KesetiaanPutri tertua Rasulullah adalah Zaenab, suaminya adalah Abu al-Ash bin ar-Rabi’ al-Absyami al-Qurasyi, dia adalah keponakan Khadijah binti Khuwailid istri Muhammad bin Abdullah. Jadi dia dengan Zaenab adalah sepupu dari ibu.

Tidak lama setelah pernikahan Zaenab putri Muhammad dengan Abu al-Ash, hanya beberapa tahun, cahaya Ilahi yang suci telah menyinari padang pasir Makkah, Allah Ta’ala mengutus NabiNya Muhammad dengan membawa hidayah dan kebenaran, Allah memerintahkannya untuk memberi peringatan kepada keluarga terdekatnya, maka orang pertama yang beriman kepadanya dari kalangan wanita adalah istrinya Khadijah binti Khuwailid dan anak-anak Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, Zaenab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah, sekalipun pada saat itu Fatimah masih kecil.

Hanya saja sang menantu, Abu al-Ash tidak ingin meninggalkan agama nenek moyangnya, dia menolak masuk ke dalam agama yang dianut oleh istrinya sekalipun dia sangat menyintainya dengan cinta yang tulus dan mengasihinya dengan kasih yang murni.

Manakala perselisihan antara Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dengan orang-orang Quraisy semakin meruncing, sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Celaka kalian, kalian telah ikut serta bersama Muhammad memikul bebannya dengan menikahkan anak-anak kalian dengan putri-putrinya, kalau kalian memulangkan anak-anak perempuan Muhammad niscaya dia akan sibuk dengan mereka dan melupakan kalian.”

Sebagian yang lain menyambut, “Pendapat yang bagus.” Maka mereka menemui Abu al-Ash dan berkata kepadanya, “Wahai Abu al-Ash, talak istrimu, pulangkan dia kepada keluarganya, kami akan menikahkanmu dengan wanita Quraisy yang kamu suka dari para wanita yang berakal.”

Namun Abu al-Ash menjawab, “Tidak demi Allah, aku tidak akan berpisah dari istriku. Aku tidak ingin menggantikannya sekalipun dengan seluruh wanita yang ada di dunia ini.”

Dua putri Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, Ruqayyah dan Ummu Kultsum ditalak oleh suami mereka dan dipulangkan ke rumah bapak mereka, maka Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam justru berbahagia manakala keduanya pulang, beliau juga berharap Abu al-Ash melakukan hal serupa seperti yang dilakukan oleh dua orang menantunya. Namun Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam sadar bahwa beliau tidak mempunyai kekuatan yang bisa memaksanya untuk melakukan hal itu. Saat itu pengharaman pernikahan wanita mukminah dengan laki-laki musyrik belum diturunkan.

Manakala Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, agama beliau mulai menguat di sana, orang-orang Quraisy berangkat untuk memeranginya di Badar, Abu al-Ash terpaksa ikut berangkat bersama mereka.

Abu al-Ash tidak mempunyai kepentingan dalam memerangi kaum muslimin, dia tidak berhasrat untuk mendapatkan sesuatu dari mereka, namun kedudukannya di antara kaumnya menyeretnya untuk ikut berangkat. Badar usai, meninggalkan kekalahan buruk di pihak Quraisy. Suami Zaenab Abu al-Ash di antara orang-orang Quraisy yang tertawan.

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam menetapkan atas para tawanan yang ingin bebas, dia harus menebus dirinya, tebusannya antara seribu dirham sampai empat ribu berdasarkan kedudukan sang tawanan di kalangan kaumnya dan kemampuannya.

Zaenab mengutus orangnya ke Madinah dengan membawa uang tebusan suaminya, di antara uang tebusannya adalah sebuah kalung hadiah ibundanya Khadijah binti Khuwailid pada saat dia menikah. Manakala Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam melihat kalung, wajah beliau langsung dipayungi oleh kesedihan yang sangat dalam, beliau merasa kasihan terhadap putrinya, maka beliau menoleh kepada para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Zaenab mengirimkan harta ini untuk menebus suaminya Abu al-Ash, jika kalian berkenan melepaskan tawanannya dan memulangkan hartanya maka lakukanlah.”

Maka mereka berkata, “Kami melakukan ya Rasulullah, semoga engkau berbahagia.”

Pengorbanan luar biasa seorang istri demi suaminya. Kesetiaan tinggi yang tidak memudar sekalipun suami dalam keadaan terbelenggu masalah besar. Kebesaran hati yang mendorong Zaenab berusaha membantu membebaskan suaminya, sekalipun dengan menebusnya dengan harta penuh kenangan, hadiah sang bunda di hari terbahagia dalam hidupnya. Bagi Zaenab kesetiaan memang layak dibayar dengan apa pun. Tidak ada yang mahal demi sebuah kesetiaan. Adakah para muslimah yang meneladaninya? Wallahu a’lam.