan mengada-ada. Ash-Shiddiq tidak rela kecuali jika rasa dahaga sudah hilang dari kekasihnya shallallohu ‘alaihi wasallam. Seolah-olah Abu Bakar adalah orang yang hilang hausnya, terlepas dahaganya.

Seorang sahabat Nabi berkata, “Ya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, demi Allah, sesungguhnya aku lebih menyintaimu daripada diriku sendiriku, sesungguhnya aku lebih menyintaimu daripada keluargaku, sesungguhnya aku lebih menyintaimu daripada anakku, saat aku sedang berada di rumah, aku teringat dirimu, aku tidak kuasa sehingga aku mendatangimu, aku melihatmu, namun di saat aku teringat kematianku dan kematianmu, aku mengetahui bahwa bila engkau masuk surga maka engkau berada di derajat para nabi, bila aku masuk surga maka aku takut tidak melihatmu.”

Cinta mengisi jiwa sahabat ini, sehingga dia tidak kuasa menahan perpisahan dengan kekasihnya, maka dia kembali untuk melihat wajahnya yang mulia, bahkan kerinduan ini melewati batas waktu dan tempat, membentang sampai hari Kiamat, sampai dia di surga.

Cinta memenuhi hati Bilal sehingga dia merasakan nikmatnya kematian dengan penuh kebahagiaan dan keceriaan menyambut kehadirannya, karena dengan itu dia akan melihat kekasihnya Muhammad shallallohu ‘alaihi wasallam. Istrinya berkata manakala ajal menjemputnya, “Duhai betapa sedihnya diriku.” Maka Bilal berkata, “Duhai betapa bahagianya aku, esok kami akan bertemu dengan orang-orang terkasih, Muhammad dan para sahabatnya.”

Cinta membuat Zaid bin ad-Datsinah memilih mati dengan rela dan tenang daripada kekasihnya Muhammad tertusuk duri sementara dia ada di tempatnya.

Abu Sufyan berkata kepadanya, saat mereka telah mengeluarkannya dari daerah Haram untuk membunuhnya, Abu Sufyan bertanya kepadanya manakala dia diseret untuk dibunuh, “Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah wahai Zaid, apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu saat ini, kami memancung lehernya sementara kamu berada di keluargamu?” Zaid menjawab, “Demi Allah, aku tidak ingin Muhammad berada di tempatnya sekarang dan dia tertusuk duri yang menyakitkannya sementara aku duduk di keluargaku.”

Maka Abu Sufyan berkata, “Aku tidak melihat seorang pun dari manusia yang menyintai seseorang seperti kecintaan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”

Cinta memenuhi jiwa Saad bin ar-Rabi’, sehingga dia menjadikan menolong kekasihnya dan mengorbankan jiwa dan raga deminya adalah wasiat terakhirnya yang dia alamatkan kepada kaumnya orang-orang Anshar saat dia menghadapi kematian sebagai syahid di medan Uhud.

Zaid bin Tsabit berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mengutusku di perang Uhud untuk mencari Saad bin ar-Rabi’, maka aku berkeliling di antara para korban perang, aku mendapatinya di saat-saat akhir kehidupan, di tubuhnya terdapat tujuh puluh luka antara tikaman tombak, tebasan pedang dan tusukan anak panah, aku berkata kepadanya, “Wahai Saad, sesungguhnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk melihat dirimu, apakah kamu termasuk yang hidup atau yang mati?”

Saad menjawab, “Aku termasuk yang mati, sampaikan salamku kepada Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Saad bin ar-Rabi’ berkata kepadamu, ‘Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasa-jasa baikmu kepada kami sebagaimana Dia membalas seorang nabi atas jasa baiknya kepada umatnya.’ Sampaikan salamku kepada kaummu, katakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Saad bin ar-Rabi’ berkata kepada kalian, ‘Tidak ada alasan bagi kalian di sisi Allah jika sampai musuh menyentuh Nabi kalian sementara kelopak mata kalian masih berkedip.” Lalu arwahnya meninggalkan jasadnya saat itu juga.

Bertolak dari hadits, “Seseorang bersama orang yang dia cintai.” Sekali pun kita tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan, namun kita bisa bersama mereka dengan menyinta Rasulullah dan menyintai orang-orang yang menyintai Rasulullah. Wallahu a’lam.