hajrSyariat hadir menjaga harta dan hak manusia, karena itu syariat menetapkan hajr atas siapa yang berhak. Hajr dalam bahasa artinya cekal. Secara istilah adalah larangan atas seseorang untuk bertindak terhadap hartanya.

Bentuk Hajr

Pertama: Hajr atas seseorang demi menjaga hak orang lain, seperti orang pailit yang dicekal untuk menjaga harta pemilik hak.

Kedua: Hajr atas seseorang untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak merusak hartanya seperti hajr atas anak-anak.

Pertama: Hajr demi hak orang lain

Maksudnya adalah hajr atas muflis, orang pailit, yaitu orang yang memikul hutang, hartanya yang ada tidak mencukupi dan hutang itu telah jatuh tempo, dia dicekal agar untuk menjaga harta pemilik hak.

Orang yang memikul hutang mempunyai dua kemungkinan:

Pertama: Hutangnya belum jatuh tempo. Orang semacam ini belum boleh ditagih sampai jatuh tempo dan dia belum wajib melunasi hutangnya karena jatuh tempo, walaupun harta yang dimilikinya lebih sedikit dari hutang yang ditanggungnya, dia tetap tidak boleh dicekal karena itu, dan dia tidak dilarang dari melakukan transaksi atas hartanya.

Kedua: Hutangnya telah jatuh tempo, dan orang seperti ini tak lepas dari dua kondisi:

Pertama: Harta yang dimilikinya lebih banyak dari hutang yang ditanggungnya. Orang ini tidak dicekal, namun cukup diperintahkan untuk melunasi hutangnya jika mereka yang berpiutang menagihnya. Jika ia tidak mau membayar, maka dia dipenjara dan dihukum hingga mau melunasi. Jika ia tetap bersikukuh, tetap tidak mau melunasi hutangnya, maka hakim turun tangan melunasi hutang tersebut dengan menjual aset-aset miliknya.

Kedua: Harta yang dimilikinya lebih sedikit dari hutang yang ditanggungnya. Orang ini dicekal agar tidak bebas menggunakan hartanya, bila mereka yang berpiutang meminta untuk itu.

Di antara Hukum-hukum Hajr

Pertama: Hak mereka yang berpiutang terkait dengan hartanya, baik yang dimilikinya sebelum dicekal maupun yang akan dimiliki setelah itu, seperti yang akan didapatnya lewat warisan, ganti rugi, hibah, wasiat, atau dengan cara lain.

Kedua: Barangsiapa mendapati barangnya seperti sedia kala pada orang pailit yang dicekal sebelum orang tersebut dicekal; maka dia lebih berhak mengambil barang tersebut dari orang yang bangkrut tadi.
Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَ مَتَاعَهُ عِنْدَ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ.

Barangsiapa yang mendapati barangnya seperti sedia kala pada orang yang telah bangkrut, maka dialah yang paling berhak terhadap barang itu.” Muttafaq alaihi.

Para fuqaha’ menyebutkan bahwa untuk mengambil kembali harta yang didapati pada orang bangkrut yang sedang dicekal, ada enam syarat yang harus dipenuhi:

Pertama: Orang yang bangkrut tadi masih hidup sampai ia berhasil mengambil kembali hartanya darinya.

Kedua: Seluruh harga barang tadi masih ditanggung oleh pihak yang bangkrut, bila pemilik barang telah menerima sebagian dari harga barangnya, maka ia tidak berhak mengambilnya kembali.

Ketiga: Barang tersebut seluruhnya masih berada dalam kepemilikan si bangkrut, jika hanya mendapati sebagiannya, ia tidak boleh mengambilnya.

Keempat: Keadaan barang tersebut masih seperti dahulu, dan sifat-sifatnya tidak berubah sedikit pun.

Kelima: Barang tersebut belum terkait dengan hak orang lain, muflis atau si bangkrut tidak sedang menggadaikannya, dan yang semisalnya.

Keenam: Barang tersebut tidak bertambah dengan tambahan yang melekat padanya, seperti tambah gemuk.

Jika keenam syarat tadi terpenuhi, barulah pemilik barang boleh mengambil kembali barangnya dari orang yang memegangnya.

Ketiga: Orang yang telah dicekal tidak bisa lagi ditagih hingga terlepas dari cekal tersebut. Bila seseorang pernah menjual sesuatu kepadanya atau menghutanginya selama masa cekal tersebut, ia hanya bisa menagihnya setelah orang tersebut bebas dari cekal.

Keempat: Hakim menjual aset kekayaannya, lalu membagikannya kepada mereka yang piutangnya telah jatuh tempo sesuai dengan kadar piutang masing-masing. Wallahu a’lam.

Hajr Kedua: Hajr Demi Diri Sendiri

Hajr ini ditetapkan atas tiga orang: Anak-anak, orang gila dan orang bodoh. Mereka ini dicekal karena tidak mempunyai ahliyah tasharruf, kapabelitas bertindak, dengan tidak diperkenankan untuk bertindak, baik terhadap harta maupun terhadap tanggungan, mereka ini tidak berjual beli dan sepertinya, sebagaimana mereka juga tidak memikul hutang dan sepertinya.

Bila ada pihak yang kapabel bertindak berakad dengan mereka, maka tanggung jawab dan akibatnya dipikul sendiri, mereka tidak bisa dituntut bertanggung jawab, karena keteledoran berawal darinya.

Bila mereka melakukan tindakan merugikan terhadap harta atau darah orang lain, maka mereka harus memikul tanggung jawab karena korban tidak bersalah, dia tidak mengizinkan mereka untuk melakukannya. Tanggung jawab kerusakan tak membedakan antara orang yang kapabel bertindak atau bukan.

Wali

Karena mereka tak mampu bertindak lurus terhadap diri dan harta mereka, maka dibutuhkan seorang wali dari keluarga yang paling dekat yang memperhatikan kebaikan dan kemaslahatan mereka. Semua tindakan mereka sah bila ada persetujuan wali dan wali yang nantinya bertanggung jawab. Wali patut bertindak terhadap mereka dan harta mereka dengan mempertimbangkan kebaikan. Haram atas wali menggelapkan atau memakan harta mereka dengan cara batil memanfaatkan kelemahan mereka. Bila wali miskin maka diperkenankan makan dari harta pihak yang berada dalam perwaliannya, Allah berfirman,

وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ [النساء : 6]
“…Barangsiapa fakir maka silakan makan dengan cara yang baik.” An-Nisa`: 6.
Hajr Terangkat

Hajr atas anak-anak diangkat bila terpenuhi dua syarat: Usia baligh dan kemampuan menangani dan mengurusi harta dengan baik, berdasarkan firman Allah,

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ [النساء : 6]
Ujilah anak yatim itu sampai mencapai usia menikah, bila kamu melihatnya memiliki tindakan lurus maka serahkanlah harta mereka kepada mereka.” An-Nisa`: 6.

Hajr atas orang gila diangkat dengan dua syarat: Kesembuhan dengan kembalinya akal normal dan tindakan lurus dalam mengelola harta. Hajr atas orang bodoh diangkat manakala dia sudah berhasil membuang tindakan bodohnya dan menggantinya dengan tindakan lurus. Wallahu a’lam.