Nama dan Nasabnya 

Beliau adalah Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Muhammad Bin Yahya bin Mandah. Adapun Nama Mandah adalah Ibrahim bin Al-Walid bin Sandah bin Bathah bin Astandar bin jihaz bin Bakht.

Menurut suatu pendapat, bahwasanya nama Astandar ini adalah Fairuzan.
Pada awalya Fairuzan adalah seorang Majusi. Dia memeluk agama Islam setelah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuka daerah Asfahan dengan menjadikan Abul Qais sebagai pemegang kendali pemerintahan. Abul Qais mempercayakan kepada Fairuzan untuk mengawasi para pekerka Ashfahan .
Dia seorang budak Asfahan yang hafidz dan mempunyai banyak karya atau karangan.

Kelahirannya

Ibnu Mandah lahir pada tahun 310H atau 311H.

Sanjungan Ulama Terhadapnya 

Al-Hakim berkata: “Aku telah bertemu dengan Ibnu Mandah di Bukhara pada tahun 361H. Sunguh pada pertemuan itu tanpak perubahan pada dirinya, yaitu kemajuan yang pesat. Pada tahun 375H, dia datang menemuiku di Naisabur, sewaktu ia akan kembali ke negerinya, maka Syaikh kami, Abu Ali Al-Hafizh berkata: “Banu Mandah (keturunan mandah) adalah orang-orang yang hafizh yang paling pandai di dunia sejak dahulu kala hingga sekarang. Tidakkah kalian memperhatikan lembaran catatan Abu Abdillah?”

Banyak yang mengutip dari pekataan Abu Ishaq Ibnu Mandah, bahwasanya ia berkata: “Aku belum menjumpai orang yang sepadan dengan Abdillah bin Mandah”.

Ahmad bin Ja’far Al-Hafizh berkata: “Aku telah menulis lebih dari seribu syaikh, akan tetapi aku belum menemukan orang pun yang lebih hafizh dari pada Ibnu Mandah”.

Keluasan Ilmu dan banyaknya beliau

Adz-Dzahabi berkata: “Aku belum pernah mengetahui ada orang yang lebih luas pengembaraannya, memiliki banyak hadits, hafizh dan tsiqah melebihi Ibnu mandah”.

Disampaikan kepada kami bahwa jumlah guru beliau sebanyak 1.700 orang. Dia telah meriwayatkan hadits dengan cara ijazah dari Abdurahman bin Abi Hatim, Abu Al-Abbas bin Uqbah, Fadhl bin Al-Hushaib. Sekelompok ulama telah mengijazahkan hadits kepada Binu Mandah karena kepercayaan mereka kapada ayah Ibnu Mandah dan keluarganya.

Ja’far bin Muhammad Al-Mustaghfiri berkata: “Aku belum pernah melihat seorang yang lebih hafizh dari pada Abdullah bin Mandah. Suatu hari aku bertanya kepadanya: “berapa hadits yang telah kamu dengar dari para Syaikh? Ibnu Mandah menjawab: “Lima ribu “ma”.

Adz-Dzahabi berkata: “Besarnya “ma” itu kurang lebih sama dengan dua jilid kitab atau satu jilid kitab yang besar”.

Perjalanan mencari ilmu

Al-hakim berkata: “Ibnu Mandah pertama kali melakukan perjalanan mencari ilmu ke Irak pada tahun 339H, lalu ia ke Syam dan selanjutnya ia bermukim di Mesir selama beberapa tahun, dia menulis sejarah dan nama para syaikh”.

Al-Bathirqani berkata: “Aku telah mendengar Abu Abdillah berkata: “Aku telah dua kali mengelilingi wilayah Islam di Barat dan di timur”.

Adz-Dzahabi berkata: “Abu Abdillah bin Mandah telah menghabiskan usianya untuk melakukan perjalanan mencari ilmu lebih dari tiga puluh tahun. Mungkin dia bermukim sementara waktu di daerah wara’ an-nahri karena membawa barang dagangan lalu pulang kembali ke negrinya. Sampai pada usia yang mencapai tujuh puluhan, dia dikarunia empat orang putra, yaitu: Abdurahman, Ubaidillah, Abdurrahim dan Abdul Wahab”.

Guru-guru beliau

Para guru Ibnu Mandah sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi adalah ayahnya sendiri, paman dari garis keturunan ayah yang bernama Abdurrahman bin Yahya, Abu Ali Bin Hasan bin Abu Hurairah, sekumpulan ulama dari Ashfahan, Muhammad bin Al-Husain Al-Qaththan, Abdullah bin Ya’qub Al-Karmani, Abu Ali Al-Madini, Abu Hamid Ibnu Bilal, ulama-ulama Naisabur dan selain mereka.

Murid-murid beliau

Diantara murid-murid beliau adalah Abu Asy-syaikh, Abu Abdillah Al-Hakim, Abu Abdillah Ghunjar, Abu Sa’ad Al-Idrisi, Tamam Ar-Razi, Hamzah As-Sahmi, Abu Nu’aim, Ahmad bin Fadhl Al-Bathirqani, Ahmad bin Mahmud Ats-Tsaqafi, Abu Fadhl Abdurahman bin Ahmad bin Bundar, dan selain mereka.

Karya-karya beliau

Adz-Dzahabi berkata: “Abu Abdillah (Ibnu Mandah) mempunyai karya yang berjudul Al-Iman dalam satu jilid besar, kitab An-Nafs wa Ar-Ruh dan kitab Ar-Radd ‘ala Al-Lafzhiyah”.

Jika Ibnu Mandah mencantumkan hadits di dalam kitabnya dan dia tidak memberikan komentar, maka hadits tersebut menurutnya adalah Jayyid (bagus). Sedangkan jika Abu Abdillah menjadikannya beberapa bab dan membahasnya, berarti didsitu terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan. Letak kesalah yang dilakukan Ibnu Mandah dan kesalahan Abu Nu’aim adalah meriwayatkan hadits yang saqithah (jatuh) dan hadits maudhu’ (hadits palsu) tanpa mengoreksi dan menjelaskannya.

Wafatnya beliau 

Al-Bathirqani berkata: “pada malam meninggalnya Abu Abdillah, aku berada di dekatnya. Di antara kami berkata: “La ilaha illah (dengan maksud menalqinnya). Akan tetapi Abu Abdillah memberikan isyarat dengan tangannyadua atau tiga kali agar orang tersebut berhenti dari ucapannya dan tidak usah melakukan talqin”.

Abu Nu’aim dan yang lainnya berkata: “Ibnu Mandah meninggal pada akhir bulan Dzul qa’dah 395H.” 

[Sumber: Ringkasan dari kitab Min A’lami Salaf, Syaikh Ahmad Farid]