13. Larangan berdo`a agar dipercepat siksanya di dunia. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik rahimahullah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjenguk seseorang dari kaum Muslimin yang sekarat hingga menjadi seperti anak burung, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu pernah berdo`a (kepada Allah ta’ala) agar ditimpa sesuatu (adzab), atau kamu meminta hal tersebut kepada-Nya?” Orang itu pun menjawab: ‘Benar, aku pernah berdo`a: ‘Ya Allah, apa yang akan Engkau siksakan kepadaku di akhirat nanti, maka percepatlah siksaku itu di dunia’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Mahasuci Allah, kamu tidak akan kuat -atau tidak akan sanggup menanggungnya- tidakkah aku pernah bersabda, ‘Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa api neraka?. Anas berkata, Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berdo`a kepada Allah bagi pemuda tersebut, sehingga Allah ta’ala memberi kesembuhan kepadanya.” (HR. Muslim, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i).

14. Larangan berbuat tahajjur (berdo`a agar kebaikan tercegah dari orang lain).[1] Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  berdiri di dalam shalat, dan kami pun mengikutinya, lalu tiba-tiba seorang Badui berdo`a dalam shalatnya: ‘Ya Allah, kasihanilah diriku dan Muhammad, dan jangan Engkau kasihani seseorang pun bersama kami’. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengucapkan salam, beliau berkata kepada orang Badui tersebut: ‘Sungguh, kamu telah membatasi (rahmat Allah) yang sangat luas itu.” (HR. Imam al-Bukhari, dan yang lainnya).

15. Mendo`akan kembalinya sesuatu yang telah berlalu.[2] Seperti yang disebutkan di hadîts Ummu Habibah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan hadîts ini sangat masyhur.

16. Mensajakkan do`a dengan dipaksakan adalah bentuk pelanggaran.[3] Maksud sajak di sini, adalah mengurut ucapan pada satu bentuk ritme. Upaya pemohon mensajakkan do`a itu bisa mencegah kekhusyu’an dalam berdo`a, dan bertentangan dengan rasa tunduk dan patuh. Oleh karenanya, hal semacam itu dilarang. Adapun sajak yang tidak disengaja dan tidak dibuat-buat oleh pemohon, yaitu yang muncul dari pemohon tanpa disengaja dan dibuat-buat, maka tidaklah mengapa, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa do`a yang wârid, dan karenanya, justeru menjadi sangat indah.

Allah ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-A’raf: 55).

Sebagian Ahli Tafsir berkata, “Melampaui batas di sini artinya adalah berlebih-lebihan dalam sajak.” Dan ini termasuk penafsiran dengan salah satu maknanya.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu di dalam wasiatnya kepada budaknya, Ikrimah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Perhatikanlah sajak dari do`a-do`a yang ada, lalu (kalau ada) maka jauhilah. Sebab aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya sangat menjauhi hal tersebut.” (Hadîts diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, (11/138); dan beliau menerjemahkannya dengan membuat: ‘Bab bersajak dalam do`a yang dimakruhkan)’.

Ibnu Wahb di dalam kitabnya telah meriwayatkan dari seorang ulama tabi’in terkemuka dan merupakan salah satu dari ketujuh ahli fikih kesohor, yaitu Urwah bin Zubair, bahwasanya jika disodorkan kepadanya suatu do`a yang ada unsur sajaknya yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau para sahabatnya, beliau berkata, “Mereka telah berbohong, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  beserta para sahabatnya bukanlah orang-orang yang suka bersajak’. Hal ini dituturkan oleh ath-Tharthusyi di dalam kitabnya ‘al-Hawâdits wa al-Bida’, hal. 157.

Larangan terhadap do`a yang disajakkan ini juga menjadi pendorong bagi al-Hafizh Abul Qasim ath-Thabrani rahimahullah (w. 360) untuk menulis kitab (yang diberi judul) “ad-Du’â. Beliau berkata, “Ini adalah kitab yang saya karang sebagai kumpulan do`a-do`a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang mendorong saya melakukan ini, adalah saya melihat banyak orang telah berpegang kepada do`a-do`a yang disa-jakkan dan juga kepada do`a-do`a yang dibuat berdasarkan hitungan hari, yaitu do`a-do`a yang dikarang oleh para penulis yang tidak bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun berasal dari salah seorang sahabatnya, ataupun dari seorang tabi`in. Padahal telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau sangat tidak suka bersajak atau berlebihan dalam berdo`a.”

17. Larangan mengangkat pandangan ke langit sewaktu berdo`a dalam shalat.[4]

Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

لَيَنْـتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَـنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

Hendaklah orang-orang itu berhenti mengarahkan pandangan mata mereka ke langit ketika berdo`a dalam shalat atau mata mereka akan dicungkil. (HR. Muslim, (1/321).

18. Larangan berdo`a dengan membalik kedua telapak tangan.

19. Larangan berdo`a dengan berisyarat dengan dua jari tangan. Hadîts-hadîts yang berkaitan dengan kedua larangan ini –insya Allah– akan dibahas pada bab: “Pelurusan etika pemohon dalam berdo`a’.

20. Larangan meninggikan dan mengeraskan suara sewaktu ber-do`a. Allah ta’ala berfirman,

وَلاَتَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَتُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً

“…Dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (al-Isra’: 110). Kata ‘bi shalâtika’ di sini, berarti: dalam do`amu. Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan do`a.” (Muttafaq ‘Alaih).

Allah ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’raf: 55).

Sebagian ulama tafsir berkata, “(yang melampaui batas di dalam ayat ini) adalah orang-orang yang berlebihan dengan meninggikan suara mereka dalam do`a.”

Ibnu Juraij di dalam tafsirnya, berkata, “Di antara bentuk pe-langgaran, adalah meninggikan suara, panggilan, do`a dan teriakan. Padahal, mereka diperintahkan untuk tunduk dan merendahkan diri.”

Dalam kaitannya dengan dzikir, Allah ta’ala telah berfirman,

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’raf: 205).

Sedangkan larangan yang bersumber dari atsar, di antaranya:

21. Larangan untuk mengucapkan kalimat: “Ya Allah, Rabb al-Qur’an.” Telah diriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, “Suatu hari, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berada pada acara pemakaman. Namun, pada saat si mayit diletakkan di dalam liang lahatnya, tiba-tiba seorang pemuda berdiri sambil berkata, “Ya Allah, Rabb al-Qur’an, lapangkanlah liangnya. Ya Allah, Rabb al-Qur’an, ampunilah dosanya.” Lalu, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpaling kepadanya, seraya berkata, “Diamlah, al-Qur’an adalah kalam Allah, dan bukan yang dimiliki. Dari-Nya dia berasal dan kepada-Nyalah dia akan kembali.” (HR. Baihaqi dan Dhayya dengan sanad dha’if).

22. Larangan berdo`a secara berjama’ah.[5]

Telah diriwayatkan dari Abu Utsman an-Nahdi, dia berkata, “Seorang pejabat pemerintahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya, bahwasanya di tempatnya terdapat kaum yang berkumpul, mereka mendo`akan kaum muslimin dan sang amir (gubernur). Kemudian Umar menulis surat kepadanya: “Bawalah mereka menghadap kepadaku bersamamu.” Lalu dia pun menghadap, dan Umar berkata kepada penjaga pintu: “Sediakanlah pecutan.” Ketika mereka telah menghadap Umar, beliau memukul gubernur mereka dengan pecut tersebut.” (HR. Ibnu Wadhhah di dalam “al-Bida’ wa an-Nahy ‘Anhâ, hal. 19; dan Ibnu Abi Syaibah di dalam “al-Mushannif’, (8/558), hadîts no. 6242).

23. Larangan berdo`a setelah mereka berkumpul membaca al-Qur’an. Berkaitan dengan orang-orang yang berkumpul untuk membaca al-Qur’an, Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak masalah bila mereka berkumpul, tapi makruh hukumnya bagi mereka untuk berdo`a setelah itu.” Perkataan ini dituturkan oleh ath-Tharthusi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’” hal. 63.

24. Larangan berdiri untuk berdo`a sewaktu masuk dan keluar masjid. Imam Malik rahimahullah sangat mengingkari perbuatan ini, sebagaima-na disebutkan di dalam “al-Hawâdits wa al-Bida’ karya ath-Tharthusyi, hal. 64.

Semua ini adalah sedikit contoh dari sekian atsar, dan yang tidak disebutkan sangat banyak lagi. Dan ketika manusia semakin jauh dari masa generasi pertama, maka semakin lebar ruang lingkup tashhîh (koreksi) ini, mengingat begitu banyaknya hal-hal baru yang dimunculkan dalam agama. Wallahu a’lam.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul HaqJakarta]

 

 


[1]  Silâh al-Mukmin, hal. 148; al-Azhiyah, hal. 102; dan al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, (20/265).

[2]  Silâh al-Mukmin, hal 16.

[3]  Fathul Bârî, (11/138-139, 149, 208); dan ad-Du’â`, karya al-‘Arûsî, (1/177, 180-182, 2/580).

[4]  Lihat al-Fatâwâ, (6/577); dan Fahras al-Fatâwâ, (37/64).

[5]  Ad-Du’â`, karya al-Arûsi, 92/582, 666-672).