Zainab binti RasulullahZaenab putri Rasulullah yang tertua bersuamikan Abu al-Ash bin ar-Rabi’ al-Absyami, keponakan ibunya Khadijah binti Khuwailid, berbeda dengan adik-adiknya, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah yang bersuamikan orang-orang yang masuk Islam sejak fajar Islam terbit, Ruqayyah bersuami Utsman bin Affan, Ummu Kultsum bersuamikan Utsman pasca kakaknya wafat dan Fatimah bersuamikan sepupu ayahnya Ali bin Abu Thalib, Zaenab bersuamikan seorang laki-laki yang masuk Islamnya tertunda, karena itu Zaenab melakoni hidup berbeda dengan saudarai-saudarinya, hidup Zaenab dengan keluarganya lebih kaya warna, pahit getir, namun ajibnya tak melunturkan kesetiaannya kepada sang suami.

Perang Badar usai dengan kekalahan di pihak Makkah, 70 tokoh mereka tewas, 70 lainnya menjadi tawanan, di antara tawanan adalah suami Zaenab, Abu al-Ash. Rasulullah memutuskan membebaskan mereka dengan membayar uang tebusan. Di sini Zaenab memperlihatkan kesetiaannya kepada suaminya, dia tidak merengek meminta belas kasihan bapaknya yang punya kekuasaan mutlak terhadap para tawanan, sebaliknya Zaenab mengutus orangnya ke Madinah dengan membawa uang tebusan untuk membebaskan suaminya, di antara uang tebusannya adalah sebuah kalung hadiah ibundanya Khadijah binti Khuwailid pada saat dia menikah.

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam melihat kalung, wajah beliau langsung dipayungi oleh kesedihan yang sangat dalam, beliau merasa kasihan terhadap putrinya, maka beliau menoleh kepada para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Zaenab mengirimkan harta ini untuk menebus suaminya Abu al-Ash, jika kalian berkenan melepaskan tawanannya dan memulangkan hartanya maka lakukanlah.”

Maka mereka berkata, “Kami melakukan ya Rasulullah agar engkau berbahagia.” Sebelum Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam melepaskan Abu al-Ash, beliau meletakkan syarat atasnya agar segera mengirimkan Zaenab kepadanya tanpa menunda-nunda. Maka begitu Abu al-Ash tiba di Makkah, dia langsung memenuhi janjinya.

Dia meminta istrinya untuk bersiap-siap, dia mengatakan kepadanya bahwa orang-orang utusan ayahandanya menunggunya di suatu tempat yang tidak jauh dari Makkah, dia menyiapkan kendaraan dan perbekalan dan meminta saudaranya Amru bin ar-Rabi’ agar menyertainya dan menyerahkannya kepada utusan ayahandanya secara langsung.

Kisah perjalanan Hijrah Zaenab cukup mencekam dan menakutkan, singkat kisah sampailah Zaenab di Madinah di pangkuan ayahanda, Rasulullah, berpisah meninggalkan suaminya di Makkah.

Belum berhenti hingga di sini perjalanan hidup Zaenab dengan suaminya, dan sekali lagi Zaenab membuktikan kesetiaannya.

Menjelang Fathu Hudaibiyah, Abu al-Ash dia berangkat ke Syam dalam sebuah perjalanan dagang, manakala dia pulang ke Makkah dengan membawa rombongannya yang terdiri dari seratus ekor unta dan pengawalnya yang berjumlah kurang lebih dua ratus tujuh puluh orang, sebuah pasukan yang dikirim oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mencegatnya di sebuah tempat di dekat Madinah, pasukan ini menguasai kafilah dagang dan menawan pengawalnya, namun Abu al-Ash berhasil lolos dari sergapan pasukan.

Malam tiba, Abu al-Ash memanfaatkan kegelapannya untuk menyusup ke Madinah, dia masuk dalam keadaan takut dan cemas, dia menyusup sampai di rumah Zaenab, dia meminta perlindungan Zaenab dan Zaenab melindunginya.

Manakala Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam berangkat untuk menunaikan shalat Shubuh, beliau berdiri di mihrab, beliau mengucapkan takbiratul ihram yang diikuti oleh para sahabat, Zaenab berteriak dari barisan kaum wanita, “Wahai manusia, aku adalah Zaenab putri Muhammad, sungguh aku telah melindungi Abu al-Ash, maka berilah dia keamanan.”

Manakala Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam salam dari shalat, beliau memandang hadirin dan berkata, “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Mereka menjawab, “Ya wahai Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.”

Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak mengetahui apa pun sebelum aku mendengar apa yang aku dengar, orang paling rendah dari kaum muslimin berhak memberikan perlindungan.”

Kemudian Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam pulang dan berkata kepada putrinya, “Perlakukanlah dia dengan baik, namun kamu harus tahu bahwa kamu tidak halal baginya.”

Kemudian Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengundang anggota pasukan yang telah mencegat kafilah dagang Abu al-Ash dan menawan para pengawalnya, Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang itu adalah bagian dari kami seperti yang kalian ketahui, kalian telah mengambil hartanya, jika kalian berkenan untuk berbuat baik dan mengembalikan hartanya maka itulah yang kami harapkan, namun jika kalian menolak maka ia adalah fai` yang diberikan Allah kepada kalian, kalian lebih berhak atasnya.”

Sampai di sini, Zaenab menunjukkan kesetiaannya kepada suaminya yang walaupun masih musyrik, namun Zaenab tetap berkenan memberinya perlindungan manakala dia memerlukannya.

Abu al-Ash menemui anggota pasukan untuk mengambil hartanya, mereka berkata kepadanya, “Wahai Abu al-Ash, sesungguhnya kamu adalah orang terpandang di lingkungan Quraisy, kamu adalah sepupu Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam dan menantunya, maukah kamu masuk Islam dan kami menyerahkan semua harta ini kepadamu selanjutnya kami menikmati seluruh harta orang-orang Makkah dan tinggal bersama kami di Madinah?” Dia menjawab, “Seburuk-buruk usulan, kalian memintaku memulai agama baruku dengan pengkhianatan.”

Abu al-Ash membawa kafilah dagangnya ke Makkah, di sana dia menyerahkan seluruh harta kafilah kepada pemiliknya, kemudian dia berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, adakah seseorang di antara kalian yang belum menerima hartanya?” Mereka menjawab, “Tidak, dan semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kami melihatmu sebagai orang yang mulai dan jujur.”

Abu al-Ash berkata, “Karena aku sudah menunaikan hak-hak kalian maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Demi Allah aku tidak masuk Islam di depan Muhammad di Madinah karena aku takut kalian menuduhku hendak memakan harta kalian. Manakala Allah sudah menunaikan harta tersebut kepada kalian, aku pun sudah menyelesaikan tugasku, maka aku masuk Islam.”

Kemudian Abu al-Ash berangkat ke Madinah sehingga dia datang di depan Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau menyambutnya dengan baik dan mengembalikan Zaenab kepadanya, beliau bersabda, “Dia berbicara kepadaku dan dia jujur, berjanji kepadaku dan memenuhi.”

Kesetiaan dalam suka dan duka, saat bersama dan saat berpisah, Zaenab menyambut baik dan gembira kembalinya sang suami ke haribaannya, perjalanan hidupnya yang berwarna tak menyurutkan kesetiaannya. Benar-benar seorang istri setia hasil didikan ayahanda yang mulia Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam.