hammerPada dasarnya perpisahan suami istri kembali kepada suami lewat jalur talak, atau istri lewat jalur khulu’, namun ada kondisi-kondisi yang dikembalikan kepada keputusan hakim, bila hakim memisahkan maka perpisahan ini disebut dengan fasakh.

Fasakh Karena Cacat

Yaitu cacat yang menghalangi kenikmatan suami istri, ia terbagi menjadi dua: Pertama, cacat yang menghalangi hubungan suami istri. Kedua, cacat dalam bentuk penyakit menular yang berbahaya.

Syarat fasakh karena cacat ada dua: Pertama, penuntut fasakh tidak mengetahui cacat sebelum akad. Kedua, sesudah penuntut fasakh mengetahui cacat, dia tidak menerima. Bila sudah mengetahui sebelum akad atau menerima sesudah mengetahui maka tidak ada hak menuntut.

Cacat pada lelaki adalah ketidakmampuan melakukan hubungan karena impoten atau kelaminnya terpotong atau dikebiri. Para fuqaha berkata, “Suami impoten diberi tenggat waktu setahun untuk berobat.”

Cacat pada wanita adalah tertutupnya kelamin oleh sesuatu sehingga menghalangi hubungan suami istri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan istihadhah termasuk cacat yang menetapkan hak fasakh, hanya saja istri patut diberi waktu untuk berobat.

Cacat pada keduanya seperti gila, kusta dan penyakit-penyakit lainnya yang menular dan tidak menular, yang menghalangi kebahagiaan rumah tangga.

Ibnul Qayyim berkata, “Qiyas menetapkan bahwa semua cacat yang membuat suami atau istri enggan kepada pasangannya, keberadaannya tidak mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu mawaddah wa rahmah, menetapkan hak fasakh….”

Fasakh Karena Gagal Nafkah

Nafkah adalah hak istri, bila suami tidak memberikannya karena tidak memiliki atau karena tidak mau, maka istri berhak menuntut perpisahan. Ini adalah madzhab jumhur ulama, berdasarkan firman Allah,

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ [البقرة : 229]

Maka peganglah dengan baik atau lepaskan dengan baik.” Al-Baqarah: 229. Memegang tanpa nafkah bukan memegang yang baik, maka melepasnya adalah keharusan.

Hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang menyisakan kadar cukup, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, mulailah dengan menafkahi orang yang menjadi tanggunganmu.” Abu Hurairah berkata, “Istri berkata, ‘Berilah aku makan atau talaklah aku’.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Saya berkata, bila suami tidak mau menafkahi padahal dia sanggup menafkahi atau tidak mau berusaha padahal dia sanggup berusaha, tetapi bila suami sudah berusaha sebatas kesanggupannya dan Allah belum memberinya jalan, maka hendaknya istri bersabar.

Fasakh Karena Mudharat

Madzhab Maliki memberi hak menuntut fasakh kepada istri manakala suami menimpakan mudharat terhadapnya, baik bersifat materiil maupun moril. Yang pertama seperti memukul, menyiramnya dengan air panas, merampas hartanya dan perbuatan-perbuatan sejenis yang secara syar’i haram dilakukan. Yang kedua seperti mencaki maki istri atau keluarganya, merendahkannya dan mendiamkannya dan yang sejenisnya.

Fasakh Karena Kepergian Suami

Bila suami pergi, tempatnya diketahui, mungkin dihubungi, pendapat yang shahih di kalangan para ulama, istri berhak menuntut hak fasakh, karena nafkah batin merupakan salah satu hak istri, dengan syarat: Pertama, kepergian suami lebih dari empat bulan, berdasarkan keputusan Umar yang merotasi pasukan per empat bulan. Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dengan sanad hasan. Kedua, kepergian suami tanpa alasan. Ketiga, istri dikuatirkan terjatuh ke dalam perbuatan buruk. Keempat, hakim memintanya pulang dan memberinya tempo yang dibutuhkan.

Fasakh Karena Hilangnya Suami

Hilang adalah pergi plus, karena itu hukum masalah ini secara umum sama dengan hukum masalah di atasnya.

Bila suami hilang atau menghilang, bagaimana dengan istri?

Madzhab Hanafi dan asy-Syafi’i berkata, istri tidak berhak menuntut fasakh selama apa pun hingga terbukti suami wafat atau mentalaknya. Alasannya pernikahan terbukti tegak dengan yakin, tak boleh dibatalkan dengan alasan yang belum pasti.

Madzhab Hanbali dan Maliki berkata, istri menunggu empat tahun, lalu suami divonis wafat dan istri beriddah empat bulan sepuluh hari, sesudahnya menikah, berdasarkan keputusan Umar bin al-Khatthab, “Istri mana pun yang kehilangan suaminya, dia tidak tahu di mana suaminya, dia menunggu empat tahun kemudian beriddah empat bulan sepuluh hari kemudian halal.” Diriwayatkan oleh Malik, al-Baihaqi dan Abdurrazzaq dengan sanad hasan.

Pendapat yang shahih adalah yang kedua, hanya saja masa menunggu empat tahun bisa merupakan ijtihad Umar dengan pertimbangan kondisi zamannya.

Fasakh Karena Hilangnya Suami

Bila pengadilan memutuskan fasakh karena suami yang pergi tak kunjung pulang, lalu tiba-tiba suami pulang sesudahnya, maka keadaannya tidak luput dari tiga kemungkinan:

Pertama, istri belum menikah, maka keputusan fasakh pengadilan gugur, pernikahan keduanya bersambung kembali tanpa memerlukan akad baru, alasannya keputusan fasakh diambil atas dasar hilangnya suami, berarti saat suami kembali, maka keputusan tersebut otomatis batal.

Kedua, istri sudah menikah dengan orang lain tetapi belum terjadi hubungan, jumhur ulama termasuk Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad berkata, pernikahan dengan suami baru batal, istri kembali ke suami pertama dengan alasan yang sama, tetapi suami baru tidak wajib mahar dalam keadaan ini, karena belum terjadi persentuhan.

Ketiga, istri sudah menikah dengan orang lain dan sudah terjadi hubungan, Umar dan Utsman memutuskan, suami pertama diberi hak memilih antara istrinya atau mahar. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih. Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat, istri adalah istri suami kedua secara sah. Bila istri hamil, maka anaknya adalah anak suami kedua secara sah. Wallahu a’lam.

Fasakh Karena Suami atau Istri Masuk Islam

Bila istri masuk Islam sementara suami masih kafir, keduanya dipisah karena wanita muslimah tidak halal menjadi istri laki-laki kafir, berdasarkan firman Allah,

لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ [الممتحنة : 10]

Wanita-wanita beriman itu tidak halal bagi laki-laki kafir dan sebaliknya.” Al-Mumtahanah: 10.

Bila sesudahnya suami masuk Islam, bagaimana? Bila suami masuk Islam sebelum istri menyelesaikan masa iddah, maka keduanya balen, rujuk tanpa akad baru. Bila istri sudah menyelesaikan masa iddah dan suami belum masuk Islam, maka istri boleh menikah dengan orang lain atau menunggu suami, bila suami masuk Islam lalu keduanya hendak balen, apakah harus akad baru atau tidak? Jumhur ulama berkata, harus akad baru. Sebagian ulama berkata, keduanya balen tanpa akad baru.
Ibnul Qayyim berkata, “Para sahabat, suami masuk Islam sebelum istri dan istri masuk Islam sebelum suami, kami tidak mengetahui seseorang dari mereka memperbarui akad bila pasangannya menyusul masuk Islam…”
Catatan: Bila istri memilih menunggu suami masuk Islam, maka itu adalah haknya, namun harap dipahami bahwa selama masa menunggu ini, istri tidak halal bagi suami, karena wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, jadi tidak boleh satu rumah, tidak boleh khalwat apalagi berhubungan suami istri.
Bila suami masuk Islam sementara istri masih kafir, bila istri wanita ahli kitab, maka pernikahan keduanya tetap sah, karena laki-laki muslim sah menikah wanita ahli kitab, jadi tidak ada alasan fasakh dalam keadaan ini. Bila istri bukan ahli kitab, maka terjadi fasakh, karena laki-laki muslim tidak sah menikah wanita kafir selain ahli kitab, Allah berfirman,yang artinya, “Dan jangan mempertahankan pernikahan dengan wanita-wanita kafir.” Al-Mumtahanah: 10. Bila istri menyusul masuk Islam maka dia adalah istrinya tanpa perlu akad baru.
Fasakh Karena Suami atau Istri Murtad
Hukum bila suami atau istri murtad sama dengan hukum bila suami atau istri masuk Islam secara umum, kecuali bila istri murtad, tidak berbeda antara murtad ke agama ahli kitab atau ke selainnya, pernikahannya fasakh, karena dalam keadaan ini istri bukan dihukumi ahli kitab, tetapi dihukumi murtad. Wallahu a’lam.