Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu prinsip agama Islam dan salah satu ketentuan syariah yang harus diterima dengan bulat, serta merupakan perkara yang mesti harus diketahui. Nash-nash syariah yang shahih telah banyak menerangkan dan menegaskan hal itu, antara lain, firman Allah ta’ala,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Qs. Al-Hasyr : 7)

Ibnu Katsir rahimahullah (ketika menafsirkan firman Allah ta’ala di atas) berkata, “Yakni, apa saja yang Beliau perintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dan apa saja yang Beliau larang terhadap kalian, maka jauhilah. Sebab Beliau hanya memerintahkan kebajikan dan hanya melarang keburukan (Tafsir al Qur’an al-Azhiim, 4/336)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah mengemukakan sebagian pendapat yang mungkin bisa dipahami darinya bahwa ayat ini khusus tentang fai’ (harta rampasan yang diperoleh dengan tanpa peperangan) “Sebenarnya ayat ini berlaku umum dalam segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa perintah atau larangan, ucapan atau perbuatan. Meskipun sebab (turunnya ayat) bersifat khusus, tapi yang berlaku adalah keumuman ayat bukan kekhususan sebab. Segala sesuatu yang sampai kepada kita lewat Beliau berupa syariat telah Beliau berikan dan sampaikan kepada kita. Betapa bermanfaatnya ayat ini dan betapa banyak faedahnya (Fath al-Qadir, 5/282)

Ittiba’ Menurut Bahasa

Ittiba’ adalah masdar dari ittiba’a asy-syai’ (mengikuti sesuatu), apabila ia berjalan pada jejaknya dan mengikutinya. Kata ini berkisar pada seputar makna: lihaq, tathallub, iqtifa’ (mengikuti), iqtida’, ta’assi (mencontoh).

Dikatakan, Ittiba’ al-Qur’an, yakni mengikuti al-Qur’an dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Dan Ittiba’ ar-Rasul, yakni mencontoh Rasul. Mengikuti jejaknya dan meneladaninya (Lihat, Lisan al-Arab, 1/416-417; al-Mu’jam al-Wasith, 1/81)

Ittiba’ Menurut Syariat

Menurut syariat, ittiba’ adalah mencontoh dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keyakinan, ucapan, perbuatan, dan tindakan meninggalkan, dengan beramal seperti amalannya menurut cara yang Beliau lakukan, baik wajib, anjuran, mubah, makruh (dibenci) maupun larangan, dengan disertai niat dan kehendak di dalamnya.

Ittiba’ kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hal keyakinan ialah dengan cara seseorang menyakini apa yang diyakini oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menurut bentuk yang Beliau yakini (dari segi kewajiban atau bid’ah, atau karena ia merupakan salah satu fundamen agama atau yang membatalkan prinsipnya atau menodai kesempurnaannya, dan seterusnya) karena Beliau meyakininya.

Ittiba’ kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ucapan ialah dengan melaksanakan isi sabdanya dan kandungan maknanya. Bukan sekedar diulang-ulang lafalnya dan mengulang-ulang nashnya. Sebagai contoh : Mengikuti sabda Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, , “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku sedang shalat” (HR. al-Bukhari), ialah dengan cara mengerjakan shalat seperti Beliau shalat.

Demikian pula ittiba’ kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam perbuatan ialah dengan cara kita berbuat seperti perbuatannya dan menurut cara yang dikerjakannya, karena Beliau mengerjakannya.

Arti ungkapan, “Seperti perbuatannya” karena tidak mungkin sama persis dengan perbuatan Beliau, dikarenakan adanya perbedaan bentuk perbuatan dan tata caranya.

Sedangkan arti ungkapan,”menurut cara yang dilakukannya,” yakni kesamaan dalam niat mengerjakan hal itu (keikhlasan dan menentukan suatu perbuatan, dari segi wajib atau sunnahnya); karena perbuatan yang disertai tujuan dan niat yang berbeda tidak disebut sebagai meneladaninya meskipun bentuk perbuatannya sama.

Maksud ungkapan, ”karena Beliau mengerjakannya”, karena sekiranya bentuk dan niatnya sama, tetapi tidak bermaksud untuk meniru dan mengikuti maka itu bukan ittiba’.

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal meninggalkan sesuatu ialah dengan meninggalkan apa yang Beliau tinggalkan, menurut sifat dan cara yang Beliau lakukan, karena Beliau meninggalkannya.

Untuk menjelaskan hal itu: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerjakan shalat ketika terbit matahari. Karena itu, orang yang meneladani Beliau harus meninggalkan shalat pada waktu itu menurut cara Beliau meninggalkannya, demi karena Beliau meninggalkannya (Lihat, al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/409; al-Ihkam, al-Amidi, 1/226, 227)

Mukhalafah vs Ittiba’

Lawan dari ittiba’ adalah mukhalafah (menyelisihi). Ini berlaku dalam keyakinan, ucapan, perbuatan dan meninggalkan.

Menyelisihi dalam keyakinan terjadi bila seorang hamba meyakini yang berbeda dengan apa yang diyakini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya, seseorang menghalalkan sesuatu yang telah diketahui secara pasti keharamannya dari agama Islam, atau mewajibkan sesuatu yang telah diketahui secara pasti kehalalannya atau keharamannya dari agama Islam. Contoh lain, seorang hamba berbuat bid’ah dalam agama Allah yang bukan berasal darinya.

Menyelisihi dalam ucapan terjadi dengan cara tidak menjalankan tuntutan ucapan berupa kewajiban atau larangan.

Menyelisihi dalam perbuatan terjadi dengan cara menyimpang dari contohnya padahal itu wajib.

Menyelisihi dalam hal meninggalkan terjadi dengan cara mengerjakan apa yang Beliau tinggalkan padahal itu diharamkan.

Perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Ditinjau dari Segi Diikuti dan Diteladani

Perbuatan-perbuatan Nabi shallallahub ‘alaihi wasallam dari segi diikuti dan diteladani terbagi menjadi tiga macam :

1.Perbuatan-perbuatan yang bersifat naluriah, seperti berdiri, duduk, minum, tidur dan sejenisnya. Ini ada dua macam ditinjau dari sisi diteladani dan diikuti :

Pertama, terdapat nash yang mewajibkannya atau menganjurkannya, seperti makan dengan tangan kanan, minum tiga tegukan dan dengan duduk, dan tidur pada tubuh sebelah kanan. Ini disyariatkan untuk diteladani.

Kedua, tidak terdapat nash yang menunjukkan disyariatkannya. Ia tetap pada asalnya, yaitu dibolehkan untuk semua. Ini mengingat karena sifat-sifat naluriah manusia, seperti keinginan untuk makan dan minum tidak menuntut untuk dihilangkannya dan tidak pula menghilangkan suatu yang telah menjadi naluri (al-Muwafaqaat, asy-Syathibi, 2/108)

Jenis kedua ini menjadi perselisihan di kalangan ahli ilmu mengenai disyariatkannya meneladani Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni dari aspek anjuran. Mereka berselisih pada dua pendapat :

a. Meneladani Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jenis ini dianjurkan. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan seperti itu, meskipun beliau melakukannya secara kebetulan bukan meniatkannya.

b. Tidak disyariatkan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini pendapat dan praktek mayoritas para sahabat, di antaranya, al-Faruq Umar bin Khathab dan Aisyah bintu Abi Bakar radhiyallahu ‘anhum.

Termasuk dalam kategori perbuatan-perbuatan alamiah ialah perbuatan-perbuatan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menurut kebiasaan dan adat istiadat, seperti memakai jubah dan ‘imamah (serban tebal), memanjangkan rambut dan sejenisnya; apabila tidak menunjukkan selain kebolehan, kecuali apabila terdapat dalil mengenai disyariatkannya (lihat, Af’al an-Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam, al-Asyqar, 1/235, 236)

2.Perbuatan-perbuatan yang diketahui bahwa ini hanya khusus untuk Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Para ahli ilmu telah menyebutkan, dalam pembahasan mengenai kekhususannya, beberapa perkara mubah, wajib dan haram. Sebagiannya telah disepakati hukumnya dalam hubungannya untuk Beliau dan sebagian yang lainnya masih diperselisihkan. Namun bukan disini tempat pembahasannya. Di antara yang dibolehkan untuk Beliau, menikahi lebih dari empat orang wanita, nikah dengan tanpa mahar, dan menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepadanya. Kemudian wajib atas Beliau, bertahajjud dan qiyamullail. Dan yang diharamkan atas Beliau makan dari harta sedekah dan memakan makanan yang berbau tidak sedap seperti bawang merah dan bawang putih.

Ini adalah kekhususan yang hanya berlaku bagi Beliau dan tidak boleh diikuti dan ditiru (Lihat, al-Ihkam, al-Amidi, 1/228)

Termasuk dalam ketegori ini ialah perkara yang dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebagian sahabatnya yang tidak berlaku bagi sebagian lainnya, seperti kesaksian Khuzaemah radhiyallahu ‘anhu yang dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setara dengan kesaksian dua orang, serta kurban Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu yang berkorban seekor kambing muda. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,

اذْبَحْهَا، وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ

Sembelihlah, dan itu tidak layak untuk selainmu (Lihat, Shahih al-Bukhari, no. 2807, 5556; al-Muwafaqaat, asy-Syathibi, 2/245,246)

Demikian juga termasuk dalam kategorinya ialah perkara yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Ahlul baitnya, seperti larangan memakan harta sedekah.

3.Perbuatan-perbuatan ta’abbudiyah, yaitu perbuatan selain naluriah dan selain pengkhususan yang sengaja disyariatkan.

Ini dituntut untuk mengikuti dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah prinsip menyangkut perbuatan-perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan firman Allah ta’ala,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

Sesungguhnya telah ada bagimu pada diri Rasulullah suri teladan yang baik (Qs. Al-Ahzab : 21)

Cuma, sifat syar’iyyahnya berbeda-beda, dalam hal wajib atau anjuran, menurut berbagai alasannya.

Wallah A’lam

Sumber :
Ittiba’ Nabi shallallahu ‘alaihii wasallam Fii Dhau-i al-Qur’an Wa Sunnah, Faishal bin Ali al-Ba’dani, dalam “Huququ an-Nabiy Baina al-Ijlal Wa al-Ikhlal” (E.id, 121-128, dengan ringkasan)