Termasuk bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membiasakan diri untuk berdzikir, yang mana dzikirnya beliau itu mencakup “permohonan[2] dan berdo`a”, sehingga beliau berdzikir kepada Allah ta’ala pada setiap waktu. Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga adalah mengajarkan do`a kepada umatnya, sebagaimana terdapat di dalam hadîts yang menyatakan bahwasanya beliau mengajarkan kepada para sahabatnya do`a istikharah seperti beliau mengajari mereka al-Qur’an. (Hadits riwayat Imam al-Bukhari). Juga, sebagaimana terdapat hadîts yang menjelaskan bahwasanya beliau mengajarkan kepada para sahabatnya do`a ta’awwudz (memohon perlindungan) dari empat perkara berikut:

اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّم.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab neraka Jahannam…dst.” (HR Muslim) seperti beliau mengajari mereka satusurat al-Qur’an.

Di samping itu, juga terdapat beberapa ayat al-Qur’an dan hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menganjurkan agar menjaga ibadah ini (do`a) dari kesalahan dan pelanggaran. Maka, terdapat larangan meninggalkan do`a secara mutlak, mengabaikan do`a sewaktu hidup senang, serta larangan bermalas-malasan untuk memohon dan meminta. Jika seorang Muslim berdo`a kepada Tuhannya, maka dia dilarang melakukan bentuk pelanggaran. Maka terdapat larangan untuk melakukan pelanggaran di dalam berdo`a secara mutlak. Di antaranya adalah berdo`a kepada selain Allah ta’ala, mendo`akan buruk terhadap diri sendiri, memohon disegerakannya siksa di dunia, mendo`akan jelek terhadap orang lain secara zhalim, serta larangan mengomentari do`a, berbuat tahajjur (berdo`a agar kebaikan tercegah dari orang lain), dan mengeraskan suara sewaktu berdo`a.

Juga, terdapat larangan membuat kesalahan di dalam lafazh do`a dengan menjauhi redaksi do`a yang wârid (bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), juga larangan merinci (permintaan) di dalam do`a, larangan tergesa-gesa berdo`a sebelum terlebih dulu memulainya dengan pujian dan tahmîd, larangan minta supaya ditunda pengabulan do`anya dan larangan mengeluhkan do`anya, larangan mengarahkan pandangan ke atas ketika berdo`a saat shalat, larangan berdo`a dengan kedua telapak tangan terbalik, serta larangan berisyarat dengan kedua jari dalam berdo`a.[3]

Di antara tugas-tugas kaum Muslimin untuk menjaga agama ini, adalah: tindakan para sahabat radhiyallahu ‘anhum beserta orang-orang setelah mereka adalah melarang sikap berlebih-lebihan dalam dzikir dan do`a pada beberapa kejadian yang sukar dihitung; di antaranya: larangan berkumpul untuk do`a bersama, bertasbîh dengan batu keri-kil, serta berdiri untuk berdo`a, dan lain sebagainya, yang semakin menambah urgensi kitab ini, yang menjelaskan bahwa bahasan ini bukan merupakan hal baru. Dan bahwasanya termasuk nasihat bagi kaum Muslimin dan menjaga agama ini adalah menunaikan kewajiban mengoreksi dan mengingatkan bentuk-bentuk kesalahan dan pelanggaran yang menyertai ibadah (dzikir dan do`a) yang agung ini. Sehingga, kaum Muslimin dapat melaksanakan ibadah ini dalam keadaan bersih dari campuran hal-hal baru dan bid’ah.

Selanjutnya, tiba pada pemaparan dalil-dalil koreksi (pelurusan) yang terdiri dari dalil al-Qur’an, as-Sunnah (Hadits) dan atsar yang bersumber dari para ulama as-salafus shaleh:

  1. Larangan meninggalkan do`a secara mutlak. Allah ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ {60}

Dan Tuhanmu berfirman, Berdo’alah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (Ghafir: 60).

2. Larangan meninggalkan do`a sewaktu hidup lapang dan makmur[4]. Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا مَسَّ اْلإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَآ إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ {12}

 “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (Yunus: 12).

Dan senada dengannya adalah firman Allah ta’ala, “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (al-Isra’’: 67).

Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (Luqman: 32).

Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (per-tolongan) kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Dia memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang dia pernah berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: Bersenang-senanglah dengan kekufuranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.(az-Zumar: 8).

Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata, Sesungguh-nya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku.Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (az-Zumar: 49).

Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.” (Fushshilat: 51). Dan ini berbeda dengan petunjuk para nabi ‘alaihimus salam Mereka seperti telah difirmankan oleh Allah ta’ala,

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَباًوَكَانُوا لَنَاخَاشِعِينَ {90}

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (al-Anbiya’: 90). Kata ‘’yad’ûnanâ’ dalam ayat ini berarti: “mereka selalu menyembah kami, karena berharap rahmat Allah ta’ala dan merasa cemas dari adzab-Nya.”

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]

 

 


[1]  Silâh al-Mukmin, hal. 243-252; dan Mu’jam al-Manâhî al-Lafdhiyyah: Pembahasan keempat dari Mukadimah.

[2]  Lihat Syifâ` al-‘Alîl, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 124. Dalam menafsiri kata ‘mûza’ di sini, beliau berkata, Artinya ‘mûla’’, berdasarkan riwayat hadîts bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat gemar meminta, seolah beliau terhalang dan tercegah kecuali darinya.

[3]  Lihat Mabhats Tashhîh al-Haihât fî ad-Du’â`.

[4]  Ad-Du’â`, karya al-‘Arusi, (1/195-197).