Ilmu Mukhtalaful Hadits memiliki faidah yang besar yang nampak pada hal-hal berikut:

1. Sesungguhnya memahami hadits Nabi yang mulia dengan pemahaman yang selamat (benar), dan Istinbath (penyimpulan/pengambilan) hukum-hukum syari’at dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Istinbath yang benar tidak akan tercapai melainkan dengan mengetahui Mukhtalaful Hadits. Dan tidak ada seorang ulama pun melainkan dia sangat memerlukannya dan butuh pengetahuan tentangnya. Oleh sebab itu bermacam-macam ungkapan-ungkapan para ulama dalam menjelaskan kedudukanMukhtalaful Hadits dan keagungan posisinya.

Di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah:”Dan ini adalah di antara sesuatu yang paling lembut/samar yang mungkin menghalangi para ulama dari memadukan nash-nash (dalil-dalil), dan ia adalah yang paling tersembunyi dan paling sukar.” (Al-Ihkam Fii Ushulil Ahkaam 2/163)

Abu Zakariya atau yang masyhur dengan julukan Imam an-Nawawi rahimahullahberkata:”Ini adalah satu bidang ilmu yang termasuk bidang yang terpenting, yang menuntut seluruh ulama dari tiap-tiap golongan untuk mengetahuinya” (Tadribur Rawi 2/175) Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata:”Sesungguhnya kontradiksi antar pendalilan-pendalilan sebuah pendapat, dan tarjih (penguatan) sebagiannya atas sebagian yang lain adalah sebuah lautan yang luas (maksudnya ilmu yang agung dan luas)”(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiah 20/246).

2. Bahwasanya banyak para ulama yang memberikan perhatian terhadap Mukhtalaful Hadits dengan perhatian yang cukup besar. Di antara mereka adalah imamnya para Imam yaitu Ibnu Khuzaimah rahimahullah. Dan beliau termasuk ulama yang paling bagus ucapannya dalam masalah ini, sampai-sampai beliau berkata tentang dirinya:


(لا أعرف حديثين متضادين، فمن كان عنده فليأتني به لأؤلف بينهما)(تدريب الراوي 2/176)

”Aku tidak mengetahui (adanya) dua hadits yang bertentangan (kontradiksi). Maka barang siapa yang memilikinya (pengetahuan tentang adanya dua hadits yang bertentangan), maka datanglah kepadaku, akan aku padukan keduanya.” (Tadribur Rawi 2/162)

Dan di antara para ulama ada yang menyusunnya dalam bentuk kitab (buku), seperti Imam Muhamad bin Idris (Imam asy-Syafi’i) dalam kitabnya ”Ikhtilaaful Hadits”, yang di dalamnya disebutkan sekilas tentang hadits-hadits yang kontradiksi, dan bukan maksud beliau mengumpulkan semuanya. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menulis (sebuah kitab) dalam bidang tersebut (Mukhtalahul Hadits), dan beliau tidak bermaksud untuk mengumpulkan seluruhnya. Akan tetapi beliau hanya menyebutkan sebagiannya, yang dengannya beliau memberitahukan tentang metodenya.” (Tadribur Rawi 2/196)

Dan di antara ulama yang menulis dalam bidang ini (selain Imam asy-Syafi’i) adalah Abu Bakar bin Muslim bin Qutaibah ad-Diinawari rahimahullah (lahir tahun 213 dan wafat tahun 270 H) dalam kitabnya “Ta’wil Mukhtalafil Hadits”, dan tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk membantah kalangan yang mengaku Islam yang mengklaim bahwa di dalam hadits-hadits Nabi terdapat kontradiksi, pertentangan dan makna-makna yang mustahil. (Ta’wil Mukhtalafil Hadits:145)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Kemudian Ibnu Qutaibah menulis dalam bidang tersebut, lalu beliau mendatangkan banyak hal yang bagus dan kurang bagus, karena selainnya lebih kuat dan lebih utama dan beliau meninggalkan sebagian besar hadits yang kontradiksi.” (Tadribur Rawi 2/196)

Dan di antara mereka juga ada Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawirahimahullah (wafat tahun 321) dalam kitabnya “Musykilatul Atsar” dan ia adalah kitab yang paling besar yang ditulis dalam masalah ini. Penulis telah menjelaskan pada awal-awal kitabnya tentang tujuan beliau menulis kitab ini dengan mengatakan:”Dan sungguh aku telah memperhatikan atsar-atsar (hadits) yang diriwayatkan dari Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang maqbul (bisa diterima) yang dinukil oleh orang-orang (para perawi) yang memiliki kredibilitas, amanah dan bagus dalam menyampaikan hadits. Maka aku dapati di dalamnya banyak hal yang pengetahuannya terluput dari kebanyakan manusia (tidak diketahui oleh mereka). Lalu condonglah hatiku untuk mengkajinya dan menjelaskan apa yang aku mampu, berupa menjelaskan hadits-hadits yang rumit, menyimpulkan hukum-hukum yang ada di dalamnya dan menolak kemustahilan darinya. Dan aku menjadikan hal-hal tersebut dalam bab-bab, yang aku sebutkan pada masing-masing bab apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan kepadaku dari hal tersebut, sehingga aku mampu melakukanya. Demikian juga dengan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas perbuatan tersebut. Dan hanya Allahlah tempat meminta taufiq, dan pertolongan, karena Dia Mahapemurah, dan Dialah sandaranku dan Dialah sebaik-baik sandaran.”

3. Sesungguhnya mengkaji metode-metode para ulama dalam menolak tuduhan adanya kontradiksi dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menumbuhkan keterampilan berinteraksi dengan nash-nash (dalil-dalil) Syar’i pada diri para penuntut ilmu. Dan juga mendidik mereka (para penutut ilmu) untuk men-sakral-kan, mengagungkan dan memuliakan wahyu, baik wahyu berbentuk Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga ia (penuntut ilmu) tidak menolak sedikitpun darinya (dari wahyu tersebut), namun ia berusaha keras untuk menggabungkan keduanya karena ia tahu bahwa nash-nash wahyu tidak mungkin saling kontradiksi.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:”Maka semoga shalawat dan salam Allah terlimpahkan kepada manusia yang ucapan-ucapannya saling membenarkan satu sama lain, dan menguatkan satu sama lain (maksudnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Maka adanya kontradiksi, kerumitan dan kesamaran hanyalah terjadi pada pemahaman-pemahaman manusia, bukan pada ucapan-ucapan yang keluar dari kedua bibir. Dan wajib bagi setiap mukmin untuk memasrahkan apa yang membingungkannya kepada Dzat Yang Mahabenar (yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan (hendaknya) ia mengetahui bahwa di atas pemilik ilmu masih ada yang lebih berilmu” (Miftah Daaris Sa’adah: 3/383)

4. Sesungguhnya kedudukan penting yang diperoleh oleh Mukhtalaful Hadits adalah berasal dari pentingnya hal yang terkait dengannya, yaitu fiqih hadits. Dan perhatian para imam Ahli hadits dengan masalah ini telah sampai kepada tingkatan yang tinggi, yang mana mereka menganggapnya sebagai separuh ilmu. Imam ‘Ali bin al-Madinirahimahullah berkata:”Mempelajari makna-makna hadits adalah separuh ilmu, dan pengetahuan terhadap para perawi adalah separuh ilmu.” (Manhajut Taufiq wat Tarjih Baina Mukhtalafil Hadits: 59)

(Sumber: مقدِّمات في علم مختلف الحديث oleh ‘Ali al-‘Uwaisyiz dari http://almoslim.net/node/83908. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)