Ada pertemuan pasti ada perpisahan, itulah kata sebagian orang. Dan memang itu benar adanya. Seorang lelaki dipertemukan oleh Allah dengan seorang perempuan yang terikat dalam sebuah pernikahan. Keduanya pun hidup bermasa lamanya hingga dikaruniai seorang anak yang akan menjadi penyejuk hati mereka berdua dan untuk meneruskan tali nasab sebuah keluarga.

Namun tidak menutup kemungkinan, di saat mereka bergembira dalam penantian lahirnya seorang anak, Allah menakdirkan ajal mengakhiri hayat sang suaminya tercinta. Dan hal itu pun tidak bisa dicegah atau mengelak darinya, karena itu adalah keputusan Allah yang pasti terjadinya, kapan, siapa dan di mana saja.

Allah berfirman, yang artinya,

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal, Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. Yunus: 49)

Apabila hal itu terjadi, seorang suami meninggal dunia, sementara istrinya masih dalam keadaan hamil. Bagaimana dan berapa lama seorang istri harus beriddah ?

Makna Iddah
Iddah secara bahasa berakar dari kata al-‘addu dan al-hisab, keduanya bermakna al-ihshaa yaitu penghitungan. Disebut demikian karena iddah itu biasanya mencangkup bilangan haid (al-aqraa) atau bulan (al-asyhur).

Iddah secara istilah syar’i bermakna masa atau bilangan waktu yang telah ditetapkan oleh syaari (pembuat syariat) setelah terjadinya perpisahan (dari hubungan pernikahan), yang mewajibkan seorang wanita untuk menunggu (selama waktu itu) tanpa adanya pernikahan (yang baru) sampai habis (waktunya).(lihat Shahih Fiqhi As-Sunnah)

Perpisahan hubungan pernikahan bisa terjadi karena suaminya meninggal dunia atau akibat perceraian yang dijatuhkan oleh suaminya.

Masa Iddah
Apabila suami meninggal dunia, sementara istrinya sedang hamil. Para ulama berbeda pendapat tetang masa iddahnya, yaitu berapa lama seorang istri harus menunggu sampai ia boleh menikah kembali dengan laki-laki lain. Berikut ini adalah pendapat para ulama tentang masalah itu;

Pertama, Empat Bulan Lebih Sepuluh Hari 

Ini adalah pendapat Al-Hanafiah dan Al-Malikiah.
Al-Hanafiah berkata, “Bahkan masa iddah seorang wanita (yang hamil dan suaminya meninggal dunia) berakhir setelah empat bulan sepuluh hari, yaitu iddahnya seorang wanita karena meninggalnya suami.

Contoh, apabila suaminya meninggal dunia dua bulan setelah istrinya melahirkan, maka wajib bagi si istri untuk menunggu lagi selama dua bulan sepuluh hari setelah ia melahirkan (sehingga totalnya empat bulan sepuluh hari).

Dan apabila masa empat bulan sepuluh hari telah berakhir sebelum si istri melahirkan, maka masa iddahnya telah berakhir sebelum ia melahirkan. Sehingga akad nikah yang dilakukan saat itu hukumnya sah, akan tetapi tidak boleh (bagi suami yang kedua) untuk menggaulinya sampai ia melahirkan. Dan tidak boleh menasabkan anak yang terlahir (kepada suami yang kedua) dalam kondisi apapun, baik terlahir saat kurang dari enam bulan setelah akad nikah, atau enam bulan dan bahkan lebih dari itu.”( lihat al-Fiqh Ala al- Madzahib Al-Arba’ah, Abdurrahman bin Muhammad Iwadh al-Jaziri)

Dalil pendapat kelompok pertama;
Allah berfirman, yang artinya,

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari).”(QS. al-Baqarah: 234 )

Nabi bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari kecuali kepada suaminya sendiri, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Muslim)

Jadi, kelompok yang pertama ini lebih merajihkan (menguatkan) dalil-dalil yang menyebutkan bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia, maka ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari, baik ia sedang dalam kondisi hamil ataupun tidak.

Kedua: Sampai Melahirkan Kandungannya

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) Ulama, yang mengatakan bahwa masa iddahnya berakhir dengan melahirkan, baik lama atau sebentar. Bahkan seandainya ia melahirkan satu jam setelah suaminya meninggal dunia, maka iddahnya telah berakhir dan halal baginya untuk menikah. (Lihat Al-Masuu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwatiyyah)

Ibnu Qudamah menambahkan, “Halal baginya (si istri) untuk menikah, akan tetapi tidak boleh bagi suami (yang baru) untuk menggaulinya sampai ia suci dari nifasnya dan mandi.” (lihat al-Mughni)

Adalah tidak boleh bagi suami (yang baru) untuk menggaulinya sampai ia suci dan mandi dari nifasnya berdasarkan firman Allah, artinya,

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. al-Baqarah: 222)

Sisi pengambilan dalil dari ayat di atas;

Ayat di atas memang berkaitan dengan hukum wanita haidh, akan tetapi para ahli fikih mengatakan bahwa hukum wanita nifas sama halnya dengan wanita haidh dalam perkara yang diharamkan atasnya dan ibadah yang gugur karenanya. Hal ini karena darah nifas adalah darah haidh, hanya saja ia tertahan (tidak keluar) selama masa kehamilan, karena ia berubah menjadi sumber makanan untuk janin yang dikandungnya. (Lihat al- Masuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah)

Maka, jika diharamkan mencampuri wanita haidh hingga ia suci dan mandi darinya, demikian pula diharamkan bagi seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang nifas sampai ia benar-benar suci dari darah nifas dan mandi darinya.
Perpisahan hubungan pernikahan bisa terjadi karena suaminya meninggal dunia atau akibat perceraian yang dijatuhkan oleh suaminya.

Adapun yang menjadi dalil pendapat kelompok kedua (Jumhur);

Keumuman firman Allah,yang artinya,

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. ath-Thalaq: 4 )

Ayat ini bersifat umum bagi semua al-muthallaqat (istri yang dicerai), termasuk di dalamnya istri yang dicerai karena suaminya meninggal dunia, sementara ia dalam kondisi hamil.

Kemudian ayat di atas mengkhususkan keumuman firman Allah yang artinya,

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.”(QS. al- Baqarah: 234 )

Dalam kaidah ushul mengatakan, “Jika ada dua dalil, yang satu bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka makna umum dibawa ke dalam makna khusus.”
Ibnu Qudamah berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan akan bolehnya takhshishu al-umum (pengkhusuan makna umum) “(lihat Raudhatu an-Nadzir Wa Junatu al- Manadzir)

Walhasil, makna ayat yang kedua dibawa ke dalam makna ayat yang pertama, sehingga masa iddah seorang wanita yang dicerai Karena suaminya meninggal dunia dan ia dalam kondisi hamil adalah sampai ia (si istri) melahirkan kandungannya.
Kemudian dalil selanjutnya adalah hadits al-Miswar bin Makhramah menyebutkan bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah bernifas setelah suaminya wafat beberapa malam, kemudian ia mendatangi Nabi dan meminta izin untuk menikah. Maka beliau mengizinkannya dan kemudian ia menikah.” (HR. al-Bukhari, dan Muslim)

Sisi pendalilan dari hadits di atas; 

Wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya, masa iddahnya berakhir (dengan melahirkan) meski belum melebihi empat bulan sepuluh hari. Bahkan seandainya (ia melahirkan) satu jam setelah wafatnya, halal baginya untuk menikah. Karena tujuan adanya iddah bagi para wanita yang berhaidh adalah untuk mengetahui baraatu ar-rahm (kosongnya rahim dari janin).

Dan melahirkan kandungan adalah dalil (petunjuk) yang lebih kuat akan kosongnya rahim dari janin daripada berakhirnya iddah karena waktu. Sehingga berakhirnya iddah dengan (melahirkan) lebih utama daripada berakhirnya iddah karena telah lewatnya batas waktu.(Lihat al- Masuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah)

Dan hadits Subai’ah datang belakangan setelah turunnya ayat iddah wafat, karena kisah Subai’ah terjadi setelah haji wada’. (lihat Tafsir al- Qurthubi)

Sehingga hadits tersebut menjadi pengkhusus bagi keumuman makna ayat tentang iddah wafat. Dengan demikian, makna umum ayat tentang iddah wafat di bawa ke dalam makna khusus dalam hadits Subai’ah, yang berarti bahwa makna khususlah yang berlaku dan masa iddah bagi wanita itu adalah sampai ia melahirkan kandungan.

Pembahasan masih akan berlanjut pada edisi depan Insya allah