Mencontoh dan meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keyakinan, ucapan, perbuatan, dan tindakan meninggalkan, dengan beramal seperti amalannya menurut cara yang Beliau lakukan, baik wajib, anjuran, mubah, makruh (dibenci) maupun larangan, dengan disertai niat dan kehendak di dalamnya itulah ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, secara syar’i. Sebagaimana telah dijelaskan secara terperinci pada bagian pertama tulisan ini. Lalu, apa dan bagaimana “Kedudukan ittiba’ dalam syariat Islam”? inilah bahasan yang akan dijelaskan dalam bagian kedua tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Saudaraku…kaum muslimin
Ittiba’ mempunyai kedudukan yang tinggi dalam syariat Islam, dan hal itu nampak jelas dari penjelasan berikut ini :

1. Ittiba’ adalah Syarat Diterimanya Ibadah,

Suatu amalan ibadah tidak diterima melainkan dengan ittiba’ dan sesuai dengan apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan amalan-amalan yang dikerjakan dengan tanpa ittiba’ dan meneladani hanya akan menambah pelakunya semakin jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla. Itu mengingat karena Allah ‘Azza wa Jalla hanya disembah dengan perintah-Nya yang dengannya Dia mengutus Rasul-Nya, bukan dengan pendapat dan hawa nafsu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن عَمِلَ عَمَلًا ليسَ عليه أمْرُنا فَهو رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka itu tertolak. (HR. Muslim)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “sebagaimana halnya bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena wajah Allah ‘Azza wa Jalla maka pelakunya tidak mendapatkan pahala, maka demikian pula setiap amalan yang bukan perintah Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak atas pelakunya, dan setiap orang yang mengada-ada dalam urusan agama yang tidak diperkenankan Allah dan Rasul-Nya maka itu bukan termasuk agama sedikitpun (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/176)

2. Ittiba’ adalah Salah Satu Prinsip Islam

Ikhlash dan mengesakan Allah ‘Azza wa Jalla dalam beribadah adalah hakekat iman hamba dan persaksiannya bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, sedangkan ittiba’ dan mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hakekat iman hamba dan persaksiannya bahwa Muhmmad adalah utusan Allah. Keislaman hamba tidak terwujud dan pernyataan dan perbuatan dan keyakinannya tidak diterima, kecuali apabila ia merealisasikan kedua prinsip ini (ikhlas dan ittiba’) dan melaksanakan konsekwensi keduanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya (Qs. Al-Kahfi : 110)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Secara umum kita memiliki dua prinsip utama: Pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada Allah. Kedua, kita tidak beribadah kepadanya melainkan dengan apa yang disyariatkan-Nya, tidak beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang bid’ah. Dua prinsip ini adalah realisasi dari 2 kalimat syahadat. (al-Fataawa, 1/333-334)

3. Ittiba’ adalah Bukti Cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Ini ditunjukkan oleh firman-Nya,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Ali Imran : 31)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang mesti dipahami ialah bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di dalam kitabNya, ‘Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), niscaya Allah mencintaimu.’ Segolongan salaf berkata, ‘Suatu kaum pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengklaim bahwa mereka mencintai Allah, lalu Allah menurunkan ayat ini, ‘Katakanlah, ‘Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu“. Dia menjelaskan bahwa mencintaiNya mengharuskan untuk mengikuti Rasul-Nya dan bahwa mengikuti Rasul itu mengharuskan hamba untuk mencintai Allah. Inilah cinta yang diujikan oleh Allah kepada orang-orang yang mengklaim telah mencintai  Allah. Sebab dalam masalah ini banyak kesamaran. (al-Fatawa, 10/81)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini sebagai hakim atas setiap orang yang mengklaim telah mencintai Allah tetapi tidak berada di atas jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya pada saat yang sama ia telah berdusta dalam pengakuannya sehingga ia mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala ucapan dan perbuatan mereka (Tafsir al-Qur’an al-Azim, 1/358)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “ (Firman Allah, “Niscaya Allah mencintaimu) mengisyaratkan kepada bukti cinta, buah dan manfaatnya. Bukti dan tanda cinta adalah mengikuti Rasul, sedangkan manfaat dan buahnya ialah mencintai Dzat yang mengutus Rasul kepada kalian. Selama mutaba’ah (mengikuti Rasul) tersebut tidak tercapai maka cintamu kepadaNya pun tidak tercapai, dan cintaNya kepadamu pun sirna (Madarij as-Salikin, 3/22)

4. ittiba’ adalah jalan untuk Mencapai Cinta kepada Rasul yang Sejati

Allah ‘Azza wa Jalla  mewajibkan kepada para hambaNya untuk mencintai Rasul-Nya dan mendahulukannya dibandingkan mencintai diri sendiri, harta, anak, orang tua dan manusia seluruhnya, sebagaimana dalam hadits,

“Salah seorang dari kalian tidak beriman sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya (HR. al-Bukhari, no. 15)

Dan sabdanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai dibandingkan segala sesuatu kecuali dibandingkan diriku sendiri.” Beliau menjawab, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih kamu cintai dibandingkan dirimu sendiri. “ Umar berkata kepada Beliau, “Sekarang, demi Allah, engkau lebih aku cintai dibandingkan diriku sendiri.” Beliau bersabda,”Sekarang, wahai Umar.“ (HR. al-Bukhari, no. 6632)

Tidak ada cara untuk mencapai cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan merealisasikannya, melainkan dengan cara ittiba’ dan berkeinginan untuk menyempurnakannya. Al-Khathabi rahimahullah berkata seputar makna ini, “Yang dikehendaki bukan cinta tabiat, tetapi cinta pilihan (kesadaran), karena cinta seseorang kepada dirinya adalah tabiat dan tidak bisa dipungkiri.” Ia melanjutkan, “Jadi maknanya, kamu tidak jujur dalam mencintaiku sehingga kamu menafikkan nafsumu untuk mentaatiku dan lebih mengutamakan ridhaku daripada keinginanmu, meskipun kamu binasa di dalamnya (Lihat, Syarh an-Nawawi li Muslim, 2/15)

5. Ittiba’ adalah Cara Melaksanakan Perintah untuk Mentaati Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan Cara Menjauhi Ancaman yang Diberikan atas Hal Itu

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kepada para hamba-Nya supaya mentaati-Nya dalam banyak ayat-Nya, di antaranya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) (Qs. An-Nisa : 59)

Dia memberikan ancaman yang pedih karena menyelisihinya, sebagaimana firmanNya,

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah, Taatilah Allah dan RasulNya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir (Qs. Ali Imran : 32)

Tidak ada jalan bagi hamba untuk melaksanakan perintah untuk mentaati Rasul dan menjauhi ancaman yang pedih karena menyelishinya, baik di dunia dan akhirat, melainkan dengan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meneladaninya.

6. Ittiba’ merupakan sifat yang senantisa harus melekat pada orang-orang yang beriman

Ini ditunjukkan oleh firman-Nya, yang artinya, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh. ‘ dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya, maka mereka adalah orang yang mendapatkan kemenangan (Qs. An-Nur : 51-52)

Allah ‘Azza wa Jalla menafikkan keimanan dari siapa saja yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak ridha dengan keputusannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ( Qs. An-Nisa : 65)

7. Ittiba’ adalah Salah Satu Tanda Ketakwaan

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan tanda dan bukti ketakwaan hati dan kebenaran keimanannya. Dia ‘Azza wa Jalla berfirman,

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Qs. Al-Hajj : 32)

Syiar-syiar Allah ialah perintah-perintahNya dan panji-panji agama yang nampak, dan yang paling nampak serta paling tinggi ialah mentaati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti syariatnya (Lihat, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 3/219; Tafsir as-Sa’di, 5/293)

8. Ittiba’ adalah Penyebab Masuk Surga

Ini ditunjukkan oleh sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk Surga kecuali orang yang enggan.” Mereka bertanya, ‘ Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan ? Beliau menjawab,” Siapa yang mentaatiku, ia masuk Surga dan siapa yang menentangku maka ia telah enggan (HR. al-Bukhari, no. 7280)

Wallahu A’lam

Sumber :
Ittiba’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Fii Dhau-i al-Qur’an Wa Sunnah, Faishal bin Ali al-Ba’dani, dalam “Huququ an-Nabiy Baina al-Ijlal Wa al-Ikhlal” (E.id, 138-144, dengan ringkasan)