prahuDi antara faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam di atas, bahwa seluruh rasul dari mulai Nabi Nuh ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sepakat menyerukan tauhid yang murni dan melarang kemusyrikan, dimana seruan yang pertama kali Nabi Nuh ‘alaihissalam serta para rasul lainnya serukan kepada kaumnya adalah: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah (yang hak) bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59). Mereka mengulangi seruan yang pokok tersebut dengan berbagai cara.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan etika dakwah dan kesempurnaannya. Nabi Nuh ‘alaihissalam menyeru kaumnya siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, dalam segala situasi dan kondisi dengan suatu harapan akan mendapat kesuksesan dalam berdakwah. Ia memikat hati mereka dengan sejumlah pahala yang kontan di dunia, diselamatkan dari siksaan dan mendapatkan ni’mat berupa harta, keturunan dan rezki yang berlimpah jika mereka beriman dan memperoleh balasan pahala di akhirat, kemudian ia mengingatkan mereka akan balasan yang sebaliknya jika mereka kufur. Nabi Nuh ‘alaihissalam menunaikannya dengan penuh kesabaran, sebagaimana dilakukan para rasul yang lainnya, menggunakan tutur kata yang lemah-lembut dan penuh kasih sayang, menggunakan gaya bahasa yang menarik hati mereka supaya tercapai tujuan yang dimaksud dan mengemukakan ayat-ayat dan dalil-dalil.

Faidah lainnya, bahwa kesamaran yang dituduhkan musuh-musuh para rasul atas kerasulan mereka sebagai dalil yang menunjukkan batilnya perkataan para pendusta tersebut.

Sejumlah tuduhan yang dilontarkan oleh mereka kepada para rasul, padahal mereka tidak memiliki alasan yang kuat untuk melontarkan tuduhan tersebut menunjukan tidak adanya ilmu dan kebenaran menurut semua orang yang berakal.
Adapun perkataan yang dilontarkan para pemuka kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang kafir adalah: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27). Simaklah apa yang dikatakan oleh mereka, niscaya anda akan menemukan beberapa penyimpangan yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang batil dan angkuh terhadap kebenaran.

Sedang berkenaan dengan perkataan mereka tersebut di atas, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27).

Apakah keberadaan sesuatu kebenaran yang disampaikan seseorang harus dipandang sebagai sesuatu yang meragukan yang menunjukkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu kebenaran?

Kesimpulan dari perkataan mereka tersebut, bahwa semua perkataan yang disampaikan seseorang dari manapun sumbernya harus dianggap sebagai suatu kebatilan. Itulah tuduhan yang telah dilontarkan mereka terhadap semua ilmu manusia yang bermanfaat yang bersumber dari seseorang. Perlu diketahui, bahwa perkataan mereka yang mengganggap batil kepada semua ilmu. Padahal tidaklah di hadapan manusia terdapat sejumlah ilmu, kecuali sebagian dari mereka dapat mengambil manfaat dari sebagian yang lainnya dengan ilmu yang berbeda. Sedang ilmu yang paling agung, paling benar dan paling bermanfaat adalah ilmu yang didapatkan manusia dari para rasul, karena ilmu mereka bersumber dari wahyu Ilahi.

Juga perkataan mereka: “… dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27). Yakni kami dan kamu sama-sama manusia.

Para rasul telah menjawab perkataan tersebut, seraya berkata, “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberikan karunia kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11).

Allah telah memberikan karunia dan keistimewaan kepada para rasul dengan wahyu dan kerasulan, sehingga keingkaran suatu kaum atas para rasul merupakan kebodohan yang besar dan tuduhan yang keji terhadap ni’mat Allah, karena rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya telah menetapkan para rasul dari kalangan manusia, sehingga memungkinkan bagi para hamba-Nya untuk mempelajari ilmu dari mereka, memudahkan ni’mat itu bagi mereka dan Allah pun memudahkan mereka dalam menempuh jalannya. Sedangkan para pendusta telah mengingkari ni’mat yang pokok tersebut serta jalan yang lurus yang bermanfaat yang disampaikan para rasul kepada mereka.

Juga perkataan mereka: “…dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27).

Perlu diketahui oleh setiap orang yang berakal, bahwa kebenaran itu harus diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh dirinya dan bukan oleh orang yang diikutinya. Perkataan ini dikatakan para pendusta semata-mata keluar dari kesombongan dan kesesatan. Sedang kesombongan ialah penghalang terbesar bagi seseorang untuk mengetahui dan meyakini kebenaran yang disampaikan oleh orang yang diikutinya.

Juga perkataan mereka: “… orang-orang yang hina dina diantara kami.” (Hud: 27).

Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang fakir, maka sesungguhnya kefakiran bukanlah merupakan suatu aib.

Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang hina dalam perilaku, sungguh hal itu merupakan suatu kebohongan yang nyata. Karena sesungguhnya orang-orang yang hina dalam perilaku adalah orang-orang yang melontarkan perkataan itu. Apakah beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, taat kepada Allah dan para rasul-Nya, tunduk kepada kebenaran dan jalan yang lurus yang mendatangkan keselamatan semuanya termasuk perbuatan yang tercela?

Apakah sifat-sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang hina serta para pelakunya dianggap sebagai orang-orang yang hina, atau justru yang hina adalah orang yang berprilaku sebaliknya, yaitu orang-orang yang meninggalkan kewajiban bertauhid kepada Allah, mensyukuri ni’mat-Nya, mengesakan-Nya dan memenuhi hati mereka dengan kesombongan terhadap kebenaran dan terhadap mahluk? Demi Allah, bahwa perilaku itulah yang sesungguhnya paling hina di antara perilaku-perilaku yang hina, akan tetapi kaum itu benar-benar telah diliputi oleh kesombongan. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji yang tidak akan menyulitkan orang-orang pilihan (para rasul).

Juga perkataan mereka: “…yang lekas percaya saja.” (Hud: 27). Yakni mereka mudah percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh! Mereka tidak bermusyawarah, tidak bersikap hati-hati dan tidak mempertimbangkan terlebih dahulu.

Jika dipastikan, bahwa fenomena tersebut adalah sebuah kenyataan, maka hal itu menjadi dalil sebuah kebenaran.

Karena kebenaran tersebut didukung dengan dalil-dalil, memancarkan cahaya, keagungan, keindahan, kejujuran serta ketentraman, sehingga ia tidak lagi membutuhkan musyawarah dengan siapa pun untuk mengikutinya. Adapun hal yang masih membutuhkan musyawarah adalah hal-hal yang samar yang tidak diketahui kebenaran dan manfaatnya.

Adapun keimanan yang lebih terang daripada sinar matahari serta lebih indah dari segala sesuatu yang indah, maka tidak akan mengabaikannya kecuali orang yang sombong, seperti orang-orang yang lalim dan ingkar tersebut di atas.

Juga perkataan mereka: “… dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27).

Apakah dalam perkataan mereka terkandung kejujuran?

Karena mereka mengabarkan suatu berita yang bersumber dari diri mereka dan perkataan mereka menyiratkan kebencian yang membara dalam lubuk hati mereka; sehingga memungkinkan mereka mengatakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya.

Dalam menyikapi dua buah berita yang kontropersi, maka berita yang benar wajib diterima, terlepas apakah sumbernya adalah orang yang dipandang mulia atau orang yang dipandang hina, karena kebenaran itu haruslah ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi daripada segala sesuatu.

Juga perkataan mereka: “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. 11:27).

Perlu diketahui bahwa perkataan mereka itu semata-mata didasarkan kepada sangkaan, sedang sangkaan adalah sedusta-dustanya perkataan. Kemudian jika mereka berkata, “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”, maka perkataan mereka itu mencakup semua kebatilan yang mereka tuduhkan kepada Nabi Nuh Alais Salam, tetapi atas alasan apakah kamu meyakini bahwa para pengikut Nabi Nuh Alais Salam adalah orang-orang yang dusta. Perkataan mereka itu justeru menjadi dalil dan bukti kebohongan perkataan mereka dengan sendirinya seperti yang anda lihat. Bagaimana perkataan mereka tidak diyakini sebagai kebohongan, sedang para rasul mengimbangi perkataan mereka dengan sejumlah dalil dan bukti yang bermacam-macam yang tidak menimbulkan keraguan bagi siapa pun akan bathil dan bohongnya perkataan para pembohong tersebut.

Faidah lainnya, bahwa di antara keutamaan para nabi dan bukti nyata kebenaran kerasulan mereka ialah keikhlasan mereka yang sempurna kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakan ibadah mereka yang khusus yang terbatas kepada Allah dan ibadah mereka yang umum yang sangat banyak dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi mahluk, seperti: berdakwah dan mendidik masyarakat yang dilaksanakan secara terus-menerus. Mereka memperlihatkan keikhlasan itu dan memperdengarkannya secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada pendengaran kaum mereka, seraya masing-masing dari mereka berkata, “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29).

Karena keutamaan-keutamaan itulah, maka mengikuti para rasul niscaya menyebabkan para pengikut mereka berada dalam keutamaan tersebut. Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya kepada mereka berupa kedudukan yang agung di dunia dan di akhirat yang melebihi keagungan yang dicapai oleh para pencari dunia.

Faidah lainnya, bahwa celaan terhadap niat orang-orang beriman dan apa yang dikaruniakan Allah kepada mereka dari sejumlah karunia-Nya dan bersumpah kepada Allah, bahwa Dia tidak akan mendatangkan karunia-Nya kepada mereka merupakan perkataan warisan musuh-musuh para rasul. Karena itu, Nabi Nuh Alais Salam berkata kepada kaumnya ketika mereka bersumpah serta meminta kepada Allah supaya mencela kaum mukminin: “… dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka.” (Hud: 31).

Faidah lainnya, bahwa wajib memohon pertolongan kepada Allah dan menyebut nama-Nya pada saat berlayar dan berlabuh dan dalam setiap gerak-gerik. Juga wajib memuji Allah serta banyak mengingat-Nya ketika mendapat ni’mat, tanpa kecuali ni’mat diselamatkan dari berbagai kesedihan dan penderitaan sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (Hud: 41). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zhalim.” (Al-Mukminun: 28).

Juga wajib memohon keberkahan ketika menempati rumah yang baru, sebagaimana wajib memohon keberkahan ketika akan bepergian dan melakukan pekerjaan baik lainnya dan memohon keberkahan atas rumah yang sudah lama didiami, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , “Dan berdo’alah: “Ya Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat.” (Al-Mukminun: 29).

Dalam do’a tersebut tercakup dzikir kepada Allah dan permohonan supaya diberi kekuatan ketika bergerak dan diam, dan permohonan supaya keteguhan dalam beriman kepada Allah. Keberkahan Allah niscaya akan turun kepada seseorang dalam segala keadaan dalam tempo waktu sekejap mata.

Faidah lainnya, bahwa ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan menunaikan semua kewajiban yang terkait dengan keimanan merupakan faktor penyebab diperolehnya kebahagiaan duniawi, dikaruniai anak yang banyak, rezki dan kekuatan (kesehatan) badan, meskipun untuk mencapai semuanya itu masih terdapat faktor penyebab lainnya.

Juga ketakwaan merupakan sebab satu-satunya yang tidak ada sebab lainnya dengan sebab itu diperolehnya kebahagiaan akhirat dan selamat dari siksaannya.

Faidah lainnya, bahwa selamat dari siksaan dunia yang bersifat umum dikhususkan bagi orang-orang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut mereka.

Sedangkan siksaan dunia yang bersifat umum dikhususkan bagi orang-orang yang durhaka dan yang turut bersama mereka dari anak-anak dan sejumlah binatang manakala anak-anak dan sejumlah binatang tersebut tidak memiliki kesalahan, karena berbagai bencana yang ditimpakan Allah kepada para pendusta meliputi anak-anak dan sejumlah binatang yang turut bersama mereka.

Adapun berkenaan dengan keterangan yang terdapat dalam sebagian kisah Israiliyat, bahwa ketika Allah berkehendak membinasakan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam atau kaum-kaum yang lainnya, maka Allah memandulkan rahim-rahim, sehingga anak-anak yang masih kecil tidak ikut tertimpa adzab yang ditimpakan kepada mereka.

Keterangan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan menafikan keterangan yang ada yang telah diketahui.

Keterangan tersebut dibantah oleh firman Allah Ta’ala,yang artinya, “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu.” (Al-Anfal: 25).

Sumber: Qishash Al-Anbiyâ’, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi-Maktabah Adhwâ’ As-Salaf.