karyawan uangPerbedaan semangat dan harapan antara perusahaan dan karyawan, menjadi pemicu masalah ketenaga kerjaan. Untuk mengantisipasi hal ini, islam mengizinkan adanya kontrak kerja yang seimbang dan transparan.

Sektor ketenagakerjaan adalah salah satu sektor yang paling banyak diminati oleh kawula muda zaman sekarang, terlebih di negeri kita. Menurut data pada Kementerian Pendidikan Nasional, 60,87% lulusan SLTA, dan 83,18% lulusan perguruan tinggi lebih berminat menjadi karyawan (job seeker) dibandingkan berupaya menciptakan lapangan kerja (www.detik.com, edisi: Sabtu, 08/10/2011 12:07 WIB).

Begitu besar jumlah tenaga kerja di negeri ini, sehingga urusan ketenagakerjaan menjadi masalah besar dan sering disikapi dengan cara yang berbeda-beda. Perbandingan yang tidak sebanding antara tenaga kerja dan lapangan pekerjaan menyebabkan sebagian perusahaan bersikap sesuka hati. Dan sebagian lainnya menerapkan standar tinggi dan persyaratan yang bermacam-macam pada proses rekrutmen karyawan baru.

Kondisi di atas, tentu saja menuai kritik dari banyak pihak, terutama oleh berbagai LSM ketenagakerjaan, dan calon tenaga kerja. Namun di sisi lain, para pemilik pekerjaan, beranggapan bahwa kondisi di atas adalah wajar alias tidak layak dipersoalkan. Semua ini terjadi sebagai konsekuensi tuntutan profesionalitas suatu perusahaan.

Hubungan Majikan dengan Karyawannya

Setiap orang menyadari bahwa antara perusahaan atau pemilik pekerjaan dan tenaga kerja terjalin satu hubungan yang saling menguntungkan. Perusahaan membutuhkan skill atau keahlian para karyawannya, sedangkan karyawan membutuhkan imbalan atas pekerjaannya.

Karena hubungan mereka adalah hubungan yang saling menguntungkan, maka idiealnya di antara mereka terbentuk interaksi yang berimbal balik. Perusahaan mempercayai karyawannya, dan sebaliknya karyawan mempercayai perusahaannya.

Pihak perusahaan, misalnya, dituntut untuk berusaha memberi yang terbaik kepada karyawannya, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para majikan alias bos.

Al-Ma’rur bi Suwaid mengisahkan: Suatu hari aku berkunjung ke rumah sahabat Abu Dzar Radhyiallahu ‘anhu. Ketika itu dia mengenakan kain burdah (semacam kain selimut), dan budaknya juga mengenakan jubah serupa. Spontan kami mengajukan saran kepadanya: Wahai Abu Dzar, alangkah baiknya bila engkau menarik kembali kain selimut budakmu, sehingga dapat engkau jadikan pakaian yang bagus. Ada pun budakmu cukup engkau beri baju biasa lainnya. Menanggapi saran kami, sahabat Abu Dzar menjawab: Aku mendengar Rasulullah Shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah saudaramu yang Allah berikan kekuasaan kepada kalian atas mereka. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaknya ia memberinya makanan yang layak sebagaimana ia pun makan makanan yang layak. Berilah ia pakaian yang layak sebagaimana ia pun mengenakan pakaian yang layak. Dan hendaknya ia tidak membebaninya dengan suatu pekerjaan yang memberatkannya. Dan kalau pun ia membebaninya pekerjaan yang berat, maka hendaknya engkau membantunya.” (HR. Abu Dawud)

Sebaliknya, sebagai karyawan, sudah sepantasnya berusaha maksimal menjalankan pekerjaannya dan dengan penuh amanah. Amanah dalam pekerjaan berarti Anda bersikap profesional, sehingga mendatangkan hasil yang maksimal. Dalam sebuah hadis dinyatakan,

“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang bila engkau mengerjakan sesuatu, lalu engkau menyempurnakannya.” (HR. Abu Ya’la dan lainnya)

Sahabat Urwah bin Abil Ja’ed Al-Baariqy mengisahkan bahwa pada suatu hari datang rombongan pedagang ke kota Madinah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku uang satu dinar, seraya berkata kepadaku: “Wahai Urwah, datangilah para pedagang tersebut lalu belikanlah aku seekor kambing.” Tanpa pikir panjang, aku pun segera mendatangi para pedagang tersebut dan segera menawar kambing yang mereka jual. Setelah menawar aku berhasil membeli dua ekor kambing seharga satu dinar. Seusai membeli kedua ekor kambing tersebut aku segera menuntunnya pulang. Di tengah jalan, ada seorang lelaki yang menawar kambing yang aku bawa, maka aku pun menjual seekor kambing kepadanya seharga satu dinar. Dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing, aku kembali menjumpai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata kepada beliau: Ya Rasulullah, ini uang satu dinar milikmu dan seekor kambing yang engkau inginkan. Tak ayal lagi, beliau keheranan dan bertanya: ”Apa yang telah engkau lakukan?” Guna menjawab keheranan beliau, maka aku pun menceritakan apa yang telah aku lakukan. Selanjutnya beliau berdoa: “Ya Allah, berkahilah setiap transaksi perniagaannya.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Kontrak Kerja, Pedoman Hubungan Majikan dengan Karyawan

Masing-masing; majikan dan karyawan, pastilah memiliki impian, cita-cita, pemahaman, dan harapan yang ingin ia peroleh dari pihak lainnya. Namun di saat yang sama tidak semua yang diinginkan atau diharapkan keduanya dapat diwujudkan. Terlebih bila keduanya berbeda harapan dan keinginan.

Fakta di lapangan telah membuktikan bahwa banyak dari majikan mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang banyak dengan upah sekecil mungkin. Dan sebaliknya karyawan memiliki impian untuk mendapatkan upah sebesar mungkin dengan pekerjaan seringan mungkin.

Perbedaan semangat di antara kedua belah pihak semacam ini seringkali menimbulkan gesekan dan perselisihan. Dan adanya perselisihan antara majikan dan karyawan adalah suatu hal yang mengganggu kelangsungan dunia usaha secara umum dan kepentingan kedua belah pihak secara khusus.

Memahami adanya perbedaan semangat yang rentang menimbulkan masalah semacam ini, jauh-jauh hari syariat Islam mengajarkan kiat manjur guna menjamin hubungan kedua belah pihak dapat berjalan harmonis. Hubungan antara majikan dan karyawan secara syariat diatur oleh beberapa dalil di antaranya sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: “Seluruh kaum Muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah mereka sepakati, kecuali persyaratan yang melanggar syariat sehingga mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmizi)

Kesepakatan kerja antara majikan dan karyawan adalah pedoman kuat yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Apa pun yang telah disepakati dan dituangkan dalam nota kesepakatan kerja, maka wajib diindahkan oleh keduanya. Dan hadis di atas menjelaskan bahwa setiap akad wajib dipenuhi, asalkan memenuhi dua ketentuan berikut: Pertama, disepakati oleh kedua belah pihak dengan penuh kesadaran dan tanpa ada paksaan. Kedua, tidak melanggar syariat. Akad semacam inilah yang Allah maksudkan pada firmannya, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seluruh jenis akad.” (QS. Al-Maidah: 1)

Bila kedua ketentuan ini telah terpenuhi, maka masing-masing secara hukum syariat harus patuh memenuhi setiap poin kesepakatan di antara keduanya. Berbagai pertimbangan dan alasan yang tidak tertuang pada kontrak kerja sudah sepantasnya dikesampingkan. Kisah berikut sepantasnya menjadi inspirasi Anda dalam menjalankan kontrak kerja Anda.

Sahabat Abu Humaid As-Sa’idy mengisahkan, bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan seorang lelaki dari kabilah Al-Azed untuk memungut zakat. Ketika ia telah kembali, ia segera membuat laporan zakat yang berhasil ia pungut. Ia berkata: ini zakat yang berhasil aku kumpulkan, aku serahkan kepadamu, dan ini adalah hadiah yang aku dapatkan.

Mendengar ucapan petugas tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila pengakuanmu memang benar-benar jujur, mengapa engkau tidak memilih berdiam diri saja di rumah ayah dan ibumu, agar engkau tahu apakah ada hadiah yang datang kepadamu.”

Selanjutnya beliau segera berkhutbah menyampaikan penjelasan kepada para sahabat. Dan di antara yang beliau sabdakan: “Barangsiapa dari kalian yang aku tugasi untuk menjalankan suatu tugas, maka hendaknya ia menyerahkan semua hal yang ia peroleh, sedikit atau pun banyak. Dan apa pun upah/imbalan yang diberikan kepadanya, silakan ia menerimanya, dan apa pun yang dilarang maka hendaknya ia menahan diri.” (HR. Muslim)

Dengan mengindahkan ketentuan syariat yang mengatur hubungan antara majikan dan karyawan seperti ini, niscaya terwujud hubungan yang kondusif bagi kedua belah pihak. Dan semoga penjelasan sederhana ini menambah khazanah ilmu Anda. Wallahu ta’ala a’alam

Penulis: DR. Muhammad Arifin Badri, MA

Sumber: www.pengusahamuslim.com