sejajarRasulullah adalah seorang yang memiliki kemuliaan yang tinggi, baik dalam fisik (jasad) maupun kedudukannya. Kemuliaan beliau tidak ada yang bisa menandinginya, karena Allah benar-benar telah memilih dan menyeleksi Nabi-Nabi-Nya di antara umat manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya…” (QS. Al-Qashash: 68).

Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bolehnya ngalap (mencari) berkah dengan fisik maupun peninggalan-peninggalan orang-orang shalih. Di antara ulama yang perpendapat demikian ialah Imam An-Nawawi dalam syarhu Nawawi Li Shahih Muslim (7/3 dan 17/44) dan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (3/129, 130, 144 dan 5/341). Yang mendasari pendapat mereka ialah qiyas (analogi), dimana orang-orang shalih dianalogikan dengan Rasulullah. Apabila para sahabat bertabarruk dengan diri (fisik) maupun peninggalan-peninggalan Rasulullah, maka bertabarruk dengan orang-orang shalih tidaklah terlarang. Karena orang-orang shalih merupakan wali-wali Allah yang memiliki kedudukan dan keistimewaan di hadapan Allah.

Bantahan terhadap pendapat yang membolehkan

Pendapat mereka tidaklah benar dalam hal bolehnya ngalap (mencari) berkah dengan orang-orang shalih, baik dengan diri (fisik) maupun peninggalan-peninggalan mereka, baik semasa hidup maupun setelah wafatnya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa alasan berikut ini:

  1. Kesepakatan para sahabat untuk tidak mencari berkah dengan diri (fisik) dan peninggalan-peninggalan dari selain Nabi –sekalipun ada hal-hal yang menuntut untuk melakukannya- menunjukkan bahwa hal itu termasuk kekhususan Nabi, karena Allah telah mengkhususkan Nabi-Nya dengan meletakkan keberkahan pada diri (jasad) dan peninggalan-peninggalan beliau sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan bagi makhluk pilihan-Nya.

Seandainya perbutana itu disyari’atkan, niscaya para sahabat berlomba-lomba untuk melakukannya dan mereka tidak bersepakat untuk meninggalkannya. Karena, mereka adalah orang-orang yang paling antusias dalam melakukan kebaikan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengomentari perkataaan sebagian ulama pensyarah hadits, “Diperbolehkan mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih,” ketika mereka sampai pada keterangan mengenai rambut Nabi dan semacamnya, ia berkata, “Kesalahan ini sangat jelas, dan pendapat mereka tidak disetujui oleh ahli ilmu dan kebenaran. Hal itu sesungguhnya hanya berlaku bagi Nabi. Karena itu, tidak seorang pun, baik itu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, para syuhada perang Badar, maupun para sahabat yang mengikuti Bai’at Ridwan, yang diperlakukan seperti ini oleh para ulama para salafush shalih. Apakah hal ini berarti mengurangi penghormatan mereka terhadap para khulafaur rasyidin yang layak bagi mereka? Atau apakah para ulama salaf tidak mau mencari sesuatu (dari orang-orang shalih generasi terbaik umat ini) yang bermanfaat bagi mereka? Maka pembatasan hanya kepada Nabi menunjukkan bahwa pencarian berkah seperti itu termasuk kekhususan Nabi.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibni Ibrahim, 1/103,104)

  1. Diantara hujjah yang menguatkan kekhususan Nabi terhadap pencarian berkah semacam ini adalah sikap para Tabi’in yang mengikuti manhaj para sahabat dalam masalah ini. Tidak ada riwayat dari mereka yang mencari berkah kepada para sahabat dan para tabi’in juga tidak melakukannya terhadap orang-orang mulia di kalangan mereka dan juga kepada para imam mereka dalam hal ilmu dan agama. Demikianlah yang dilakukan oleh para imam agama ini setelah mereka.
  2. Di antara yang menguatkan pengkhususan ini juga adalah tidak ada satu dalil syar’I pun yang menunjukkan bahwa selain Nabi sama dengan beliau dalam hal pencarian berkah dengan bagian-bagian dirinya dan peninggalan-peninggalannya. Hal ini adalah kekhususan bagi Nabi seperti kekhususan-kekhususan baliau lainnya.
  3. Tidak diragukan lagi bahwa kekhususan Nabi dengan pencarian berkah semacam ini menunjukkan ketidakbolehan mengqiyaskan orang-orang shalih dengan beliau dalam hal keutamaan. Masalah ini hanya berlaku bagi beliau dan tidak samapi kepada selain beliau. Para ulama sepakat bahwa ketika satu kekhususan telah ditetapkan bagi Nabi, maka hal itu menuntut bahwa hukum selain beliau itu tidak seperti status hukum beliau. Karena seandainya status hukum beliau itu sama dengan status hukum selain beliau, niscaya kekhususan itu tidak berarti lagi.

Saddudz dzari’ah (langkah antisipatif)

Tidak diperbolehkan mengqiyaskan orang-orang shalih dan selain mereka dengan Nabi dalam hal diperbolehkannya pencarian berkah semacam ini adalah dalam rangka sebagai saddudz dzari’ah (langkah antisipatif).

Tidak diragukan lagi bahwa saddudz dzari’ah adalah salah satu kaidah utama dalam syari’at islam. Dengan kaidah ini, pengqiyasan itu dilarang, karena dikhawatirkan menyebabkan terjadinya sikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih yang dicari berkahnya.

Ketika menerangkan alasan ini, asy-Syathibi berkata, “Karena orang-orang awam tidak akan berhenti pada batasan itu saja. Mereka karena kebodohannya bisa melampaui batasan tersebut, bahkan berlebihan dalam mencari keberkahan, hingga mereka dirasuki oleh satu pengagungan yang keluar dari batas orang yang diharapkan keberkahannya, yaitu dengan menyakini pada orang yang dicari berkahnya sesuatu yang tidak berasal darinya.” (al-I’tisham. 2/9)

Kadang-kadang pencarian berkah dengan sikap berlebih-lebihan dan pengagungan ini mengantarkan pelakunya kepada perbuatan syirik. Artinya, dengan demikian pencarian berkah semacam ini merupakan sarana menuju kepada perbuatan syirik, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab ketika berbicara mengenai pelarangan pencarian berkah ini dan semacamnya, “Secara global, hal-hal semacam ini merupakan fitnah bagi orang yang mengagung-agungkan dan orang yang diagung-agungkan, karena dikhawatirkan menimbulkan sikap berlebih-lebihan yang masuk dalam hal bid’ah yang kadang-kadang meningkat hingga ke jenis kemusyrikan.” (Al-Hikamul Jadiirah bil Idzaa’ah, 55)

Ketika berdiskusi dengan ulama yang memperbolehkan pencarian berkah semacam ini, Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Seandainya hal itu diizinkan dengan alasan keberkahan, tanpa menyakini dzatnya, maka hal itu menjadi sebab yang menjerumuskan ke dalam ketergantungan kepada selain Allah, padahal sesungguhnya syari’at datang guna menutup pintu-pintu syirik.” (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibni Ibrahim, 1/104)

Di sampang merupakan fitnah bagi orang yang mengagungkan, pencarian berkah semacam ini juga kadang-kadang merupakan fitnah bagi diri orang yang diagung-agungkan, seperti yang diisyaratkan oleh Ibnu Rajab di atas.

Mencari berkah semacam ini terhadap selain Nabi dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah terhadap orang yang dicari berkahnya dan membuatnya kagum terhadap dirinya sendiri (ujub), sehingga akan mewarisinya sifat ujub, sombong, riya, dan menganggap dirinya suci, yang semua ini termasuk perbuatan-perbuatan hati yang diharamkan. Hingga, kerusakan-kerusakan lainnya yang diakibatkan oleh pencarian berkah semacam ini.

Catatan penting

Tidak dibenarkan berdalih (untuk membolehkan tabarruk seperti di atas) dengan adanya kemungkinan terjadinya kerusakan-kerusakan (yang sama) berupa sikap yang berlebihan-lebihan dan berbagai macam perbuatan syirik ketika mencari berkah dengan Nabi. Alasannya adalah tabarruk dengan Nabi didasarkan pada nash-nash syari’I yang memperbolehkan hal tersebut dan perintah untuk melakukannya khusus terhadap Nabi. Padahal, telah diketahui bahwa wajib hukumnya untuk tidak mengiringi pencarian keberkahan semacam ini terhadap Rasulullah dengan sesuatu yang berlebih-lebihan atau syirik.

Di antara ulama masa kini yang melarang mengqiyaskan orang-orang shalih dengan Rasulullah adalah syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ketika ia mengomentari pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani yang membolehkan bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih sebagai bentuk pengqiyasan terhadap keterangan yang terdapat pada sebagian hadits bahwa para sahabat mencari berkah dengan Rasulullah.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz berkata, “Mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih adalah tidak boleh. Hal itu hanya diperbolehkan khusus terhadap Nabi, karena keberkahan yang Allah letakkan pada tubuh beliau dan apa saja yang beliau sentuh. Sedangkan kepada selain beliau, tidak bisa diqiyaskan dengan beliau, karena dua alasan, yaitu:

  1. Para sahabat tidak melakukan hal itu kepada selain Nabi. Seandainya hal itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka bergegas melakukannya.
  2. Menutup sarana perbuatan syirik, karena pembolehan bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang-orang shalih akan mengantarkan kepada sikap berlebih-lebihan pada mereka, dan pada akhirnya mereka beribadah kepada selain Allah, karena itu wajib melarangnya.” (Lihat Fathul Baari, 3/130 pada catatan kaki no. 1 dan 144 pada catatan kaki no.1)

Dengan demikian, jelaslah bagi kita mengenai dilarangnya mengqiyaskan orang-orang shalih dengan Nabi. Atas dasar itu juga, dilarang mencari berkah dengan diri atau peninggalan-peninggalan orang-orang shalih, terlebih dari selain mereka. Pendek kata mengagungkan sesuatu dan mencari berkah dengannya adalah dilarang, kecuali berdasarkan dalil syar’i. Wallahu a’lam bishowab

 

Sumber: Tabaruk Memburu Berkah Sepanjang Masa Di Seluruh Dunia Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (edisi terjemahan Indonesia), DR. Nashir bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Judai’, penerjemah Ahmad Yunus, Msi, cetakan petama April 2009 M, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Jakarta, hal 351-355.