Bagi orang-orang dermawan harta hanya alat, ia ada di tangan atau di kantong bukan di hati, mereka berbahagia dengan memberi seperti penerima berbahagia saat menerima, bahkan bisa jadi kebahagiaan mereka lebih, karena bisa memberi dan membahagiakan orang yang diberi. Mereka yakin terhadap janji Allah,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ [سبأ/39]

Dan apa pun yang kamu infakkan maka Allah akan menggantinya.” (Qs.Saba`: 39). Mereka yakin kepada doa malaikat, “Allahumma a’thi munfiqan khalafa. Ya Allah berikan pengganti kepada orang yang berinfak.” Karena itu mereka senantiasa memberi dan memberi, demikian akhlak orang dermawan, memberi.

Diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus. Nabi tidak pernah diminta lalu menjawab, “Tidak.”

Seorang laki-laki meminta kepada beliau maka beliau memberinya domba sebanyak antara dua gunung, lalu laki-laki itu pulang kepada kaumnya dan berkata, “Wahai kaum, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad memberi dengan pemberian orang yang tidak takut miskin.”

Ada yang berkata, Usman mempunyai piutang atas Thalhah sebanyak lima puluh ribu dirham, lalu dia keluar ke masjid. Thalhah berkata kepada Usman, “Uangmu sudah siap, silakan menerimanya.” Usman berkata, “Ia untukmu wahai Abu Muhammad sebagai bantuan atas muru`ahmu.”

Seorang laki-laki pedalaman datang kepada Abu Thalhah, dia meminta dan mengenalkan diri melalui hubungan rahim. Abu Thalhah berkata, “Sesungguhnya hubungan rahim ini, tak seorang pun sebelummu yang meminta kepadaku dengannya.” Lalu Abu Thalhah memberi 300 ribu dirham.

Urwah berkata, “Aku melihat Aisyah membagikan 70 ribu padahal jubahnya tertambal.”

Diriwayatkan bahwa Aisyah membagi dalam satu hari 180 ribu kepada orang-orang, sore tiba, dia berkata, “Pelayan, hidangkan buka puasa.” Maka pelayan membawa roti dengan minyak. Maka Ummu Darrah berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak menyisihkan satu dirham saja dari apa yang engkau bagi hari ini untuk membeli makanan berbuka.” Aisyah menjawab, “Mengapa kamu tidak mengingatkanku?”

Abdullah bin Amir membeli rumah Khalid bin Uqbah, rumah itu di dekat pasar, seharga 90 ribu dirham. Malam tiba, terdengar keluarga Khalid menangis. Maka Abdullah bertanya kepada keluarganya, “Mengapa mereka?” Mereka menjawab, “Mereka menangisi rumah mereka.” Maka Abdullah berkata, “Pelayan, datanglah kepada mereka dan katakan kepada mereka bahwa rumah dan uang buat mereka.”

Seorang laki-laki mengirimkan permintaan kepada Abdullah, “Seseorang menasihatiku minum susu sapi, maka tolong pinjamkan aku sapi yang bisa aku minum susunya.” Maka Abdullah mengirimkan 700 ekor sapi lengkap dengan pengembalanya dan dia berkata, “Kampung di mana sapi-sapi ini digembalakan adalah untukmu.”

Ali bin al-Husain datang kepada Muhammad bin Usamah bin Zaid saat dia sakit, Muhammad menangis, Ali bertanya, “Ada apa denganmu?” Muhammad menjawab, “Aku memikul hutang.” Ali bertanya, “Berapa?” Dia menjawab, “Lima belas ribu dinar.” Ali berkata, “Aku yang memikulnya.”

Seorang laki-laki datang kepada Ma’an dan meminta, maka Ma’an berkata kepada pelayannya, “Pelayan, unta anu dan seribu dinar.” Lalu dia memberikannya kepada laki-laki itu padahal dia tidak mengenalnya.

Kami mendengar dari Ma’an bahwa para penyair berkumpul beberapa lama dan mereka belum bisa menemuinya. Dia berkata kepada pelayannya, “Bila gubernur masuk ke kebun maka beritahu aku.” Manakala gubernur masuk, pelayan memberitahu. Lalu seorang penyair menulis sebuah bait di atas papan kayu dan melemparkannya ke dalam air yang mengalir ke dalam kebun, manakala Ma’an melihatnya, dia mengambilnya dan di sana tertulis,

Wahai kedermawanan Ma’an, sampaikan hajatku kepada Ma’an
Saya tidak mempunyai penyambung kepada Ma’aan selain dirmu.

Maka Ma’an bertanya, “Siapa yang menulis ini?” Lalu penulisnya dipanggil. Ma’an berkata, “Apa yang kamu katakan?” Lalu dia mengulangnya. Maka Ma’an memberinya sebuah kantong berisi seribu atau sepuluh ribu dirham, dia mengambilnya dan gubernur meletakkan kayu di bawah permadaninya. Hari kedua, dia mengeluarkan kayu dari bawah permadani dan membacanya, dia memanggil laki-laki yang menulisnya, lalu dia memberinya seratus ribu dirham yang lain. Laki-laki itu mengambilnya, dia meninggalkan tempat dengan perasaan takut dipanggil kembali sehingga uangnya diminta kembali, maka dia pun pergi. Di hari ketiga, Ma’an membaca bait tersebut, dia meminta agar laki-laki penulis dipanggil namun dia sudah pergi. Maka dia berkata, “Patut bagiku untuk memberinya sehingga di rumahnya tidak tersisa satu dirham atau satu dirnar pun.”

Qais bin Saad bin Ubadah sakit, saudara-saudaranya tidak kunjung menjenguknya, dia bertanya-tanya, seseorang menyampaikan kepadanya, “Mereka malu karena hutang mereka kepadamu.” Maka Qais berkata, “Allah menghinakan harta yang menghalangi saudara untuk saling berkunjung.” Kemudian dia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan, “Barangsiapa memikul hutang bagi Qais maka hutang tersebut bebas.” Maka tangga rumahnya patah saking banyaknya orang yang menjenguknya.

Seorang laki-laki menemui Said bin al-Ash, lalu Said memberinya seratus ribu dirham, dia menangis. Said bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Dia menjawab, “Saya menangisi bumi jangan sampai ia memakan orang sepertimu.” Maka Said memberinya seratus ribu lagi. Minhajul Qashidin. Izzudin.