jual beli ghararDalam terminologi fikih gharar berarti ketidaktahuan terhadap suatu perkara dan dampaknya, ketidakjelasan antara laba dan ruginya, dalam istilah keseharian kucing dalam karung.

Gharar termasuk dasar umum dalam akad jual beli yang dilarang oleh Rasulullah, larangan ini termasuk kemuliaan syariat Islam yang luhur, karena gharar ini mengakibatkan sebagian orang makan harta orang lain dengan cara yang batil dan haram. Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda tentang larangan jual beli sistem ijon, “Bagaimana bila Allah menahan buah itu hingga ia tidak tumbuh, atas dasar apa penjual memakan harta pembeli?” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Di samping itu, gharar ini bisa melahirkan pertikaian dan percekcokan di antara manusia, hal yang tak diharapkan bersama.

Kadar Gharar

Jual beli gharar dilihat dari sisi halal dan haramnya terbagi menjadi tiga. Gharar dalam kadar yang besar dan tingkat yang berat, seperti ikan dalam air, gabah yang masih hijau, gharar ini dilarang tanpa ada perbedaan. Gharar yang kadarnya sedikit dan tingkatnya ringan, seperti pondasi rumah, ban dalam kendaraan, gharar ini dimaklumi dan dimaafkan. Gharar yang sedang, di antara kedua gharar sebelumnya, diperdebatkan. Parameter dalam menetapkan tinggi, rendah dan sedangnya gharar untuk perkara yang didiamkan dalil adalah kebiasaan umum.

Bentuk-bentuk Gharar

Gharar dari sisi kandungannya terbagi menjadi:

Pertama: Obyek akad tak ada atau tak diyakini ada. Seperti jual beli tahunan, yaitu jual beli hasil pertanian untuk beberapa tahun ke depan, dalam bahasa Nabi disebut dengan mu’awamah sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim. Seperti jual beli mukhdharah, ijon, jual beli hablul habalah, malaqih dan madhamin, yaitu jual beli calon atau janin hewan yang belum lahir.

Unsur gharar dalam jual beli seperti ini sangat tinggi dan kentara, karena janin tersebut belum jelas juntrungannya, lahir hidup atau mati, dan kapan lahirnya, juga tak jelas. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah melarang jual beli hablul habalah, sebuah jual beli ahli jahiliyah, seseorang membeli unta sampai unta betina melahirkan kemudian janin yang ada dalam perutnya melahirkan.” Muttafaq alaihi.

Kedua: Obyek akad tak mungkin diserahterimakan. Seperti barang yang hilang dan tak diketahui rimbanya, ini diharamkan, walaupun ada yang masih diperdebatkan, yaitu menjual barang yang belum berada di tangan.

Bolehkah pembeli menjual sebelum ada di tangannya? Abu Hanifah berpendapat tidak boleh kecuali untuk barang tak bergerak. Malik dan Ahmad bependapat tidak boleh untuk bahan makanan. Imam asy-Syafi’i melarangnya secara mutlak.

Pendapat yang membolehkan untuk barang tak bergerak beralasan bahwa kemungkinan perubahan dan kerusakan pada barang tak bergerak relatif rendah, sehingga ia ditolerir.

Pendapat yang membolehkan untuk selain bahan makanan berdasar kepada hadits yang khusus menyebutkan makanan, seperti sabda Nabi, “Barangsiapa membeli bahan makanan, jangan menjualnya sebelum ia sampai di tangannya.” Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.

Pendapat yang memutlakkan berdasarkan kepada keumuman larangan, seperti sabda Nabi, “Jangan menjual apa yang tak kamu miliki.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya.

Jadi ada kesepakatan di antara mereka, dilarang menjual barang yang belum berada di tangan, perbedaannya hanya pada barang tak bergerak yang dibolehkan oleh Abu Hanifah dan pada selain makanan yang dibolehkan oleh Malik. Wallahu a’lam.

Ketiga: Obyek akad tak diketahui, secara mutlak seperti sebuah mobil atau tertentu seperti mobil saya.

Bila obyek akad ada dan hadir, dilihat diketahui, hukumnya tak diperdebatkan. Bila tak ada, tak hadir, maka Imam asy-Syafi’i berpendapat tak sah, dijelaskan kriterianya, apalagi tak dijelaskan. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat boleh bila dijelaskan kriterianya dan sesudah barang itu hadir, pembeli berhak memilih. Imam Malik sependapat dengan Abu Hanifah dengan tambahan barang tidak dikhawatirkan berubah.

Perbedaan ini kembali kepada penilaian kadar gharar, kucing dalam karung, Imam asy-Syafi’i memandangnya berat sehingga tak ditolerir, sementara dua Imam lainnya memandangnya ringan karena gharar terangkat dengan penjelasan, di samping adanya hak memilih bagi pembeli.

Pendapat yang akhir lebih dekat. Di zaman ini ada komoditi yang sulit untuk dihadirkan di majlis akad karena beberapa alasan, maka keterangan yang rinci dan jujur mengangkat unsur kucing dalam karung. Wallahu a’lam.