cxSebagian ulama madzhab Hanafiyah menolak ijma’ pada perkara-perkara yang akan terjadi, seperti tanda-tanda hari kiamat, dan hal-hal yang terjadi di akhirat, dengan dalil bahwah perkara-perkara tersebut adalah perkara-perkara ghaib, yang tidak tempat untuk berijtihad dan akal padanya.

Jawaban: 

Bahwanya ijma’ menjadi hujjah atau dalil dalam perkara-perkara ini, maka jadilah dalam perkara ghaib terdapat perpaduan dalil, mereka bersepakat (berijma’) di atas sebuah dalil, dan dalil tersebut haruslah dari Al-qur an dan As-Sunnah, yang tidak masuk dalam hal ini qiyas dan juga akal, mereka mencukupkan ijma’ dengan dalil naqli.

Maksud dari hal ini adalah untuk menjelaskan bahwa ijma’ adalah termasuk salah satu dalil yang menjadi hujjah dalam pembahasan-pembahsan aqidah, ia berguna sebagai tambahan bagi dalil-dalil (dari Al-Qur an dan As-Sunnah) dan memperkuat dalil-dalil tersebut, dan juga untuk menolak kemungkinan terjadinya kesalahan yang muncul disebabkan oleh perasangkaan-perasangkaan, maka dengan ijma’ hal tersebut menjadi sesuatu yang qath’i atau pasti. Para ulama telah meriwayatkan ijma’ dalam masalah-masalah aqidah seperti shani’ Ab u Muhammad bin Hazm dalam kitabnya Maratib Al-IJma’, dan hal itu telah disetujui oleh Ibnu Taimiyyah, walaupun ada beberapa masalah yang di anggap olelh Ibnu Hazm sebagai ijma, namun Syaikhul Islam menyelisihinya.

Maksud dari pembahasan ini adalah untuk menjelaskan bahwa ijma’ adalah sumber ketiga dari dari sumber-sumber yang dijadikan sebagai dalil oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dan juga untuk menjelaskan kedudukannya, dan bahwasanya ia adalah hujjah, juga ia adalah dalil yang pasti dalam masalah aqidah, lebih-lebih ijma’nya para shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan bahwasanya ijma berlandaskan pada dalil wahyu: dari Al-Qur an dan As-Sunnah, yang tidak ada qiyas, pemikiran dan hawa nafsu, serta dari itu.

Ibnu taimiyyah rahimahullah dalam mensifati jalannya Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, belia berkata: “Dan Dinamakan Alu Jama’ah, karena Al-Jama’ah adalah berkumpul, dan lawanya adalah perpecahan…… dan ijma adalah sumber ke tiga yang bersandar padanya dalam ilmu dan agama. Mereka (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah) menimbang atau mengukur benar atau salahnya apa-apa yang ada pada manusia, baik berupa perkataaan, perbuatan, amalan yang batin dan dhahir, yang mempunyai keterkaitan dengan agama. Dan batasan ijma’ adalah apa yang disepakati salafus shalih, karena setelah mereka benyak terjadi perselisihan, dan berpencarnya umat ini”

[Sumber: PDFManhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan hal: 151-153]