KUBURANBanyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa tabarruk dengan makam Nabi adalah perkara yang tidak disyariatkan, merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dan suatu ibadah yang tidak memiliki dasar yang benar sama sekali. Sehingga perbuatan mencari/ngalap berkah dengan makam Nabi tidak boleh dilakukan, demikian juga dengan makam-makam Nabi yang lainnya.
Beberapa dalil tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa hal:

Pertama, Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an tidak dijumpai adanya dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mencari berkah dengan makam Nabi dengan cara apapun. Bahkan Allah berfirman :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ

“Wahai ahli kitab! Janganlah kamu melampui batas dalam agamamu.” (QS. An-Nisa: 171)

Dalam ayat ini Allah melarang para ahli kitab, yaitu orang-orang yahudi maupun nashrani dari sikap berlebih-lebihan dalam agamanya. Perintah ini tidak hanya terbatas untuk para ahli kitab dari kalangan yahudi maupun nashrani, akan tetapi ia juga menunjukkan larangan bagi umat Nabi Muhammad dari sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan agamanya.

Menjalankan suatu amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah merupakan perbuatan berlebih-lebihan dalam menjalankan agama, seperti mencari/ngalap berkah dengan makam Nabi. Karena perkara ini tidak ada perintah dari Rasulullah, demikian juga tidak ada contohnya dari para sahabat Nabi.

Hal ini dipertegas lagi oleh sabda Nabi:

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian bersikap berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana sikap berlebih-lebihan yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani kepada Nabi Isya, akan tetapi saya hanyalah hamba-Nya, makai katakanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”(HR. Bukhari no. 3445)

Seorang ahli hikmah juga mengatakan:

وَلَا تَغْلُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَمْرِ وَاقْتَصِدْ … كِلَا طَرَفَيْ قَصْدِ الْأُمُورِ ذَمِيمُ

“Janganlah kalian melampaui batas dalam suatu perkara, bersikap adillah di antara dua sisi, condong dalam dalam suatu perkara adalah tercela.” (Adhwa-ul Bayan, 1/323)

Kedua, as-Sunnah

Adapun di dalam sunnah, ada beberapa hadits yang menunjukkan secara tegas bahwa Rasulullah melarang umatnya dari menjadikan makam beliau sebagai ied (hari raya) atau sesuatu yang disembah. Jika hal ini sangat dilarang oleh beliau, maka perkara-perkara yang bisa mengarahkan kepada terjadinya perbuatan itu, hukumnya juga dilarang. Karena hal-hal yang menjadikan terciptanya suatu perbuatan haram, maka perkara tersebut hukumnya menjadi haram.

Perbuatan menjadikan makam sebagai tempat ied, menjadi tempat ibadah, merupakan kebiasaan orang-orang yahudi dan nashrani yang kerap berlebih-lebihan dalam agamanya. Sikap mereka sangat dilarang oleh Allah sebagaimana yang termaktub di dalam al-Qur’an dan kita juga dilarang dari menyerupai orang-orang yahudi maupun nashrani.

Di antara hadits-hadits yang secara jelas melarang kita untuk mengagungkan makam Nabi ialah:

1. Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

لَا تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. janganlah kalian menjadikan makamku sebagai ied (hari raya). Bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”(HR. Abu Dawud, no 2042)

Maksud dari sabda beliau, “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan,” yaitu janganlah kalian mengosongkannya dari shalat, berdoa, dan bacaan al-Qur’an di dalamnya, sehingga ia menjadi seperti kuburan. lalu, beliau memerintahkan agar bersungguh-sungguh dalam beribadah di rumah, dan beliau melarang melakukan ibadah di sisi kuburan, kebalikan dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dari kalangan nashrani dan orang-orang yang serupa dengan mereka.” (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, 2/657)

Sedangkan sabda beliau, “Janganlah kalian menjadikan makamku sebagai ied (hari raya),” ditafsirkan oleh hadits yang diriwayatkan dari seorang tabi’in yang paling utama, yang berasal dari keluarga Rasulullah, yaitu Ali bin al-Husain, ketika ia melarang seorang laki-laki yang berdo’a dengan sungguh-sungguh di sisi makam Rasulullah, dengan dalil hadits ini, yang diriwayatkan melalui jalur dari kakeknya, Ali bin Abi Thalib. Maka jelaslah bahwa tujuan seseorang untuk berdo’a dan semacamnya adalah menjadikannya sebagai ied (hari raya). (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, 2/659)

Jika ied dijadikan sebagai nama bagi sebuah tempat, maka ia adalah tempat yang dijadikan tujuan berkumpul dan mendatanginya untuk beribadah di sisinya atau untuk tujuan selain ibadah, sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, dan Arafah, yang dijadikan oleh Allah sebagai ied, yaitu tempat manusia berkumpul dan mengunjunginya untuk berdo’a, berdzikir, dan beribadah. Dahulu orang-orang musyrik memiliki beberapa tempat yang sering mereka kunjungi untuk berkumpul di sisinya, namun ketika islam datang, semua itu dihapus olehnya. (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, 2/660)

Kemudian beliau menyertakan larangan menjadikan makam beliau sebagai ied dengan sabda beliau, “Bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian akan samai kepadaku di mana pun kalian berada.” Dengan sabdanya, beliau mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam kalian yang sampai kepadaku itu memang terjadi, bersamaan dengan kedekatan kalian dari makamku dan jauhnya kalian darinya, sehingga kalian tidak perlu menjadikannya sebagai ied. (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, 2/657)

2. Dari Atha bin Yasar bahwa Rasulullah bersabda:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ, اِشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اِتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنِْبيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan makamku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka terhadap kaum yang menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.”(Al-Muwaththa’: 1/172)

3. Dari Aisyah dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ لَوْلَا ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَوْ خُشِيَ أَنَّ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا

“Rasulullah bersabda ketika sakit yang membuatnya tidak dapat berdiri, “Allah melaknat orang-orang yahudi dan nashrani, mereka menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” Aisyah berkata, “Seandainya tidak khawatir terhadap hal itu, niscaya makam beliau dibuat menonjol (tanahnya), hanya saja beliau khawatir atau dikhawatirkan jika makam beliau itu dijadikan sebagai masjid.” (HR. Bukhari no 1390)

Menjadikan kuburan sebagai masjid mengandung dua pengertian, yaitu di atasnya dibangun sebuah masjid atau melakukan shalat di sisinya tanpa adanya bangunan, dan inilah yang ditakutkan oleh beliau, serta menjadi kekhawatiran para sahabat ketika mereka menguburkan beliau dalam keadaan menonjol tanah kuburannya. Mereka mengkhawatirkan jika dilakukan shalat di sisi makamnya, lalu makam beliau dijadikan sebagai masjid. (Majmu’ Fatawa, 27/160)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Di antara karunia terbesar yang Allah berikan kepada Rasul-Nya dan umatnya serta sebagai bentuk pengabulan atas do’a beliau adalah beliau di makamkan di dalam rumah beliau yang berada di sisi masjid beliau. Sehingga tidak seorang pun yang kuasa untuk sampai ke makam beliau kecuali ke masjid beliau. Sedangkan ibadah yang disyariatkan di dalam masjid itu sudah diketahui. Berbeda seandainya makam beliau terpisah dari masjid,..” hingga Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kebanyakan manusia ingin menjadikan makam beliau sebagai berhala dan berkeyakinan bahwa hal itu merupakan penghormatan bagi beliau –sebagaimana mereka menginginkannya dan menyakininya terhadap makam selain beliau- maka mereka tidak dapat melakukan hal itu.” (ar-Radd Ala Al-Akhna-i, 102-103)

Ketiga, para ulama salafush shalih dari kalangan sahabat dan orang-orang yang setelah mereka tidak pernah melakukan pencarian berkah dengan makam beliau.

Tidak pernah disebutkan dari ketiga generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in ataupun tabi’ut tabi’in, serta para imam kaum muslimin setelah mereka, yang mencari berkah dengan makam Rasulullah atau mereka memerintahkan hal itu, justru mereka melarangnya. (Iqtidha Ash-Shirath al-Mustaqim, 2/656)

Ketika kamar Nabi terpisah dari masjid hingga masa al-Walid bin Abdul Malik, tidak seorang sahabat dan tabi’in pun yang masuk ke dalamnya, tidak untuk melakukan shalat di dalamnya, tidak untuk mengusap makam beliau, dan tidak juga dalam rangka berdoa. (Majmu’ Fatawa, 27/190)

Bahkan mereka telah membuat tabir bagi makam Nabi di dalam kamar dan mencegah orang darinya sedapat mungkin. Tatkala masjid Nabawi diperluas, kamar itu dibentuk menjadi segitiga sehingga tidak memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan shalat menghadap ke arah makam beliau bersamaan dengan menghadap ke kiblat. (Fathul Baari, 3/200)

Keempat, ziarah kubur tidak dimaksudkan untuk mencari keberkahan dengan mayit, meminta sesuatu padanya, meminta syafaat darinya, berdo’a di sisinya, mengusap kuburnya, dan semacamnya.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan ziarah dalam pandangan islam adalah sebagaimana yang dijelaskan, yaitu menyampaikan salam kepada mayit, mendoakannya, memohonkan ampunan baginya, dan mengingatkan akan kematian.

Adapun ziarah yang dilakukan oleh Nabi dan beliau syariatkan bagi umat beliau dengan sabda dan perbuatannya tidaklah mengandung permohonan suatu kebutuhan dari mayit dan tidak pula dimaksudkan untuk memuliakannya, beribadah kepadanya, bertawasul kepadanya, atau berdoa kepadanya, akan tetapi tujuannya dari ziarah beliau adalah memberikan manfaat bagi mayit, seperti menshalati jenazahnya. (ar-Radd Ala Al-Akhna-i, 79)

Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan secara jelas bahwa ngalap/mencari berkah dengan makam Rasulullah hukumnya dilarang dan perbuatan tersebut merupakan sikap berlebih-lebihan terhadap Rasulullah, dan bisa menjadi wasilah yang mengantarkan para pelakunya untuk terjatuh dalam kesyirikan yang nyata. Wallahu a’lam

Diringkas dari buku: Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, penerjemah Ahmad Yunus, Msi, cetakan petama April 2009 M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, hal 427-432

Oleh : Saed As-Saedy