Barangsiapa yang meneliti secara detail ayat-ayat al-Qur’an al-‘Azhîm berkaitan dengan ancaman terhadap perbuatan syirik terhadap Allah Ta’ala, maka dia akan mendapati bahwa kebanyakan ayat-ayat itu tentang ancaman terhadap syirik di dalam do`a. Dari sini, maka do`a merupakan salah satu inti keyakinan, serta pengesaan kepada Allah Ta’ala di dalam Rububiyah, Uluhiyah, serta asma dan sifat-Nya. Dan upaya menyelisihinya termasuk penyakit-penyakit syubhat yang berkutat antara syirik dan perangkat-perangkatnya yang berupa bid’ah dan hal-hal baru yang dimunculkan. Lihat Miftah Dar as-Sa’adah, hal. 43; ad-Du’a wa Manzilatuhu min al-‘Aqidat al-Islamiyah,] (1/48-308), dan mukadimah kitab: ar-Radd ala al-Mukhalif.

Do`a merupakan sesuatu yang paling mulia di mata Allah Ta’ala, do`a sebagai jalan menuju kesabaran di jalan Allah Ta’ala, sebagai jalan kepada kejujuran dalam mencari perlindungan dan pelimpahan segala urusan kepadaNya, serta penyerahan diri kepadaNya, sebagai jalan untuk menjauhi sifat lemah dan malas, dan menikmati kelezatan dalam bermunajat kepada Allah Ta’ala. Sehingga, keimanan seorang pemohon (pendo`a) semakin bertambah dan keyakinannya semakin kuat. Allah Ta’ala justru mencintai hambaNya yang senantiasa meminta kepadaNya, dan “Barangsiapa yang tidak mau berdo`a kepada Allah Ta’ala, maka Allah pun akan murka kepadanya”, demikian menurut hadits yang marfu’ telah diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (HR. Ahmad, al-Bukhari di dalam kitabnya ‘al-Adab al-Mufrad’, Tirmizi, dan Ibnu Majah) Sebagian ulama ada yang melantunkan sebuah bait syair sebagai makna dari hadîts ini, dan berkata, “Allah akan murka, bila engkau enggan memintaiNya, sebaliknya anak Adam akan marah ketika dimintai.” Begitulah, seperti dituturkan oleh Imam Baihaqi di dalam “Syu’ab al-Iman”, dan Imam Suyuthi di dalam kitabnya al-Azhar fima ‘Aqadahu asy-Syu’ara min al-Ahadits wa al-Atsar, dan keduanya tidak menisbatkannya kepada siapa pun. Juga, sebagaimana yang terdapat di dalam tahqiq Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 677.

Do`a juga merupakan ibadah yang sederhana dan mudah, bersifat umum dan sama sekali tidak terikat dengan tempat, waktu maupun keadaan. Dia bisa dilakukan pada malam maupun siang hari; di darat, laut maupun di udara, pada saat bepergian maupun ketika di rumah, ketika dalam keadaan kaya maupun miskin, sakit maupun sehat, dan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sungguh, do`a merupakan tugas/pekerjaan sepanjang umur, dia mengantar seorang hamba menuju awal tingkatan penghambaan, pertengahannya, dan puncaknya, agar selamanya ia hidup dalam keadaan berlindung dan butuh kepada Sang Penciptanya, Allah Ta’ala.Membiasakan diri untuk berdo`a bisa menjadi sebab-sebab terhindar dari bala’ (cobaan) dan menolak kesengsaraan, sebagaimana firman Allah Ta’alakepada Nabi Ibrahim ‘Alaihissallam ,

وَأَدْعُوا رَبِّي عَسَى أَلآ أَكُونَ بِدُعَآءِ رَبِّي شَقِيًّا {48}

“Dan aku akan berdo’a kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Rabbku.”(Maryam: 48), dan firman-Nya melalui perkataan Zakariya ‘Alaihissallam:

وَلَمْ أَكُن بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيًّا

“Dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Rabbku.” (Maryam: 4).

Banyak sekali bala’ yang tercegah karena do`a, banyak sekali cobaan dan ujian yang dihapuskan oleh Allah Ta’ala karena do`a, juga musibah disirnakan oleh Allah Ta’ala karena do`a, serta dosa dan maksiat diampuni oleh Allah Ta’ala karena do`a. Do`a bisa sebagai benteng diri dari godaan setan, dan tameng dari lemparan anak panah. Sungguh, Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (an-Nisa’: 102).

Banyak sekali karunia dan nikmat baik yang tampak maupun yang tidak tampak telah mampu diperoleh berkat bantuan do`a, yaitu berupa kemenangan, kemuliaan, kemapanan, dan ketinggian derajat di dunia dan di akhirat. Sungguh, betapa besarnya kedudukan do`a ini, dan betapa agungnya karunia dan nikmat Allah Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hambaNya berupa do`a.

Semua keutamaan dan kebaikan ini termasuk bentuk kemustajaban. Maka, menjadi benarlah bila do`a permohonan merupakan salah satu kewajiban yang paling penting dan agung. Oleh karena itu, do`a merupakan tradisi para nabi, sebagaimana telah disebutkan kisah mereka oleh Allah Ta’ala di dalam firmanNya,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَباًوَكَانُوا لَنَاخَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas.” (al-Anbiya: 90).

Lain dari itu, nash-nash syar’i yang menganjurkan untuk berdo`a sangat banyak sekali, yaitu dengan bentuk yang merupakan batas akhir ketergantungan hati manusia terhadap sang Penciptanya. Sesungguhnya do`a ini adalah senjata bagi seorang Mukmin, benteng yang sangat kokoh bagi seorang Muslim, dan keleluasaan wilayah bagi seorang hamba yang banyak mengeluh. Yaitu orang yang jika diberi maka dia akan menyambung hubungan dan jika disia-siakan maka dia akan dikucilkan. Oleh karena itu, mengabaikan do`a merupakan tindak penodaan terhadap agama, dan sikap berpaling dari Tuhan semesta alam. Barangsiapa yang berpaling dari Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala juga akan berpaling darinya.

Dengan demikian, terlihatlah betapa besar manfaat dan keagungan nilai do`a di dalam kehidupan seorang Muslim dan setelah kematianya. Adapun di dalam kehidupan ini, maka manfaat tersebut didapat melalui do`a seorang Muslim untuk dirinya sendiri dan kaum Muslimin lainnya, dan dari orang yang hadir untuk orang yang tidak hadir tanpa sepengetahuannya; dan ini merupakan tempat do`a yang mustajab, sementara malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga yang semisalnya’, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits hahih. Juga, do`a dapat menghalangi para musuh dan serangan mereka, tipu daya dan kejahatan mereka.

Kemudian, dzikir dan do`a itu juga sebagai pengusir setan. Ibnu Abdilbarr rahimahullah di dalam kitab “At-Tamhid”, (19/46) pernah berkata: “Adapun mengusir setan dengan tilawah (membaca ayat al-Qur’an), dzikir, dan adzan, itu telah menjadi kesepakatan (tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini) dan sudah masyhur di dalam âtsâr.”

Adapun setelah kematian, maka do`a bisa menjadi tali penghubung yang dengannya seorang Muslim berhubungan dengan Muslim yang telah meninggal. “Ya Rabb kami, ampunilah dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman.”, dan dalam sebuah hadîts shahih disebutkan: “…. atau anak shalih yang senantiasa mendo`akannya.” Do`a dan sedekah yang diperuntukkan pahalanya bagi orang mati, keduanya bisa sampai kepada orang mati menurut kesepakatan para ulama (ijma’).

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]