Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai membaiat pada Aqabah yang kedua, ia mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah. Mereka pun keluar berhijrah secara berkelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap tinggal di Makkah menunggu izin hijrah dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Orang yang pertama hijrah dari Makkah ke Madinah adalah Abu Salamah bin Abdul Asad kemudian ‘Amir bin Rabi’ah bersama istrinya Laila. Kemudian Abdullah bin Jahsyi, kemudian sahabat-sahabat lain –radhiyallahu ‘anhum jamii’an- secara berkelompok, selanjutnya Umar bin Khaththab-radhiyallahu ‘anhu– bersama saudaranya Zaed dan ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah.

Tidak ada yang tinggal di Makkah melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa orang shahabat karena ditawan dan faktor lainnya.

Abu Bakar termasuk shahabat yang paling sering meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam supaya diizinkan hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar,”Janganlah engkau terburu-buru, wahai Abu Bakar, semoga Allah memberikan kawan yang baik sewaktu kamu hijrah”, lalu Abu Bakar pun merasa tenang dan berharap kawannya itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .(Lihat, al-Qasthalaniy, Al-Mawahib Al-Ladaniyyah, jilid 1, hal. 284-285).

Ketika orang-orang musyrik mengetahui banyak sahabat Nabi yang berhijrah, mereka berkumpul di Darun Nadwah membicarakan solusi permasalahan ini yang dihadiri juga oleh Iblis yang menyamar sebagai syaikh Najdiy, sehingga mereka sepakat untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikutsertakan bersama mereka sejumlah orang dari kabilah Quraisy sehingga pada saat pertumpahan darahnya nantinya tidak mungkin Bani Hasyim membuat perlawanan dan mereka pasti akan menerima diyat (bayaran ganti rugi).

Jibril mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata kepadanya, “Malam ini, janganlah kamu (Muhammad) tidur di tempat tidur kamu”. Ketika malam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ali bin Abi Thalib-radhiyallahu ‘anhu– tidur di tempat tidur beliau dan melaksanakan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, padahal sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dipercayai dan bertanggung jawab sehingga mereka pernah menitipkan barang-barangnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mereka pergi. (Lihat, Ibnu Hisyam, Sirah an-Nabawiyah, jilid 2, hal.98. lihat juga al-Qasthalani, al-Mawahib Al-Ladaniyah, jilid 1, hal. 289).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dengan membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla :

يس، وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ، إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ، عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ، تَنزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ، لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لا يُؤْمِنُونَ، إِنَّا جَعَلْنَا فِي أَعْنَاقِهِمْ أَغْلاَلاً فَهِيَ إِلَى الأَذْقَانِ فَهُم مُّقْمَحُونَ، وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ

“Yaa siin. Demi Al Quran yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”. (Qs. Yasin : 1-9).

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melemparkan debu ke arah orang kafir yang ada di depan pintu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dengan leluasa. (Lihat, Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, jilid 2, hal. 95-96).

Pada peristiwa ini, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu (Muhammad) atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (Qs. al-Anfal : 30).

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke rumah Abu Bakar as-Siddiq –radhiyallahu ‘anhu-, mereka berdua pun keluar dari rumah Abu Bakar malam itu juga menuju ke gua Sur (ke arah Yaman). (Lihat, as-Samhudi, al-Wafa, jilid 1, hal. 239).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang-orang yang beriman “Saya melihat tempat hijrah kalian adalah suatu tempat penuh dengan pohon kurma yang terletak di antara dua harrah/labit (yaitu gunung ‘Air dan Tsaur).” Kemudian mereka berhijrah ke Madinah dan umumnya yang hijrah ke Habasyah pulang untuk berhijrah ke Madinah, Abu Bakar juga menyiapkan bekal untuk hijrah ke Madinah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Sabar dulu, saya berharap segera diizinkan”, Abu Bakar berkata,’’Apakah Anda mengharapkan hal tersebut –dengan bapak dan ibuku, saya menebus Anda-?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,’’ya’’. Lalu, Abu Bakar urung berangkat, dan menyiapkan dua ekor unta yang bagus untuk  berangkat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia memberinya makan dengan daun samur selama empat bulan.

Ibnu Shihab meriwayatkan dari Urwah dari Aisyah, ia berkata, “Ketika kami duduk-duduk di rumah Abu Bakar di siang hari yang panas, seseorang berkata kepada Abu Bakar, “Ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dengan menutup kepala pada saat yang tidak biasanya beliau mendatangi kita.” Abu Bakar menjawab,”Sebagai tebusan beliau adalah ayah ibuku. Demi Allah, tidaklah beliau datang pada saat seperti ini kecuali karena perintah (untuk hijrah).”

‘Aisyah berkata,”Lalu Nabi datang, meminta izin dan beliau pun diizinkan masuk. Nabi menyuruh Abu Bakar untuk mengeluarkan siapa saja yang ada bersamanya di rumah”. Abu Bakar berkata, “Mereka hanyalah keluargamu, wahai Rasulullah.” Rasul berkata, “Saya sudah diizinkan untuk berhijrah”, Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Saya menemanimu, wahai Rasulullah ?” “Ya”, jawab Nabi. Abu Bakar berkata, “Ambillah salah satu kendaraan (unta) yang kamu sukai.” Rasulullah berkata, “Dengan harga (Saya bayar).” ‘Aisyah berkata, “Maka kami persiapkan kedua kendaraan dengan secepat mungkin. Kami memasang ransum yang berkantong, Asma’ binti Abu Bakar memotong bagian dari ikat pinggangnya dan mengikatkannya pada mulut kantong, hingga dinamakan ‘Dzat Nithaqain’ (wanita yang mempunyai dua ikat pinggang) ‘Aisyah berkata, ‘’Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar menuju ke gua yang ada di bukit Tsur, mereka berdua tinggal di sana selama tiga malam”.

Abdullah bin Abu Bakar (pemuda yang cerdas dan cerdik) tinggal menginap bersama mereka. Sebelum Subuh ia turun dan di pagi hari sudah bersama-sama dengan orang Quraisy di Makkah. Sehingga tidak mendengar perkara yang mereka perbincangkan atau perbuat, melainkan ia mengabarkan kepada Rasulullah dan Abu Bakar saat mendatangi keduanya di malam hari. Sementara ‘Amir bin Fuhairah, hamba sahaya Abu Bakar, selalu memperhatikan mereka berdua dengan memberikan minuman susu kambing yang ia gembalakan pada setiap sore saat waktu Isya telah masuk.

Keduanya bermalam dalam hidangan air susu perah yang dipanaskan dari hewan perah yang disiapkan untuk keduanya, hingga ‘Amir bin Fuhairah menghalau gembalaannya di pagi buta. Begitulah yang ia lakukan setiap malam dari tiga malam tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar juga mengupah seorang dari Bani ad-Dayl yaitu dari Bani Abdul bin ‘Adiy sebagai penunjuk jalan (dia adalah hamba sahaya keluarga ‘Ash bin Wail Sahmi, penganut agama kafir Quraisy) yang dipercayai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar. Keduanya menyerahkan kedua kendaraannya dengan perjanjian untuk bertemu untuk menyerahkan kedua kendaraannya setelah tiga malam di pagi hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat bersama Abu Bakar, ‘Amir bin Fuhairah dan si penunjuk jalan. Penunjuk jalan membawa mereka menyusuri jalan pantai. (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak bersamaan dengan Fathul Baari jilid 7 hal. 231, nomor hadis 3905).

Ketika orang Quraisy menyadari Nabi telah keluar, maka mereka mencarinya di seluruh pelosok kota Makkah, mereka mengirim utusan untuk mencarinya di sepanjang jalan, bahkan diiklankan dengan bayaran seratus ekor unta bagi siapa saja yang dapat mendatangkan Muhammad dalam keadaan hidup maupun mati.(Lihat, Ibnu al-Qayyim, Zaadul Ma’ad, jilid 3 hal. 54).

Para pencari jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebenaranya sampai di pintu gua, tetapi Allah telah mengaturnya. Dari Anas bin Malik, dari Abu Bakar as-Siddiq, ia berkata, “Saya berkata kepada Nabi ketika saya dalam gua, sekiranya salah seorang di antara mereka melihat ke bawah kedua kakinya, niscaya kita akan kelihatan.” Rasulullah menjawab,”Bagaimana menurutmu, wahai Abu Bakar terhadap dua orang yang ketiganya adalah Allah.” (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak bersamaan dengan Fathul Baari, jilid 7 hal. 908 nomor hadis 3653. Shahih Muslim, jilid 3, nomer hadis, 2381).

Ketika pencarian telah tenang, mereka keluar bersama dengan penunjuk jalan yang menguasai jalan arah selatan menuju ke arah Yaman, sampai ketika tiba di sebuah jalan yang tidak biasa dikenal oleh manusia ia belok ke utara hingga mendekati pantai laut Merah dan melewati jalur yang jarang dilewati oleh menusia.

Dalam perjalanannya, mereka melalui sebuah tenda milik Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah. (Lihat, Ibnu al-Qayyim, Zaadul ma’ad, jilid 3, hal. 55-56).

Di perjalanan, mereka disusul oleh Suraqah. Dalam Shahih al-Bukhari, Suraqah bin Ju’tsum bercerita, “Delegasi kafir Quraisy mendatangi kami dan menyebutkan bayaran bagi siapa saja yang sanggup membunuh dan menawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar.”

Ketika saya sedang duduk-duduk bersama kaumku (Bani Mudlij), tiba-tiba datang seorang laki-laki kepada kami yang sedang duduk, memberitahukan seraya berkata, “Wahai Suraqah, baru saja saya melihat sekelompok orang di dekat pantai, saya menduga itu Muhammad dan pengikutnya. Suraqah berkata, “Saya yakin itu memang mereka, tetapi saya berkata kepadanya,’’itu bukan mereka’’, kamu hanya melihat si fulan dan si fulan yang kita kenal.’’

Setelah saya duduk sejenak di majlis, saya bangkit dan menyuruh budak wanitaku untuk mengeluarkan kudaku -dia dari balik bukit-, lalu menungguku di sana. Saya mengambil panah lalu keluar dari belakang rumah. Ujung besi anak panah saya sentuhkan tanah dan bagian atasnya saya pendekkan hingga saya mendatangi kuda saya. Lalu saya menunggang kuda dan memacunya dengan cepat sehingga aku menghampiri mereka, tiba-tiba kaki kudaku terperosok dan aku pun tersungkur darinya. Saya bangun dan mengambil anak-anak panah, saya mengundi nasib dengan anak-anak panah tersebut apakah saya harus menyatroni mereka atau tidak ? Maka keluar (jawaban dari mengundi nasib) apa yang saya benci.

Saya kembali menunggang kuda tidak mempedulikan hasil undian nasib tersebut, sehingga saya mendekat, ketika saya mendengar bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dia tidak menoleh, sedangkan Abu Bakar banyak menoleh (kiri dan kanan), tiba-tiba terperosok kedua kaki kudaku hingga dua lututnya, saya pun tersungkur darinya. Saya mencoba menghardiknya, lalu ia berusaha bangkit, hampir tidak bisa mengeluarkan kakinya, tetapi ketika tegak berdiri, tiba-tiba ada awan putih seperti asap yang membumbung tinggi ke langit, maka saya mengundi nasib dengan anak panah, ternyata keluar apa yang saya tidak suka. Maka saya panggil mereka dengan jaminan aman. Mereka pun berhenti. Saya naik kuda saya hingga mendatangi mereka. Maka terjadilah di hati saya ketika saya menemui apa yang sudah saya temui ; yaitu tertahan dari mereka,  bahwa perkara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan terlihat. Oleh karena itu, saya katakan kepadanya, “kaummu telah memberikan bayaran kepada siapa saja yang sanggup membunuhmu.” Saya pun memberitahukan kepada mereka berita-berita yang diinginkan oleh manusia terhadap mereka. Saya tawarkan kepada mereka (Nabi Muhammad dan kawan-kawan) bekal dan barang-barang lain, tetapi mereka tidak mengambil sedikiit pun dari bekal yang saya bawa dan tidak meminta kepadaku, kecuali berkata, “Rahasiakan kami.” Lalu saya minta kepadanya agar saya diberi tulisan jaminan keamanan, maka dia menyuruh ‘Amir bin Fuhairah dan dia pun menulis di suatu lembar kulit. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan perjalanannya.”

Ibnu Syihab berkata,”Urwah bin Zubair memberitahuku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Zubair bersama sekelompok pedagang muslim yang pulang dari Syam, Zubair memberikan pakaian yang serba putih kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar.

Orang Islam Madinah mendengar keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Makkah, mereka menunggu kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pagi hari sampai panasnya waktu tengah hari, setelah lama menunggu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam belum kunjung tiba, mereka kembali ke rumahnya masing-masing, setibanya di rumah, seorang Yahudi yang berada di atas salah satu benteng mereka yang sedang melihat satu urusan, melihat rombongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berpakaian putih-putih, yang samar-samar karena fatamorgana. Oleh karena itu, si Yahudi tersebut tidak tahan hingga berkata dengan suaranya yang paling keras, “Wahai sekalian orang Arab, ini kakek kamu yang kamu nantikan sudah tiba.” Maka kaum muslimin berhamburan membawa senjata, akhirnya mereka menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di luar harrah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membawa mereka belok ke arah kanan hingga singgah dengan mereka di kediaman bani ‘Amru bin ‘Auf. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal. Abu Bakar berdiri di hadapan orang-orang Madinah, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk berdiam diri, maka karuan saja orang-orang yang datang (yang belum pernah melihat Nabi) dari kaum Anshar memberi penghormatan kepada Abu Bakar, sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkena panas matahari, lalu Abu Bakar menghampiri baginda dan menaunginya dengan selendangnya, maka ketika itu, barulah mereka mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam … (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak dengan fathul baari, jilid 7, hal 238-239 nomor hadis 3906).

Hikmah (Pelajaran) yang bisa dipetik :

Inti yang dapat dipetik dari hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah antara lain :

  1. Peristiwa hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah Islam, bahkan pengkaji sirah nabawiyah mengaitkan dengan peristiwa kenabian, di awal kenabiannya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Khadijah menghadap Waraqah bin Naufal, Waraqah memberitahukan kepada beliau, “Sekiranya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Akankah mereka mengusirku ? “Ya”, jawab Waraqah. “Tidak ada seorang pun yang datang membawa ajaran yang serupa dengan yang kamu bawa, melainkan akan dimusuhi (dianiaya)” (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak dengan fathul baari jilid 1 hal. 23 nomor hadis 3).
  2. Perintah hijrah ditinjau dari sisi waktunya maupun tempatnya merupakan wahyu dari Allah.

Imam al-Bukhari menyebutkan “Abu Musa berkata meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia bersabda, “Saya melihat dalam mimpi bahwa saya berhijrah dari Makkah ke Negeri yang dipenuhi pohon kurma, saya menduga ke Yamamah atau Hijr, ternyata ke Madinah (dulu Yatsrib)”. (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak dengan fathul baari jilid 7 hal. 226. Lihat kitab Manaqib, bab Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya).

Ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahu Abu Bakar,”Saya telah diizinkan untuk berhijrah.” Abu Bakar bertanya,”Saya menemanimu wahai Rasulullah ?”. (HR. al-Bukhari dalam shahihnya, dicetak dengan fathul baari jilid 7 hal. 231 nomor hadis 3905).

  1. Hijrah ke Madinah bukanlah rekreasi yang diinginkan kaum Muhajirin dan bukan pula karena Makkah merupakan Negeri berpenyakit, sehingga mereka gembira dengan berita wajibnya hijrah dari Makkah. Akan tetapi, itu adalah satu perintah yang di-taklifkan (dibebankan) yang berkaitan dengan akidah yang mereka yakini kebenarannya, dan berkaitan dengan karakter risalah Islam yang harus disampaikan kepada orang lain. (Lihat, Sulaiman al—‘Audah, Sirah an-Nabawiyah Fii Shahihain, hal. 351).
  2. Bergegasnya para shahabat melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap hijrah ke Madinah dengan meninggalkan anak, harta, dan tanah air. Tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali orang yang dikehendaki Nabi untuk tinggal, atau memang tertahan atau memiliki uzur lainnya, dan jumlah mereka sangat sedikit.

Hal ini mengingatkan kita untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berhati-hati dari mengingkarinya berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs. an-Nuur : 63)

  1. Peristiwa hijrah mengandung kemuliaan yang istimewa bagi Abu Bakar, dia yang dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabagai kawan dalam hijrah, Abu Bakar menyerahkan anaknya, pembantunya, dan hartanya untuk keperluan hijrah, cukuplah firman Allah ‘Azza wa Jalla membenarkannya :

ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, “janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (Qs. at-Taubah : 40)

Muhyiddin Syaikh Zadah berkata, “Ini cukup sebagai bukti atas kelebihan Abu Bakar dibandingkan sahabat-sahabat yang lain ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang memilihnya untuk dirinya pada situasi seperti itu.” (Muhyiddin Syaikh Zadah, Hasyiyah Muhyiddin Syaikh Zadah ‘Ala al-Baidhawi, jilid, 2. Hal.333).

  1. Peristiwa hijrah juga mengandung kelebihan yang istimewa bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, karena dialah orang yang tidur di tempat tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggantikan posisi yang sangat berbahaya, mempertaruhkan nyawa dengan satu keyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan menjaga dan melindunginya, dia melaksanakan segala tugas dan tanggung jawab yang dibebankan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya, ketika ia masih berumur kurang lebih 23 tahun.
  2. Pada hadis ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi Abu Bakar as-Siddiq, ini menunjukkan adanya kunjungan orang tua terhadap orang muda. Jadi, ziarah itu tidak hanya dilakukan oleh orang muda terhadap orang tua saja.
  3. Di antara perkataan ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan meminta izin (untuk masuk rumah) lalu diizinkan baginya.” Berdasarkan penjelasan tersebut, kita mengambil satu adab di antara adab memasuki rumah, yaitu meminta izin untuk masuk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin, padahal beliau merupakan orang istimewa dan mempunyai kedudukan seperti yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla Yang Mahatinggi,

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri. (Qs. al-Ahzab : 6)

                9. Dalam perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Thalib untuk tetap tinggal setelah kepergian Rasulullah untuk menunaikan segala amanah orang Quroisy yang ada di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat dua hikmah :

a. Kontradiksi yang sangat ajaib dalam praktek orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkenal dangan al-Amin (yang terpercaya), bahkan mereka menitipkan harta benda mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sulit menemukan orang lain yang bisa dipercaya. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan kepada mereka bahwa beliau adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla dan mengajak mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mereka menuduh Nabi sebagai tukang sihir, pendusta, dan perkataan-perkataan yang keji lainnya.

b. Kendati nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahaya dan intimidasi orang kafir terhadap dirinya terus berlangsung, dia tetap tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap sesama manusia. Hal ini menunjukan kepada kita betapa besarnya tanggung jawab kita kepada sesama manusia. Kita tidak boleh mengabaikannya, baik yang berkaitan dengan hak-hak materi maupun immateri, seperti mengganggu kehormatannya dan sebagainya.

Hal ini adalah perkara yang banyak diabaikan oleh manusia, mereka tidak menjaga hak-hak orang lain, baik yang berkaitan dengan materi seperti harta benda dan semisalnya, atau pun immateri yaitu seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), mengolok-olok, menghina, mencaci, mencela,  padahal ia adalah hak-hak orang yang akan dimintai tanggung jawab di hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam khutbah hari penyembelihan kurban di mina ketika haji wada’. “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian (untuk mengambilnya dengan aniaya), seperti haramnya hari ini, di negeri ini, dalam bulan ini.”

  1. Ketika Abu Bakar menawarkan unta yang dipersiapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “ Saya membayarnya “.

Disebutkan inti dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan hijrahnya tersebut sempurna dengan jiwa dan hartanya karena mengharapkan keutamaan dan kesempurnaan dalam hijrah dan jihad di jalan Allah. (lihat, Suhailiy, ar-Raudh Al-Anif, jilid 2, hal. 230. Lihat juga, As-Samhudi, Wafa’ al-Wafa’, jilid 1, hal. 237, dan As-Sami, Subul al-Huda, jilid 3, hal. 360)

Barangkali juga menjadi pelajaran bagi da’i supaya tidak mengharapkan pemberian dari orang, harus mempunyai hati yang bersih, yang keseriusannya hanyalah untuk memperbaiki hati manusia dan memberi hidayah kepada mereka, tanpa melihat apa yang ada di tangan mereka.

  1. Ketika orang kafir sampai di depan gua tempat Nabi bersembunyi. Apabila salah seorang di antara mereka melihat ke bawah kakinya pasti dia akan melihat keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar. Pada situasi seperti ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Bagaimana menurutmu, terhadap dua orang yang ketiganya adalah Allah ‘Azza wa Jalla.”

Hal ini menunjukkan kekuatan iman, keyakinan yang benar, penyerahan diri yang hakiki terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, yang kita selalu perlu diingatkan, khususnya hati sebagian orang telah terikat dengan dunia, berada dalam kelalaian dari iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan dari tawakkal yang baik.

  1. Perhatikan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Bagaimana menurutmu, terhadap dua orang yang ketiganya adalah Allah “, kalimat ini mencakup setiap mukmin yang yakin dengan pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla.

Ini adalah kaidah yang berlaku umum, bukan khusus pada situasi ini saja. Jadi, mencakup setiap mukmin yang yakin kepada Allah ‘Azza wa Jalla bahwa Dia bersamanya, membela, dan menolongnya.

  1. Dari perkataan Abu Bakar “Sekiranya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, niscaya melihat kita “ dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Bagaimana menurutmu, terhadap dua orang yang ketiganya adalah Allah”.

Ini menguatkan firman Allah ‘Azza wa Jalla,

ذَٰلِكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ مُوهِنُ كَيْدِ الْكَافِرِينَ

“Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu) dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Anfal : 18)

Kelemahannya selalu menyertai strategi/tipu daya orang kafir, tidak mungkin memisahkan kelemahan ini dari tipu daya mereka. Orang kafir di sini telah mengorbankan segala usahanya dan mengumumkan dengan hadiah besar bagi siapa saja yang mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan setiap mereka sudah mencoba untuk mencari karena ingin mendapatkan hadiah yang ditawarkan, mereka telah membongkar bebatuan, mendaki gunung, menelusuri lembah-lembah sampai mereka berdiri tepat di depan pintu gua, tetapi Allah ‘Azza wa Jalla memalingkan mereka dengan sesuatu yang mudah sekali, bahkan saya katakan bahwa itu adalah sesuatu yang sangat mudah, yaitu gerakan mata, gerakan yang paling mudah, gerakan yang dilakukan manusia dalam sesaat sebanyak beberapa kali. Namun demikian, dengan lemahnya orang kafir dan tipu daya mereka, Allah ‘Azza wa Jalla memalingkan mereka dengan gerakan yang sangat sedikit ini, sehingga mereka tidak melakukannya pada saat itu dan tidak bisa melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka musnah dan hancurlah segala tipu daya mereka dan kembalilah mereka dengan tangan hampa dan hati meradang. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah : 40)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

Fiqhu as-Sirah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, ei, hal.271-285